Isu OPM Sering Dijadikan Bahan Propaganda Kelompok Radikal

News

by Akhmad Kusairi

Mantan Napi Teroris dan Anggota Al Qaeda Asia Tenggara Sofyan Tsauri menilai masalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) seringkali dijadikan bahan propaganda oleh kelompok radikal untuk merekrut pengikut baru. Menurut Sofyan kelompok Radikal kerapkali menggugat perbedaan perlakukan terhadap OPM dan Umat Islam. Pemerintah menurut Sofyan seringkali dianggap tidak adil karena perbedaan perlakuan tersebut.

“Banyak pertanyaan publik, khususnya kalangan militan Islamis, terkait posisi kelompok militan Islamis vs kelompok separatis, dalam hal ini OPM. Mengapa kelompok militan Islamis dilabeli teroris sedangkan OPM hanya dilabeli kelompok kekerasan kriminal bersenjata (KKB) dan separatis? Bukankah aksi kekerasan OPM juga tidak kalah sadisnya dengan aksi kekerasan kelompok militan Islamis? Adilkah ini? Karena takutnya salah paham. Karena dari situ nanti merasa didiskriminasi dizalimin. Takutnya ini dimanfaatkan, untuk bahan propaganda,” kata Sofyan dalam Diskusi Online “Teroris atau Kelompok Kekerasan Bersenjata?” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi PAKAR dan Ruangobrol.id pekan lalu.

Sofyan menjelaskan jika OPM masuk ke dalam Kelompok Kekerasan Separatis bersenjata (KKSB). Pasalnya tujuan perjuangan OPM ingin memisahkan diri dari Indonesia. Karena itu Sofyan menyimpulkan bahwa pelabelan OPM sebagai kelompok separatis sudah benar. Di samping itu, OPM tidak pernah melakukan aksi teror di luar Papua seperti yang dilakukan oleh kelompok terror yang termotivasi oleh ideologi agama.

Beda halnya dengan Gerakan Aceh Merdeka. Meski GAM menyatakan kelompok separatis namun mereka dulu juga melakukan serangan di luar Aceh. Misalnya GAM melakukan serangan di BEJ Jakarta yang menewaskan puluhan orang. Selain itu ada juga serangan yang dilancarkan oleh GAM yaitu Parkiran Mall Cijantung. GAM juga menurut Sofyan pernah melemparkan granat di Kantor Kejaksaan Agung.

Pemerintah Indonesia pernah mengajukan GAM sebagai organisasi teroris ke PBB. Namun ketika itu ditolak oleh masyarakat internasional. Karena kalau berhasil Pemerintah bisa mengekstradisi tokoh-tokoh di balik GAM yang berada di luar negeri.

“Tapi ketka dilemparkan ke masyarakat internasional itu disebut bukan teror. Makanya Polri dan pemerintah Indonesia memasukkan kelompok separatis bersenjata, atau disebut separatis. Tetapi Indonesia pernahh memasukkan GAM, memasukkan sebagai kelompok teror. Namun ditolak,” kata Sofyan lagi

Lebih lanjut Sofyan menambahkan jika dari segi strategi perjuangan kelompok separatis dan kelompok teroris tidak sejalan. Biasanya kelompok teroris tidak mempunyai tujuan yang jelas kecuali teror itu sendiri. Sementara kelompok separatis mereka mempunyai biro politik bahkan mempunyai perwakilan diplomasi di beberapa negara.

Sofyan kemudian menjelaskan pengalaman MILF di Filiphina sebelum serangan 9 September 2001, mereka sangat familiar dengan Jihadis dari luar negeri. Namun setelah kejadian yang menewaskan ribuan orang itu mereka mulai menolak kehadiran para Jihadis dari luar negeri. Pasalnya Amerika Serikat menjanjikan hadiah yang besar kalau bisa menangkap Jihadis asing seperti Dulmatin.

“Kelompok MILF, sebelum-sebelumnya merek sangat familiar dengan jihadis luar negeri. Tapi pasca insiden serangan menara kembar 9 september 2001. Mulai gak baik hubungannya dengan luar negeri. Di Thailand misalnya didatangi jihadis, mereka akan bingung sendiri. Mereka khawatir tidak diakui oleh perwakilan mereka di luar negeri. Yang akhirnya membuat susah,” jelas Sofyan

Solusinya menurut Sofyan adalah Pemerintah harus melakukan dialog dengan masyarakat Papua. Misalnya dengan memberikn dana Otonomi Khusus yang lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua. Karena menurut Sofyan kelompok Islamis selalu menggoreng terus isu Papua ini.

“Pemerintah harus dialog. Karena ini digoreng terus. Akhirnya pemerintah diangap tidak adil. Yang kemudian dianggap tidak adail kepada Umat Islam. Dari situlah masuk radikalisasi dari mereka,” tuturnya

Hal senada diungkapkan oleh Pengamat Politik dan Keamanan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Robi Sugar. Dia membenarkan jika isu OPM yang tidak disebut sebgaai teroris itu sering dijadikan bahan propaganda oleh kelompok radikal. Menurut Robi narasi yang ditampilkan adalah Pemerintah anti Islam.

“Bicara soal radikalisasi memang seringkali ditanyakan. Soal beda perlakuan ini bisa menjadi alat radikalisasi. Narasinya Rezim anti islam, zim komunis padahal rezim sebelumnya juga gak jauh beda yang dilakukan oleh rezim sekarang ini,” kata Robi

Menurut Robi kelompok bersenjata atau separatisme dan terorisme sangat berbeda dalam strateginya. Kelompok separatisme mempunyai loby internasional terutama akto-aktor non negara. Sedangkan kelompok teroris tidak melakukan strategi itu karena mereka tidak mengakui rezim internasional seperti PBB.

“KKB di Papua Target-target mereka hanya lokal. Makanya disebut pejuang kemerdekaan. Mereka punya Loby Internasional. Mereka itu punnya loby terutama terrhadap non state. Sedangkan Kelompok teroris tidaka melakukan itu karena mereka tidak mengakui rejim internasional. ISIS dulu hampir ada loby internasional, ketika pilot Jordan ditangkap. Beda halnya dengan Taliban yang mempunya perwakilan di beberapa negara seperti di Qatar,” tutur Direktur IMCC ini.

Sementara itu Jurnalis Senior asal Papua Victor C Mambor menilai ada dua solusi yang bisa dilakukan pemerintah terhadap masalah Papua terutama soal OPM. Menurut Mantan ketua AJI Papua itu hanya ada solusi terhadapa masalah Papua. Solusi pertama adalah Pemerintah meluruskan sejarah masuknya Papua ke Indonesia. Solusi kedua adalah Pemerintah harus melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak kekerasan baik yang berasal dari pihak OPM maupun dari aparat.

“Jika ingin Papua tetap di Indonesia (Pemerintah) harus meluruskan sejarah Papua yang benar-benar obyektif dan bisa dipercaya. Kedua penegakan hukum dan HAM di Papua,” kata mantan Wartawan Pikiran Rakyat itu.

Viktor pesimis Pemerintah bisa memasukkan OPM sebagai kelompok teroris ke PBB. Pasalnya narasi yang dibangun oleh Pemerintah hampir sama sejak lama seperti buku putih yang diulang-ulang. Kelompok Beni Wenda sempat dimasukkan red notice tapi dikeluarkan karena tidak terbukti.

“Kalau pemerintah Indonesia mau memasukkan OPM sebagai teroris ke PBB saya kira agak sulit. Narasinya sama, kontennya sama. Seperti buku putih yang diulang-ulang. Seperti Orang papua menikmati Otsus. Orang Papua menikmati demokrasi di Indonesia. Banyak orang papua jadi pejabat,” katanya pesimis

Komentar

Tulis Komentar