Anak sebagai Pelaku Terorisme Mestinya diatur Sanksi Pidana Khusus   

Analisa

by Eka Setiawan

Saat ini, tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Undang-undang ini tidak menyebutkan pengaturan sanksi bagi pelaku anak. Pada Pasal 16 A, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga). Artinya, ini berlaku bagi orang dewasa yang melakukan terorisme melibatkan anak.

Di sisi lain, jika ada anak sebagai pelaku, maka bisa merujuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Di situ diatur bahwa dalam perkara anak, bisa diberlakukan diversi sebagai bentuk restorative justice.

Pada Pasal 6 undang-undang tersebut, disebutkan langkah diversi ini bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggungjawab pada anak.

Pada Pasal 7 undang-undang itu, disebutkan perkara yang bisa dilakukan diversi adalah tindak pidana dengan ancaman penjara di bawah 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Sementara Pasal 9 menyebutkan, semakin rendah ancaman pidana maka makin tinggi prioritas diversi.

Restorative justice sendiri merupakan proses penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi, mulai dari; korban, pelaku, keluarga pelaku, keluarga korban, masyarakat dan penegak hukum atau unsur lain yang dianggap penting untuk terlibat menyelesaikan konflik.

United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985) menegaskan bahwa diversi mengandung  pernyataan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum harus dialihkan ke proses informal, seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non-pemerintah. 

Belum Memihak

Dari adanya regulasi itu, ternyata perumusan diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap perkara serius, seperti; pembunuhan, peredaran gelap narkotika hingga terorisme, yang ancaman pidananya di atas 7 tahun.

Artinya, termasuk pada terorisme, regulasi belum memberikan perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku terorisme. Anak bukanlah pelaku yang mengetahui atau memiliki niat (mens rea) sebagaimana dalam tindak pidana konvensional.

Regulasi pemberantasan terorisme yang tidak memberi kemungkinan untuk diversi bagi anak sebagai pelaku, perlu mempertimbangkan kondisi pertumbuhan psikologis anak, yang tentu di sisi lain masih berpotensi untuk bernilai kebaikan jika dibina dengan baik.

Jika ada anak sebagai pelaku terorisme tetap dijerat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 itu, maka hal itu belum menunjukkan restorative justice, mengingat sesungguhnya anak yang melakukan terorisme justru merupakan korban dari deviant culture (budaya menyimpang, bisa karena orangtua atau kelompok sekelilingnya).

Bagi anak sebagai pelaku, semestinya  diatur straf minima (batasan minimum pidana) khusus sanksi pidana yang meliputi tata cara persidangan dan hak-hak bagi anak sebagai pelaku teror.

Tentunya ini harus melihat pula Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di situ disebutkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah dan pemerintah daerah.

Prinsip perlindungan dan pemenuhan hak anak mencakup; non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Diversi sebagai sebuah model pada penanganan perkara dengan pelaku anak tentu bertujuan baik. Tapi perlu dikaji apakah diversi sungguh berpihak pada hak anak, terutama anak sebagai pelaku terorisme.

Pada kasus terorisme melibatkan anak, harus dipahami dia sebagai korban. Dia bukanlah pelaku aktor intelektual terorisme, korban janji dan iming-iming orang dewasa. Secara psikososial mereka juga bukanlah anak yang sehat dan cakap, sebab kinerja otak mereka sudah dicekoki dan terpapar nilai-nilai radikal yang salah kaprah dan indoktrinasi yang tidak benar.

Sebab itu, perlu pemahaman oleh terhadap adanya kebutuhan perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku terorisme. Bukan hanya kepada penyidik, penuntut umum dan hakim, tapi juga melibatkan psikolog anak, psikiater, rohaniwan bahkan budayawan pada setiap tahap pemeriksaan perkaranya.

Masa penahanan anak juga harus diperhatikan, sebab hanya menambah luka kejiwaan, yang justru potensial untuk menjadikan anak di kemudian hari melakukan perlawanan dengan modus operandi kejahatan inkonvensional yang lebih parah (extra ordinary crime) atau bahkan cacat mental yang sama halnya dengan melakukan pembunuhan karakter anak secara perlahan.

Selamat Hari Anak Nasional!

 

 

*Tulisan ini merupakan rangkuman dari artikel aslinya berjudul “Dialektika sebagai Model Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme” ditulis oleh Yovita Arie Mangesti (Asosiasi Ilmuwan dan Praktisi Hukum Indonesia) yang dikirimkan ke ruangobrol.id.

 

FOTO: EKA SETIAWAN

Komentar

Tulis Komentar