Secercah Harapan dari Tanah Runtuh (Bag. 1)

Other

by Kharis Hadirin

Tahun 1999, awal terjadinya kerusuhan besar di Poso, Sulawesi Tengah bermula.

Semboyan Sintuwu Maroso, persatuan yang kuat telah ternoda.

Adalah Ocha dimana saat itu ia masih duduk di bangku kelas VIII atau memasuki masa kenaikan kelas IX SMP, salah satu saksi hidup tragedi berdarah tersebut.

Sebagai seorang remaja keturunan Muslim, Ocha yang masih kelas IX SMP mencoba ikut bergabung dibarisan ‘Aceng’ (sebutan untuk umat Muslim Poso) dengan bersenjatakan batu melawan ‘Obet’(sebutan untuk umat Kristiani Poso).

Ia bergabung bersama dalam barisan orang-orang dewasa untuk menyambut seruan perang suci, bellum sacrum atau holy war.

Beberapa bulan kemudian, konflik tersebut berkembang lebih luas dan menjadi konflik yang sangat mematikan.

Hal ini pula yang kemudian menarik para veteran konflik Agfhanistan dan Filipina yang mayoritas berasal dari Jawa untuk datang ke Poso membantu perjuangan kaum muslimin disana menghadapi Obet.

Dukungan personil dari berbagai wilayah pun mulai masuk secara bergelombang ke Poso, tidak terkecuali dari kelompok Jama’ah Islamiyah (JI).

Para personil yang dikirim untuk membantu, salah satunya adalah Muhammad Sibghohtullah alias Sibghoh, seorang alumni dari Pondok Pesantren Al-Islam Lamongan.

Peran Sibghoh bukan sebatas terlibat dalam konflik semata, tetapi juga memberikan pengajaran Islam yang dimaksudkan untuk memupuk pemahaman masyarakat tentang ajaran agama yang benar.

Menjadi santri di tanah rantau

Ocha yang belum sempat menyelesaikan pendidikan SMA di Poso, lantas memutuskan untuk hijrah ke Jawa dan menimba ilmu agama disana. Atas rekomendasi Sibghoh tentunya.

Tahun 2005, Ocha bersama 2 orang temannya, berangkat menuju Jawa ke Pesantren Al-Islam Tenggulun, Lamongan dengan menggunakan transportasi laut.

Baginya, Jawa adalah sentral tempat dimana segala macam ilmu bermuara. Maka berangkatlah ia menggunakan kapal menuju Surabaya.

Beberapa hari setelah tinggal di pesantren, ia ditelpon oleh teman-temannya dari Poso untuk kembali lagi ke sekolah.

Ocha memang keluar dari sekolah 3 bulan sebelum menjelang masa ujian akhir kelas 3 SMA. Dikatakan kepada mereka, bahwa dirinya merasa lebih nyaman berada di pesantren dan ingin mempelajari agama.

Sekitar 4 bulan kemudian, Ocha merencanakan agenda untuk liburan ke kampung halamannya, Poso.

Dan tentu, bisa kembali menyapa keluarga dan teman-temannya menjadi hal yang ia tunggu selama ini. Terlebih mengingat perjalanan ke Jawa adalah pengalaman pertamanya jauh daripada keluarga.

 

 

Foto: https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/08/01/ob7tmj385-neraka-poso-konflik-islamkristen-warga-keturunan-santoso-dan-tibo

Komentar

Tulis Komentar