Semasa belajar baik di bangku sekolah dasar maupun di tingkat lanjutan, dari sekian mata pelajaran yang ada, barangkali PPKn adalah satu-satunya materi yang paling dianggap absurd.
Selain jarang sekali ada PR atau tugas, sekalipun ada, jenis pertanyaan yang diajukan juga umumnya hanya mengacu pada pengetahuan siswa masing-masing. Jadilah tugas yang ada tak ubahnya seperti materi mengarang bebas.
Meski ini hanya sebatas subjektifitas penulis, namun realitanya tidak ada benar salah dalam teks PPKn, sebab semuanya kembali kepada nilai budaya yang diyakini masing-masing siswa.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKKn) atau sekarang menjadi Pancasila dan Kewarnegaraan (PKn), merupakan salah satu mata pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi di bidang pendidikan.
Sejatinya, Pendidikan Kewarganegaraan adalah studi tentang kehidupan kita sehari-hari, mengajarkan bagaimana menjadi warga negara yang baik, warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia.
Dalam jurnal yang diterbitkan oleh Ristekdikti (2016), dasar mengapa Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan sampai tingkat Perguruan Tinggi adalah Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang menyebutkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Atas dasar inilah, Pendidikan Kewarganegaraan dianggap sebagai pelajaran fundamental yang harus dimiliki para siswa sejak kelas dini. Sebab nilai yang diajarkan didalamnya, bukan semata sebagai tuntutan akademik, melainkan juga untuk menanamkan akan pentingnya nilai-nilai hubungan sosial di tengah masyarakat, serta pentingnya kehidupan berbangsa.
Ironisnya, justru Pendidikan Kewarganegaraan semacam ini tak mampu menembus di tataran pendidikan pesantren berbasis Jihadi.
Jangankan masuk sebagai materi pelajaran di kelas, mendengar nama PKn saja pasti akan menuai banyak kecaman.
Barangkali, tak banyak orang yang mengetahui polemik semacam ini bisa muncul di kalangan pesantren. Nyatanya, hal ini benar adanya. Bahkan sudah terlanjur mengakar kuat hingga berlumut.
Jika ada pertanyaan tentang materi pendidikan yang dianggap tidak bermutu bahkan menyesatkan, tentu pasti PKn jawabannya.
Dari sisi historikal, tidak ada catatan kelam yang menunjukkan adanya benturan antara pesantren dengan materi PKn hingga berdarah-darah. Namun perseteruan antar falsafah ini agaknya sudah berlanjut hingga turun-temurun antar generasi.
Jika ditanya, apa yang menyebabkan kalangan pesantren Jihadi begitu alergi dengan materi pendidikan ini? Jawabnya, karena di dalamnya menanamkan sikap toleransi antar umat beragama.
Tentu sikap toleransi yang diajarkan pada materi PKn, bukanlah faktor tunggal mengapa kalangan Ikhwan atau Jihadi begitu antipati.
Justru ideologi Pancasila yang menjadi latar dalam pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadikannya sebagai akar utama kenapa materi fundamental ini ditolak di lingkungan mereka.
Ideologi Pancasila sendiri dianggap tidak sejalan dalam prinsip keyakinan beragama.
Bagi kalangan Ikhwan atau Jihadi, Pancasila tak ubahnya sebuah agama dengan produk turunannya berupa undang-undang dasar 45.
Sementara, bagi kalangan Jihadi, Islam telah mengaturnya melalui hukum syari’at yang berbasis pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Atas prinsip ini, maka jadilah keduanya bak unsur kimiawi yang tidak pernah bisa menyatu-padu.
Karenanya jangan heran, jika di kemudian hari ada di kalangan Jihadi yang berikrar setia pada NKRI dan mengakui Pancasila sebagai dasar hukum, ia akan dianggap telah menggadaikan keyakinannya. Bahkan lebih jauh, dianggap telah murtad.
Sebab sejatinya, mengakui Pancasila sebagai falsafah hidup, tak ubahnya seperti mengakuinya sebagai agama. Sementara dalam prinsip keyakinan di kalangan Ikhwan dan Jihadi, Islam adalah agama tunggal dan kebenaran yang mutlak. Tidak ada agama atau keyakinan lain yang layak diibadahi di muka bumi kecuali agama ini.
Selebihnya, hanyalah kumpulan kaum sesat yang kelak akan menempati singgasananya dalam keraknya neraka jahannam.
Albert Einstein, Ellon Mask, Mark Zuckerberg, Thomas Edison, Madam Theresa, Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Paus Benediktus, hanyalah contoh secuil dari para kumpulan kaum bedebah, kaum para penghuni neraka. Duh, kasihan sekali nasib mereka!
Sumber link: https://kumparan.com/@kumparannews/selamat-hari-lahir-pancasila