Seorang kawan, namanya Rama, yang tiap harinya bekerja sebagai pemusik di Bali, siang tadi datang ke rumah tempat saya ngontrak, di Kawasan Banyumanik, Kota Semarang.
Kawan saya itu yang memang asli Semarang, sekarang katanya lagi liburan sebentar di kota tempat kelahirannya ini, kota tempat saya merantau. Katanya, sejak awal tahun baru kemarin, Bali lagi sepi event, bulenya nggak terlalu banyak.
Maklum, bekerja sebagai musisi di Bali, sekali lagi kata dia, tak cukup hanya mengandalkan duit dari hasil nggitar plus nyanyi dari kafe ke kafe. Perlu tambahan, seperti ya dari bule-bule tadi, ditanggap untuk nyanyi lagu request mereka, lalu biasanya akan dikasih uang lumayan banyak sebagai imbalan telah menghibur mereka lewat lagu.
Nah, yang dia ceritakan ketika siang tadi datang ke kontrakan saya, bukan tentang bagaimana dia nyari duit sebagai pemusik di Bali sana. Tapi tentang beberapa sikap tetangganya, wabil khusus, beberapa emak-emak yang doyan ngerumpi.
Kawan saya itu memang pandai kalau urusan mencari solusi. Apalagi kalau kepepet. Cari iklan juga oke. Terbukti sekitar 9 tahun lalu ketika kami sama-sama bekerja di media grupnya Jawa Pos di Semarang, dia memang lihai cari iklan. Bahkan dukun pun “dikibuli” sampai mau pasang iklan.
Dia itu kemudian resah dengan apa yang terjadi di lingkungannya. Yak! Karena banyaknya emak-emak yang doyan ngerumpi. Menurutnya, hal itu mengganggu pandangan mata, tak sedap dipandang apalagi didengar. Bikin sumpek.
Lalu, berbekal jaringan medianya, kenalannya, dia mendatangi pabrik pembuatan sabun. Kemudian mengutarakan niatnya, agar emak-emak yang suka ngerumpi tadi mbok ya dilatih bikin sabun cuci saja. Minimal, energinya tidak terbuang percuma untuk ngerumpi, tapi teralihkan dengan membuat sabun cuci.
Dapat bahan gratis, dikasih pelatihan gratis, awal-awalnya, emak-emak itu pada suka. Bisa bikin sabun cuci sendiri, minimal menghemat pengeluaran buat beli sabun cuci. Kalau ada yang tertarik, bisa juga dijual. Ini tentu mendatangkan manfaat.
Waktu berjalan. Dia yang keluar dari bekerja di media, memilih mengadu nasib di Bali untuk jadi musisi, nggitar dan nyanyi. Memang, karena selain suaranya bagus dan bisa nggitar, dia dapat job di beberapa kafe dan event.
Karena merantau, dia kadang kangen rumah. Akhirnya dia pulang ke Semarang. Selain untuk bertemu keluarga, juga mengurus beberapa keperluan. Juga mengobati kangen nongkrong dengan kawan-kawannya, ya termasuk saya ini hehehe karena kami dulu pernah kenal cukup lama, tepatnya sekitaran tahun 2007 hingga 2010 ketika saya bekerja jaga studio musik di Banyumanik Semarang. Dia salah satu orang yang suka tidur di studio, nggenjreng, ngobrol ngalor ngidul.
Nah pas di kampung tadi, kawan saya itu tentu penasaran dengan emak-emak yang sebelumnya mau meninggalkan aktivitas ngerumpi dengan membuat sabun cuci.
Ternyata, itu tak bertahan lama. Ketika dia pulang ke Semarang itu, sudah tidak ada aktivitas membuat sabun cuci lagi. Dia cerita ke saya, sempat bertanya kepada beberapa emak-emak tadi.
“Banyak alasannya, yang satu nganu Mas karena ini…nganu Mas karena itu, nganu Mas…,” kata si kawan saya tadi bercerita ke saya.
“Aku jengkel (marah), urip kok kakean alasan. Ternyata musuh kita bersama itu nganu!,” tambah kawan saya tadi sambil misuh-misuh.
Saya ikut ngekek mendengar ceritanya. Betul juga sih. Kalau apa-apa maunya instan, mau kaya maunya instan nggak mau kerja, mau dapat duit maunya instan, ya repot. Alasannya banyak, nganu, nganu, nganu, nganu.
Diam-diam, dalam hati saya mengiyakan. “Ternyata benar, musuh kita bersama itu nganuuuuuu!!!!,”