
Di penghujung tahun 2018 sekaligus pembuka 2019 ini, setidaknya ada 2 insiden yang bikin geleng-geleng kepala di Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang, hingga Semarang dan sekitarnya.
Masyarakat dibuat resah, tak terkecuali para pewarta.
Pertama, adalah insiden perusakan beberapa makam di TPU Giriloyo, Kota Magelang. Sasarannya, simbol agama tertentu dirusak secara serampangan.
Membikin gaduh di tempat yang seharusnya jadi peristirahatan terakhir manusia dengan tenang di muka bumi. Ada duapuluhan makam yang dirusak. Ini polisi setempat akhirnya bisa menangkap pelakunya.
Insiden kedua adalah serangkaian insiden pembakaran kendaraan bermotor (KBM), baik roda dua maupun roda empat yang terjadi di Kota Semarang, Kabupaten Semarang hingga Kabupaten Kendal. Hingga Februari ini, lebih dari 20 KBM dibakar orang tak dikenal. Kalau yang ini, sampai tulisan ini ditulis, pelakunya belum tertangkap.
Dua peristiwa ini membuat gaduh dunia maya maupun dunia nyata. Orang meng-copy paste lalu menyebarkan, menceritakan, mengabarkan ke khalayak. Sekali lagi, di dunia maya maupun dunia nyata.
Kenapa orang-orang menyebarkan itu? Mungkin orang-orang khawatir, orang-orang marah, orang-orang tak mau orang lainnya jadi korban.
Orang-orang juga memberikan informasi dengan caranya masing-masing, salah satu tujuannya agar otoritas penegak hukum segera menangkap pelakunya agar kejadian tak terus berulang.
Di mata pewarta (secara ekonomis), bisa jadi aneka insiden itu adalah ‘pundi-pundi rejeki’. Insiden yang menyita perhatian publik, biasanya akan gampang untuk tayang di media tempat masing-masing dari mereka bekerja. Bagi mereka yang diupah per berita tayang, jelas ini menguntungkan. Ora tayang ora mangan.
Tapi di sisi lain, ini juga bisa jadi bumerang. Aneka berita tentang insiden itu, yang ditulis, dibuat, lalu disebarkan ke khalayak, tentunya bisa jadi kepanjangan tangan insiden tersebut.
Mungkin bagi pelakunya (yang bisa disebut peneror), ini bisa jadi sangat menguntungkan. Tujuan mereka berhasil, melakukan aksi (yang tujuannya teror), kemudian akan ‘diperpanjang’ efeknya melalui berbagai pemberitaan. Dua burung jatuh dengan satu batu.
Di beberapa informasi yang saya dapat dan baca, beberapa pelaku (teror) bahkan “mengkliping” berita aksi yang mereka/kelompok mereka lakukan.
Bahkan ada pula yang punya “kantor berita sendiri”, mereka meliput, menuliskan, lalu disebarluaskan lagi ke khayalak, termasuk mengirimkannya ke kelompok yang lebih besar (yang biasanya jadi kelompok panutan mereka dengan tujuan agar mendapat pengakuan). Di beberapa kasus (kelompok-kelompok kecil yang berafiliasi dengan Al Qaeda pernah melakukannya demi mendapat pengakuan tertentu-legitimasi tertentu).
Berita dijadikan alat propaganda, penyebarluasan informasi atas aksi yang terjadi ataupun yang mereka lakukan.
Untuk kasus perusakan makam dan pembakaran KBM itu, memang belum ada informasi yang mengarah kalau pelakunya kelompok teroris yang “mainstream”.
Setidaknya ini diungkapkan seorang kawan yang sempat ditangkap Densus 88 karena sempat masuk lingkaran kelompok teroris, ketika kami mengobrol soal serangkaian insiden pembakaran KBM di Semarang dan sekitarnya.
“Sepertinya bukan (teroris) pelakunya ya. Karena bukan simbol-simbol negara yang disasar, simbol musuh, misalnya mobil polisi, kantor polisi, aparat,” kata kawan tadi.
Berbicara simbol yang dimaksud, memang secara garis besar, ada perbedaan sasaran dari kelompok-kelompok teroris yang sempat membikin gaduh negeri ini.
Jika sekitaran tahun 2000 – 2010-an, simbol Barat jadi sasarannya. Setelah itu, ada juga kelompok berbeda yang sasarannya menyerang simbol-simbol negara. Tergantung pelakunya berafiliasi ke kelompok mana.
Kembali ke serangkaian insiden pembakaran KBM tadi, mudah-mudahan bisa segera terungkap pelakunya plus dalang-dalangnya (entah itu kriminal murni atau bukan).
Buat otoritas penegak hukum, satu-satunya jawaban yang ditunggu masyarakat adalah menangkap pelakunya sekaligus dibeberkan dengan gamblang apa tujuannya aksi-aksi itu.
Semoga, ‘bakar-bakaran’ ini cepat padam, panasnya tak merembet ke mana-mana.