Dalam remang-remang hiruk pikuk senja di kota ini , saya menyaksikan metamorfosis gagasan. Seperti kupu-kupu yang tak sabar meninggalkan kepompongnya, pemikiran Islam di negeri ini terus bergerak, mencari bentuk barunya.
"Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat," begitu kata yang dinisbatkan kepada Nabi ﷺ. Namun, betapa sering kita melihat perbedaan itu justru menjadi duri yang menusuk persatuan. Kita lupa bahwa keragaman adalah kekayaan, bukan ancaman.
Di sudut-sudut kota, di warung kopi, hingga menara gading, perdebatan tentang Islam dan keindonesiaan tak pernah usai. Ada yang ingin memutar jarum jam ke masa lalu, ada pula yang berlari terlalu kencang ke masa depan hingga terengah-engah kehilangan akar.
Imam Syafi'i pernah berkata, "Pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar." Kearifan ini seolah terlupakan di tengah hiruk-pikuk klaim kebenaran mutlak.
Kita menyaksikan bagaimana tafsir-tafsir baru bermunculan, kadang memukau, kadang menggelisahkan. Seperti air, Islam mengalir mencari bentuknya di lembah-lembah Nusantara. Kadang jernih, kadang keruh, namun terus bergerak.
Ada yang melihat ijtihad Umar bin Khattab sebagai pintu menuju pembaharuan. Yang lain justru melihatnya sebagai makna sebuah penyimpangan. Di antara dua kutub ini, kita mencari jalan tengah, mencoba memahami konteks tanpa kehilangan esensi.
Pembubaran sebuah jamaah dan organisasi Islam tertentu bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan awal dari bab baru. Seperti pohon yang dipangkas, ide-ide akan tumbuh lagi, entah dalam bentuk yang sama atau berbeda.
"Barangsiapa berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Dan barangsiapa berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala," begitu sabda yang kita pegang. Namun, betapa sulitnya menentukan batas antara kebenaran dan kesalahan dalam ranah pemikiran.
Kita hidup di zaman di mana informasi digital mengalir deras bagai air bah. Tantangannya bukan lagi mencari, tapi memilah. Mana yang jernih, mana yang keruh. Mana yang mencerahkan, mana yang justru menggelapkan hati.
Di tengah pusaran ini, kita diingatkan oleh kearifan Imam Syafi'i: "Ilmu itu bukan yang dihafal, melainkan yang memberi manfaat." Maka, sudah sepatutnya kita bertanya, sejauh mana pemahaman kita tentang Islam yang telah membawa kebaikan bagi sesama?
Kamuflase ide-ide lama dalam sebuah bungkus deklarasi adalah sebuah fenomena yang tak bisa kita hindari. Seperti air yang mencari celah, pemikiran akan selalu mencari jalan untuk mengekspresikan dirinya. Tugas kita adalah memastikan bahwa ekspresi itu tidak mengorbankan kemanusiaan kita yang paling mendasar.
Dalam perjalanan panjang pemikiran Islam di Indonesia, kita telah menyaksikan pasang surut sebuah gagasan ide. Ada masa di mana moderasi menjadi arus utama, ada pula saat di mana ekstremisme mengancam. Namun, seperti kata pepatah, setiap malam yang gelap akan diikuti fajar yang cerah.
Maka, mari kita renungkan kembali esensi ajaran kita. Bukan untuk mencari yang paling benar, tapi untuk menemukan yang paling bijak. Bukan untuk menang dalam perdebatan, tapi untuk menang melawan kebodohan dan keterbelakangan.
Sebab pada akhirnya, Islam yang kita pahami dan praktikkan akan dinilai bukan dari ketinggian menara masjid. Tapi dari keluasan cakrawala pemikiran dan kedalaman kasih sayang kita kepada sesama.
Kita hanya menjustifikasi yang nampak. Dan hanya Allah SWT yang Maha Tahu apa yang tidak nampak.
Surabaya, 7 Juli 2024
(Abu Fida)
Ilustrasi: By AI
Komentar