YOGYAKARTA - Mantan Amir Jamaah Islamiyah Para Wijayanto menyebutkan sedikitnya ada empat kesalahan JI yang tidak dapat ditoleransi. Keempat masalah itu didapatkan setelah pihaknya di internal JI kembali mengkaji literatur yang ada. Hal itu disampaikannya dalam acara bedah buku JI Untold Story: Perjalanan Jemaah Islamiyah pada hari Selasa, (3/6/2025) di Teatrikal Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hadir juga dalam acara ini Staf Khusus Kadensus 88 Khoirul Anam, Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Dr. Munawar Ahmad, dan Pakar terorisme Solahudin.
Para menjelaskan jika keempat hal itu adalah pertama bersikap ghuluw fi takfir (ekstrem dalam mengkafirkan sesama Muslim). Vonis kafir itu disematkan kepada Muslim yang berbeda kelompok dan pandangannya. Para menjelaskan sikap tersebut merupakan aplikasi serampangan dari kaidah "barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka ia kafir."
“Itu kaidahnya bener tapi praktiknya kurang tepat. Ya jadi takut sekali kalau enggak mengkafirkan disangka nanti dia kafir. Padahal setelah diteliti untuk mengkafirkan itu ternyata tidak otomatis tidak bisa dari teks langsung dipraktikkan. Tapi ada dowabit-nya ada tata caranya. Nah yang ini sebelumnya belum tahu ilmunya belum sampai sana tapi setelah dikaji ternyata ada syarat-syaratnya. Dan gak bisa juga dilakukan oleh sembarang orang. Itu harus diputuskan oleh hakim. Masalahnya ketika yang mengambil putusan bukan hakim kemudian dieksekusi karena tadi halal darahnya nah kemudian dieksekusi,” imbuhnya.
Kesalahan JI yang kedua lanjut Para adalah tindakan terorisme (irhab). Beberapa serangan terorisme yang pernah dilakukan oleh JI menurut Para antara lain bom Bali 1, bom Bali 2, Kedutaan Filipina, Kedutaan Australia dan lain-lain. Serangan teror itu menurut Para berawal dari vonis kafir yang dilakukan serampangan.
“Jadi ketika sudah menganggap itu kafir ya itu semangat untuk menghancurkannya juga menjadi luar biasa energinya. Biasanya dilakukan oleh rata-rata yang tercemar pada ghuluw fi takfir,” kata Para lagi.
Kesalahan JI yang ketiga menurut Para adalah radikalisme. Maksud dari radikalisme ialah ingin mengubah sistem pemerintahan yang berlaku. Paham itu menurut Para berasal dari hadis yang menyebutkan adanya khilafah ala minhaji nubuwah.
“Semangat ingin menjadikan hadis ini kenyataan. Padahal di hadis itu tidak ada berita ya cuman berita gembira caranya tidak disebutkan di situ dan bukan bentuk hadis yang berbentuk kalimat perintah, tidak ada perintah. Tapi JI memaksakan ingin mensegerakan itu bisa terealisasi. Akhirnya ingin mengubah Indonesia supaya menjadi negara Islam kemudian di situ menjadi khilafah ala minhaji nubuwah,” lanjutnya
Kemudian yang keempat adalah tindakan kekerasan. Kekerasan itu dilakukan dalam kasus mutilasi di Poso dengan tujuan untuk memancing jihad itu menyala lagi. Pelakunya adalah salah satu alumni pelatihan militer di Moro Filipina.
“Korban mutilasinya adalah siswi SMK Nasrani. Padahal dalam hadis kan wanita non muslim tidak boleh dibunuh. Kita kesulitan melakukan pembelaan ketika ditanya dasarnya apa melakukan mutilasi itu.”
Lebih lanjut Para menjelaskan dari keempat hal ini kita simpulkan betapa sulitnya membela terhadap empat hal tadi secara syar’i. Bahkan lanjut Para keempat masalah di atas tidak bisa dibela lantaran komitmen terhadap manhaj ahlu sunnah wal jamaah.
“Jadi memberontak pada pemerintah yang sah itu hanya dipegang oleh khawarij atau mu’tazilah ya mu’tazilah tapi kalau ahlus sunah wal jamaah cenderung tidak memberontak terhadap penguasanya yang masih dianggap masih muslim. Akhirnya bertentangan antara manhaj yang kita pegang dengan fakta tindak-tindakan yang dilakukan,” pungkas pria yang baru bebas dari LP Cibinong pada 27 Mei 2025 lalu itu.[Ahmad Kusairi]
Foto: Tim Media FUPI UIN Sunan Kalijaga
Komentar