Oleh: Febri Ramdani
Kegiatan Peacetival yang menjadi salah satu signature program Peace Generation Indonesia telah memasuki Volume ke 7 dan diselenggarakan pada 09 November 2024 lalu di Institut Teknologi Bandung (ITB). Peacetival tampil dalam berbagai format acara, antara lain pameran, penampilan seni budaya, permainan yang bertemakan inklusivitas dan perdamaian, hingga workshop.
Peacetival dibuka dengan beberapa sambutan, diawali oleh Irfan Amali, Co-Founder Peace Generation Indonesia dan perwakilan K-Hub PVE Community, kemudian Afnia Sari - Strategic Manager Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), Prasetyo Aditama Direktur Kemahasiswaan Institut Teknologi Bandung (ITB), dan terakhir Andhika Chrisnayudhanto - Deputi Kerjasama Internasional BNPT RI.
Dua hal istimewa dalam Peacetival Vol. 7 kali ini adalah peluncuran Outlook #4: “Strategi Komunikasi Digital Tangkal Paham Radikal” oleh K-Hub PVE Community, dan yang kedua peluncuran film dokumenter “The Invisible Wall” yang berfokus pada proses reintegrasi. Mengapa keduanya istimewa? Karena produk pengetahuan Outlook menjadi rujukan jurnal internasional dan RAD PE Forum Kemitraan, terlebih untuk Outlook #4 yang merupakan visualisasi data untuk mempermudah proses decision making. Kemudian film The Invisible Wall menceritakan tentang pentingnya kerja sama antar masyarakat dalam meruntuhkan stigma dan prasangka terhadap para penyintas terorisme. Kedua hal tersebut sama-sama garapan tim Ruangobrol.id di bawah naungan Yayasan Kreasi Prasasti Perdamaian.
Strategi komunikasi dalam Outlook #4 dilakukan dalam rangka membangun social cohesion dan ketahanan komunitas. Outlook ini juga melihat 4 rekomendasi strategic outlook yakni pertama, terkait pemanfaatan teknologi Artificial Intelligence (AI), eksplorasi berbagai platform social media, kemudian pengembangan capacity building bagi OMS di isu PCVE yang dirasa perlu memiliki Roadmap, dan terakhir adalah penggunaan platform KHub sebagai mitra.
Ada satu hal menarik dari sesi diskusi pembahasan Outlook #4: “Strategi Komunikasi Digital Tangkal Paham Radikal” ini, dikarenakan semakin maraknya radikalisasi online. Sudah merupakan keniscayaan bahwa ketika individu yang teradikalisasi secara online berselancar di internet, akan terbentuk suatu algoritma yang cenderung memunculkan berbagai macam konten sesuai yang dicari dan diminati individu tersebut. Jika pencarian berkelanjutan individu tersebut adalah konten-konten berbau intolerasi, radikalisme, dan ekstrimisme, maka konten-konten itulah yang akan selalu muncul. Hal ini menjadi keprihatinan salah seorang paserta yang “menuntut” agar hal tersebut dicarikan solusi terbaik.
Solusi yang diusulkan salah satu panelis, Dedik Priyanto (Islami.co), menyinggung dua kata kunci untuk berhasil dalam digital campaign, yaitu targeted audience dan dana yang cukup untuk mengatur algoritma, melalui ads/iklan di media sosial yang secara tajam menyasar audiens yang ditargetkan. Namun, jika hal itu tidak bisa dilakukan secara maksimal, maka kita dapat melakukan produksi konten yang bagus disertai berjejaring dan berkolaborasi secara luas. "Jadi intinya harus sering kerja sama, bukan kerja saya," begitu Dedik menandaskan.
Sesi diskusi pun berlanjut dengan fokus pada moderasi beragama, tantangan radikalisasi online yang semakin merebak, pentingnya Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI), serta toleransi dalam mencegah radikalisasi dan terorisme.
* * *
Masih di lokasi yang sama di Auditorium Community Center Timur ITB, langsung lanjut ke sesi setelah makan siang yakni pemutaran film dokumenter “The Invisible Wall”. Kurang dari 20 menit lamanya durasi film tersebut berhasil diputar perdana dan mendapatkan tepuk tangan apresiasi dari para penonton. Sesi pemutaran dan diskusi film itu sendiri dinamai “Talk the Peace”.
Saat sesi diskusi, Mira Kusumarini selaku Direktur Eksekutif Empatiku mengatakan bahwa film tersebut sangatlah bagus, perjuangan para perempuan yang tidak punya titel (gelar) pendidikan tinggi, dan tidak memiliki apapun tetapi kuat bertahan, dan hidup dengan hati nurani untuk berjuang membangun masa depan. Di samping itu dampak yang diberikan media ini (film) berhasil mengkomunikasikan pesan bahwa tantangan-tantangan tersebut bisa terjadi kepada siapa saja. Kemudian, yang terpenting apa yang bisa kita lakukan untuk menangani berbagai macam tantangan yang ada.
Sesi Pemutaran film The Invisible Wall dalam acara Peacetival Vol. 7 di Institut Teknologi Bandung [Dok. Pribadi]
Film tersebut memperlihatkan bahwa media benar-benar dapat mengkonstruksi sebuah realitas yang terkadang bisa menjurus ke arah stigma. Dalam hal ini adalah terhadap perempuan yang belum tentu terlibat (dalam konteks film) kasus terorisme.
Sebagai penutup, hadirin mendengar pernyataan dari salah satu protagonis film “The Invisible Wall”, yaitu Ibu Purwati, memberikan tanggapan serta apresiasinya terhadap diskusi dan pemutaran film. Beliau yang awalnya ragu, akhirnya bersedia terbuka dan terlibat dalam pembuatan film tersebut dengan harapan dapat menjadi inspirasi bagi dirinya sendiri maupun orang banyak, serta sebagai penyemangat bagi dirinya untuk bisa bangkit lagi.
Komentar