Tergopoh-gopoh setengah berlari sambil membawa kopernya, Euis memasuki halaman Willing Hearts. Pekan ini, workshop bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura diadakan di gedung amal yang berlokasi di kawasan Telok Kurau itu.
Hari ini mereka akan belajar membuat tas rajut handmade, dipandu oleh sesama PMI. Suasana tampak seru dan penuh antusiasme. Tak lama sejak kedatangan Euis, semua peserta pun mulai fokus dengan kesibukan tangan mereka, merajut benang kanvas menjadi sebuah karya.
Workshop Rutin untuk Pengembangan Diri
Workshop seperti ini merupakan bagian dari kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Pekerja Migran Indonesia Bersatu (PMIB), diadakan pada pekan ke-2 dan ke-3 setiap bulannya. Kegiatannya pun beragam, mulai dari menjahit, bermain gitar, make-up, merajut, zumba, hingga bermain angklung.
Menurut Ana, Ketua PMIB yang telah menjalankan kegiatan ini selama 10 tahun, tujuan utama dari workshop ini tidak hanya untuk menambah keterampilan PMI sebagai bekal masa depan, tetapi juga sebagai ajang silaturahmi dan wadah untuk mengisi hari libur dengan kegiatan positif.
“Banyak PMI yang menghabiskan liburnya hanya untuk nongkrong saja. Kan lebih baik waktu luang itu digunakan untuk menambah ilmu yang bisa berguna nanti,” ujar Ana.
Euis (46), PMI asal Garut yang sebelumnya pernah bekerja di Hong Kong, juga berbagi pengalaman serupa. Selama bertahun-tahun menjadi PMI di Hong Kong dan Singapura, dia selalu mencari kegiatan untuk menambah keterampilannya. Kini, ia telah menguasai berbagai keterampilan tangan sesuai minatnya.
“Motivasi saya ikut workshop ini adalah untuk menambah ilmu. Saat pulang ke Indonesia nanti, saat pensiun, saya ingin membuka bisnis dengan keterampilan yang saya miliki.”

Kendala Biaya dan Dukungan Sponsorship
Setiap pekan, kelas-kelas PMI diikuti oleh 15 sampai 20 peserta, dengan biaya yang masih terjangkau bagi para PMI. Ana selalu berusaha menekan biaya seminimal mungkin dengan menggandeng sponsorship, seperti Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) dan agen tenaga kerja (maid agency).
Namun demikian, untuk bisa mengikuti kegiatan ini, PMI harus terlebih dahulu terdaftar sebagai anggota, karena PMIB masih harus menyewa gedung dengan biaya SGD 400 per tahun atau sekitar 5 juta rupiah.
“Kegiatannya ada, bermanfaat, tapi pembiayaannya masih berasal dari para PMI lagi, jadi tidak bisa terlalu mahal,” lanjut Ana. Kali ini, workshop mendapatkan sponsor dari Living Well Maid Agency, sehingga para peserta hanya perlu membayar SGD 5 atau sekitar RP 60.000 per orang, dengan kuota maksimal 20 orang.
Tantangan PMI di Era Digital
Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang PMI terbesar di Singapura, dengan jumlah sekitar 250 ribu orang. Namun, kurangnya literasi digital dan banyaknya waktu luang membuat banyak PMI rentan mencari hiburan atau sesuatu yang baru di dunia digital. Tanpa disadari, mereka bisa dengan mudah terjebak dalam scamming atau bahkan terlibat dalam jaringan radikal.
Banyak kasus PMI yang tertipu secara finansial akibat penipuan online, sementara yang lain terpapar propaganda ekstremisme karena tidak memiliki kegiatan yang lebih produktif. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya dipenjara atau dideportasi akibat keterlibatan dalam aktivitas ilegal yang awalnya tidak mereka sadari sebagai kegiatan berbahaya.
Sebagaimana pesan Albert Einstein, “Energy cannot be destroyed; it can only be transformed,” begitu pula dengan energi yang dimiliki para PMI. Jika dibiarkan kosong, mereka bisa terjebak dalam kebosanan dan aktivitas negatif. Tentunya akan lebih baik menyalurkan energi tersebut untuk kegiatan positif, seperti meningkatkan skill yang tidak hanya bermanfaat selama bekerja di luar negeri, tetapi juga saat kelak mereka kembali ke Indonesia.
Memang upaya ini tidak selalu mudah. Salah satu kendala utama adalah kurangnya keterlibatan pemerintah, terutama dalam hal pendanaan. Ana dan timnya harus memutar otak agar kegiatan mereka tetap berjalan, dengan tetap berharap pemerintah bisa lebih banyak terlibat dalam mendukung program PMI seperti ini.
Membuka Peluang Masa Depan
Tanpa terasa, enam jam telah berlalu, workshop dan di gedung Willing Hearts itu pun berakhir dengan pameran handbag mini rajutan para peserta yang siap digunakan. Ada juga menjadikan tas rajut karyanya sebagai hadiah untuk anak-anak mereka di kampung halaman.
Meskipun sedang menjalani puasa Ramadan, ternyata semangat mereka untuk belajar dan mengisi waktu luang dengan kegiatan bermanfaat tetap tinggi. Semoga, di masa depan, mereka mendapat dukungan yang lebih besar dari pemerintah dan berbagai pihak, agar kesejahteraan para PMI ini semakin terjamin saat mereka pensiun dan kembali ke tanah air. [ ]
YULIANTI 18 Mar 2025, 10:01 WIB
assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.....salam budaya ..ya salah satu dr peserta itu adalah saya...!saya sangat appreciate dngan work shop ini .Terimakasih really appreciate it.