Hampir 5 dekade setelah revolusi digital yang ditandai dengan lahirnya internet, berbagai tantangan besar harus kita hadapi – ketimpangan akses internet yang menjadikan gap antar kelompok masyarakat, perubahan perilaku manusia yang kadang memunculkan ekses semisal kecanduan sosmed dan game digital, perubahan pola dunia kerja dan jenis keterampilan yang diperlukan di dalamnya, persoalan cyber security, privasi data, etika digital, dan masih banyak lagi. Mau tidak mau masyarakat harus secara cepat menyesuaikan diri dengan semua perubahan itu, demi semaksimal mungkin memanfaatkan kemajuan yang ditawarkan teknologi digital.
Dunia Digital Yang Tak Lagi Simetris
“Saat ini, 80% kemajuan digitalisasi masih terpusat di Indonesia Barat, sementara Indonesia Timur baru menyentuh angka 30%,” ujar M. Ali Zaenal, CEO Optima Media and Advertising dan pendiri CampusNet, dalam acara Ngopi Santuy Chapter Yogyakarta 20 April lalu. Diskusi yang digagas CampusNet bekerja sama dengan Seabank itu membahas perkembangan dunia digital masa kini, bertema Beyond the Basics: Essential Skills for Digital Era.
“Sebagai akibat ketimpangan yang terjadi, dunia media digital tak lagi simetris,” Ali menambahkan dalam paparan Digital & Media Industry in an Asymmetric World, menyoroti ketimpangan akses digital antara wilayah Indonesia Barat dan Timur.
Ali juga mengajak peserta merenungkan peran media sosial dalam kehidupan sehari-hari. “Semua orang punya akun sosial media, tapi tidak semua bisa mengontrolnya,” katanya. Di sinilah muncul istilah filter bubble—sebuah kondisi ketika algoritma media sosial menyaring dan menyajikan informasi sesuai dengan preferensi pengguna, membuat tiap orang terjebak dalam “gelembung” konten yang seragam.
Selain itu, Ali menyoroti pergeseran kepercayaan masyarakat, terutama generasi Z, yang kini lebih percaya pada influencer ketimbang media arus utama. “Masalahnya, banyak yang tidak peduli apakah influencer itu kredibel atau tidak,” tambahnya, sambil mengajak peserta untuk lebih kritis dalam mengonsumsi informasi digital.
Tiga Keterampilan Wajib di Era Digital versi Novia Nurist
Sementara itu Founder dan CEO DNVB Novia Nurist N. yang memaparkan Mandatory Skills for the Digital Era, membagikan tiga keterampilan penting untuk bertahan dan berkembang di tengah derasnya arus digital.
Keterampilan pertama adalah merawat, menulis, dan membaca. Ia mencontohkan bagaimana tulisan pertamanya saat kuliah di Manajemen UGM—berjudul “Andai Aku Hamil di Nordik”—menggambarkan kondisi perempuan di negara yang menjamin kesejahteraan ibu hamil. Ia juga sempat viral lewat tulisan tentang kehidupan perempuan di gang Dolly, Surabaya, yang dia angkat dari sudut pandang berbeda ketimbang sekadar isu kemiskinan biasa. “Menulis dan membaca bukan hanya soal konten, tetapi juga cara untuk meng-upgrade diri,” ujarnya.
Keterampilan kedua yang harus dikuasai adalah cara berkomunikasi digital. Menurut Novia, banyak konflik atau kesalahpahaman terjadi karena kita belum terbiasa memahami “nada” teks digital. “Kata ‘Kamu ngapain?’ bisa terdengar beda kalau dibaca oleh orang yang sedang marah dibanding yang sedang senang,” demikian dia menggambarkan.
Keterampilan ketiga adalah berdamai dengan kesejahteraan digital. Artinya, kita harus sadar bahwa mengikuti perkembangan digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal keseimbangan mental dan emosional. Ia menutup sesinya dengan kalimat kuat: “Apa yang kamu anggap nggak penting, bisa jadi justru yang paling berdampak buat kamu.”

Ngopi, Diskusi, dan Masa Depan Digital
Acara yang berlangsung santai namun padat makna ini berhasil menarik antusiasme peserta, mayoritas mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta. Diskusi tak hanya terjadi di atas panggung, tetapi juga di antara meja-meja kafe, di sela kepulan asap dan aroma kopi panas yang tersaji. Mereka berbagi cerita, bertukar gagasan, bahkan menyusun rencana kecil untuk kolaborasi ke depan.
“Ngopi Santuy Chapter Yogyakarta” memang berkembang bukan sekadar sebagai acara bincang-bincang. Ia menjadi ruang aman dan terbuka untuk refleksi, pembelajaran, dan aksi nyata di tengah dunia digital yang berubah begitu cepat. Sore itu, dinaungi langit Yogyakarta yang cerah, para peserta pulang dari tempat acara, Sunset Jogja Café, dengan satu bekal penting: untuk bertahan dan bersinar di era digital, kita harus terus belajar, terus menulis, dan terus berpikir kritis. [ ]
Komentar