Perempuan dan Anak-Anak Korban Terbanyak Radikalisme dan Terorisme

News

by REDAKSI Editor by REDAKSI

“Bayangkan, anak usia 11 tahun, sudah pandai bongkar pasang senjata, dan memiliki pandangan agama yang sangat keras,” demikian salah satu kisah yang dibagikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT, Komjen. Pol. Eddy Hartono, S.I.K., M.H., saat memberikan keynote speech dalam acara Peluncuran Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah di Auditorium Perpustakaan Nasional, Kamis 27 Februari 2025. 

Kisah yang disampaikan Eddy Hartono merupakan bagian dari perjalanan tugasnya pada rentang 2011-2014 menjemput warga Indonesia yang terpapar radikalisme dan terorisme. Bersyukur, anak remaja yang dijemputnya itu kini sudah berusia 22 tahun dan berhasil menjalani program pembinaan dan deradikalisasi. 

Berawal dari konflik Timur Tengah 2014 terkait ISIS dan Al-Qaeda, Eddy antara lain juga pernah ditugaskan menjemput seorang DPO Bom Bali di Pakistan, hanya sebulan sebelum Osama Bin Laden tertangkap. Dalam tugas-tugas itulah Eddy menyaksikan cukup banyak anak yang menjadi korban, pelaku, atau saksi radikalisme dan terorisme. Perkembangan terorisme pada masa-masa setelah itu cukup dinamis. Namun PR dan residu yang tersisa dari perkembangan terorisme global ternyata masih menumpuk. BNPT misalnya mencatat data sekitar 500 warga Indonesia yang belum kembali dari kawasan konflik. 

Pemerintah saat ini berupaya keras melakukan tugas penanggulangan terorisme dengan titik berat pada pencegahan – merumuskan dan mengkoordinasikan dengan pihak-pihak terkait tentang sasaran strategis pencegahan, kesiagaan nasional dari hulu hingga ke hilir, termasuk di dalamnya edukasi dan peningkatan literasi di kalangan masyarakat yang rentan terpapar paham radikalisme dan terorisme. Dalam upaya edukasi dan literasi inilah muncul antara lain urgensi pemilihan diksi yang pas tentang paham radikalisme dan terorisme. Dan buku menjadi media narasi alternatif yang sangat membantu.

Eddy memandang penerbitan buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah memberikan tiga manfaat besar. Pertama, sebagai bahan narasi alternatif dalam edukasi dan literasi tentang radikalisme dan terorisme. Lebih-lebih karena buku karya Dr. Noor Huda Ismail ini mengungkap berbagai kisah yang sangat beragam tentang para credible voices, yang secara langsung mengalami proses radikalisasi dan terorisme. 

Dr.Noor Huda Ismail menyerahkan buku karyanya, Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah, kepada Kepala BNPT. (Dok. ROI)

Kedua, pesan-pesan damai yang terkandung dalam buku ini membantu menyadarkan masyarakat untuk menjauhi kekerasan. Eddy pun mencontohkan pembubaran Jamaah Islamiyah dan ikrar mereka untuk kembali ke NKRI pada 24 Desember lalu, yang menurutnya lahir dari suatu kesadaran baru. Dikisahkannya, pimpinan JI yang sedang berada di Lembaga Pemasyarakatan melakukan kajian terhadap tindakan mereka yang selama ini memusuhi NKRI, dan menemukan bahwa tindakan itu sama sekali tidak berdasar pada syariah. Mereka menyadari bahwa Indonesia bukan negara “thaghut” yang menghalangi umat Islam beribadah.  

Eddy pun mengenang saat masih menjabat Letnan Kolonel, pernah memeriksa pimpinan JI yang menolak bicara selama tiga hari tiga malam, dan mulai bersedia bicara setelah mereka shalat berjamaah. Eddy memintanya menjadi imam shalat. Tanpa kekerasan, tanpa debat agama, karena Eddy menyadari dia bukan ahli agama. Hanya saja ditekankannya pada pimpinan JI tersebut, bahwa dia hanyalah pelaksana undang-undang dan apa yang JI lakukan kebetulan melanggar undang-undang itu. Pendekatan terhadap mereka yang terpapar radikalisme dan terorisme memang harus dilakukan dengan penuh pertimbangan, demikian Eddy menekankan.

Ketiga, buku bermanfaat untuk melakukan kontra radikalisasi. Eddy bersyukur selama tiga tahun terakhir di Indonesia tidak ada kejadian tindakan terorisme. Namun BNPT tetap melakukan pemantauan setiap hari 24/7, utamanya perkembangan yang terjadi di sosmed. Pada 2024 lalu misalnya kurang lebih ada 3000 pemutusan akses internet dan sosial media yang dilakukan BNPT, terkait tidak penanggulangan radikalisme dan terorisme. BNPT juga bekerja sama dengan Kementerian Komdigi untuk melakukan antisipasi agar cyberspace tidak menjadi media penyebaran terorisme. 

Eddy menegaskan pentingnya upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme ini didukung semua pihak, karena menurutnya, yang barangkali terlewat dari perkiraan masyarakat luas, pada akhirnya korban terbanyak dari radikalisme dan terorisme ini adalah kaum perempuan dan anak-anak. [png]

Komentar

Tulis Komentar