BNPT Jelaskan Proses Orang Terpapar Paham Radikal di Media Sosial

News

by Akhmad Kusairi

Tidak hanya masyarakat awam, bahkan sudah banyak contoh kasus mahasiswa, dosen hingga profesor terpapar paham radikal.

Staf Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Muhammad Suaib Tahir menilai pentingnya kontra narasi bagi propaganda yang dilakukan oleh kelompok teroris dan radikal di Media Sosial (Medsos). Menurut Suaib sudah banyak pelaku terorisme yang teradikalisasi di Medsos.

“Misalnya, Zakiah Aini yang ingin menyerang Mabes Polri. Kemudian pelaku bom bunuh diri di Makassar. Kemudian ada pengeboman gereja di Surabaya. Ada juga di bom bunuh diri di Medan. Semuanya gara-gara terpengaruh media sosial,” kata Suaib dalam acara Webinar Contra Naration of Violent Extremism Thtrough Online Media yang diselenggarakan KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Rabu (22/6/2022).

Melihat fenomena banyak anak muda yang teradikalisasi di Media sosial, karena itu pemerintah memandang kontra radikalisasi itu merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Karena pemerintah tidak mungkin secara terus menerus menangkap kelompok-kelompok teroris. Akan tetapi menurutnya pencegahan terorisme harus dimulai dari hulu.

“Nah, dari hulu ini mereka terpengaruh paham-paham. Karena teroris ini tidak hadir secara tiba-tiba. Akan tetapi mereka memulai sesuatu dari langkah awal,” imbuhnya

Lebih lanjut, Suaib menjelaskan jika kelompok teroris mempunyai kategorisasi dalam merekrut pengikut baru. Menurutnya, sedikitnya ada tiga langkah bagaimana mereka melakukan perekrutan. Pertama adalah pengguna yang disebut pasif support. Yaitu pengguna medsos dan aktif menggunakan medsos sebagai bagian kehidupan mereka.

Ketika mereka disebut pasif support, mereka akan memberikan atau mengirimkan tulisan-tulisan. Kalau dia mengidentifikasi orang ini senang akan tulisan, maka dia akan memberikan tulisan yang mengarahkan ke sana.

“Mungkin pada awalnya memang memberikan tulisan yang meningkatkan keimanan yang harus dipahami sebagai seorang muslim,” katanya.

Kemudian setelah dilihat sang target tertarik dengan apa yang dikirimkan dan diberikan melalui materi-materi yang bersifat, mereka akan menggiring menjadi aktif support. Dalam tahap ini menurut Suab sang target akan mulai dikirimkan materi-materi tulisan yang mengarah kepada intoleransi, ekslusivisme dan lain-lain.

“Secara otomatis, terhadap orang yang dianggap aktif, mereka akan aktif pula membagikan tulisan-tulisan. Mereka juga akan aktif like dan komen. Nah, kelakuan aktif support ini maka akan digiring ke massif support. Massif support mereka sudah dibatasi pergaulannya, dan masuk grup-grup mereka. Mereka sudah memproduksi konten dan menyebarkannnya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Suab menambahkan jika narasi yang disebarkan di medsos adalah simplikasi ajaran keagamaan. Misalnya mereka beranggapan persoalan yang terjadi masyarakat, semisal prostitusi, korupsi dan kenakalan reamaja merupakan akibat dari tidak tegaknya Negara Islam di Indonesia.

“Maka itu perlu khilafah dan negara Islam. Ada banyak mahasiswa dan dosen yang tertarik soal ini. Mereka sangat menyederhanakan masalah bahwa untuk menyelesaikan segala permasalahan hanya perlu dengan mengganti sistem negara. Orang mulai terdoktrin, bukan hanya profesor, dosen atau pun mahasiswa yang tertarik soal ini. Misal seorang dosen di Jawa Tengah yang sangat getol memkampanyekan HTI,” imbuhnya.

Selanjutnya setelah simplikasi masalah, menurut Suaib mereka juga akan menanamkan klaim kebenaran. Yaitu apa yang mereka yakini adalah paling benar sementara yang lain salah dan sesat. Dari sini mereka membagi hanya dua, kelompok kafir dan kelompok beriman.

“Mereka di medsos isinya ini. Ini sesat, ini salah, ini kafir. Dakwah-dakwah semacam ini menggiring orang menjadi terorisme dan radikal. Mereka hanya membagi dua komunitas, komunitas yang haq dan komunitas yang bathil atau kafir. Orang muslim sendiri yang tidak sepaham dengan mereka divonis kafir juga. Ini propaganda dan narasi yang dikembangkan di medsos," imbuhnya.

Masih kata Suaib, mereka juga menanamkan sikap rasisme. Mereka menanamkan bahwa hanya kelompok mereka yang paling mulia. Mereka juga menganggap diri mereka wakil tuhan yang menentukan negara dan surga. Karakter ini, menurutnya, dibangun di kelompok mereka sehingga produk hukum yang keluar pun hanya haram dan halal.

“Selain itu mereka juga membuat perpecahan dan mendoktrin bahwa kelompok mereka yang paling baik. Sehingga jadi penyekat di ruang-ruang publik. Inilah yang mereka lakukan di media sosial untuk mempengaruhi orang,” pungkasnya.

Sekadar diketahui berdasarkan temuan dari BNPT, pada tahun 2021 ditemukan 650 konten propaganda radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila, Anti NKRI, Intoleransi dan takfiri. Konten-konten memuat soal penggalangan dana, seruan serangan dan pelatihan militer (I’dad). (*)

Komentar

Tulis Komentar