Musik adalah salah satu bahasa universal. Lewatnya,kata-kata dan nada berpadu menjadi harmoni. Lalu, lewat harmoni itu, semuaemosional jadi melebur jadi satu semangat baru.
Setidaknya itu yang saya tangkap dari konser reuni Dewa19 featuring Ari Lasso dan OnceMekel. Konser yang digelar di Malaysia, Sabtu (2/2/2019).
Siapa sih yang tak kenal Dewa 19? Karya-karyanya – khususnyabagi yang besar era 90-an – tentunya akrab dengan reffain:
“...Katakanpada Mama, cinta bukan hanya harta dan tahta, pastikan pada semua hanya cintayang sejukan duniaaaaa...” (Cukup Siti Nurbaya)
Atau:
“...Kamulahsatu-satunya, yang ternyata mengerti aku. Maafkan aku selama ini, yang sedikitmelupakanmu...” (Kamulah Satu-Satunya)
Atau:
“...Semuakata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpaaaaa...” (Kangen)
Ataupun:
“...Hadapidengan senyuman, semua yang terjadi biar terjadi. Hadapi dengan tentang jiwa,semua kan baik-baik saja...” (Hadapi dengan Senyuman)
Banyak yang menarik dari konser reuni Dewa 19 diMalaysia itu. Di antaranya; melihat beberapa personil lawas Dewa 19 macam TyoNugros si penggebuk drum itu beraksi, lengkingan Ari Lasso berpadu dengansayatan gitar Andra Ramadhan ataupun suara Once yang khas.
Konser juga jadi semacam penegas jargon show must go on! Walaupun pentolan grupitu, Ahmad Dhani Prasetyo, tak bisa gabung karena dibui setelah divonis 18bulan akibat kasus ujaran kebencian, toh konser tetap berjalan. Posisi Dhanidigantikan anaknya, Dul, yang musikalitasnya dikagumi para pentolan Dewa 19lainnya.
Pada konteks ini, konser Dewa 19 dan perkara hukum yangmembelit salah satu pentolannya, tak bisa campur aduk. Biarlah berdirisendiri-sendiri.
Cuma lewat jargon showmust go on tadi, Dewa 19 membuktikan cintanya pada para baladewa maupun baladewi negeri tetangga. Begitupun sebaliknya.
Kalau biasanya yang akrab dikuping; Indonesia danMalaysia selalu posisikan layaknya versus.
Tengok saja sejenak; mulai dari klaim-klaim makanandari lunpia sampai tempe, kesenian Reog, sengkarut soal bendera (sampai-sampaidibikin kaus: Bendera Negaraku Bukanlah Mainan!!!) ataupun klaim tentang bataswilayah negara.
Tapi, lewat lagu; musik dan kata, sejenak,manusia-manusia dua negara (yang sama-sama pernah dijajah Inggris) itu larutdalam balutan kata dan nada. Elok sekaliiii! Tak ada benci di sana, semuanyaada dalam cinta.
Di bulan yang katanya penuh cinta ini, Dewa 19 tampilmenghibur. Menembus sekat-sekat geografis, budaya, bahasa atau batas lainnya.
Musik yang merobohkan batas-batas.
Saya jadi ingat omongan Imron Baihaqi alias Abu Tholut(pentolan Jamaah Islamiah) ketika wawancara beberapa waktu lalu di Solo.
Dia bercerita, ketika era 80-an, terjun jadi jihadis diAfghanistan, pernah punya pengalaman menarik.
Salah satunya, ketika Cat Stevens –musisi Inggris yang bergantinama jadi Yusuf Islam -- datang ke Afghanistan yang ketika itu sedang perangdengan Uni Soviet.
Cat Stevens (salah satu karyanya adalah lagu WildWorld, dipopulerkan Mr. Big), datang ke medan konflik itu dalam rangka misikemanusiaan. Cat Stevens dalam perjalannya membentuk lembaga kemanusiaan lewatuang hasil jerih payahnya sebagai musisi.
Abu Tholut cerita kalau para jihadis di sana ketika itu,sangat terhibur dengan kedatangan Cat Stevens. Selain senang karena Cat Stevensmemberikan bantuan atas nama kemanusiaan, Cat juga tampil menyanyi di hadapanpara jihadis.
Abu Tholut bercerita, memang musik jadi salah satupenghibur para muhajirin dan mujahidin di sana. Sejenak melepas tegangnyaperang dan konflik.
Musik yang dimaksud Abu Tholut identiknya dengan nasyid. Dengan tertawa, AbuTholut membandingkan angkatannya yang tidak punya suara bagus, jadi tidak enakkalau didengarkan saat bernyanyi.
“Orang kita payah hahaha nggak ada (yang pintarbernasyid-berdendang). Mungkin misalnya, kayak Ahmad Dhani jadi mujahidin disana barangkali lain lagi ceritanya (bisa bernyanyi merdu),” kata Abu Tholutketika itu.
Lalu saat membahas Cat Stevens, Abu Tholut berceritacukup panjang. Abu Tholut bercerita kalau Cat Stevens pernah punya grup musikrock, pernah juga bersama Rolling Stones dengan Mick Jagger satu grup. Nah saat Cat Stevens alias Yusuf Islam ini menggelar konser, Abu Tholutmengingat dengan mendendangkan petikan bait.
“Tapi dia bahasa Inggris nasyidnya, seperti Afghanistanthe Land of Islam,” ungkap Abu Tholut sambil berdendang sembari bercerita diadan beberapa temannya punya koleksi nasyid Cat Stevens alias Yusuf Islam itu.
“Kalau nggak salah, tahun 86’ atau 87’, sempatberkunjung ke sana dia (Cat Stevens). Terus dia menghibur muhajirin denganmembawakan nasyid-nasyid. Cuman bahasaInggris, kan nggak bisa bahasa Arab. Ya dia keliling di kamp-kamp muhajirinyang ada di Pakistan, Afghanistan. Tujuannya ya itulah, ngasih bantuan kemudiandiselingi dengan hiburan nasyid dari dia,” tutupnya.
Ya, dari serangkaian peristiwa itu, meski beda waktupuluhan tahun, melintas jarak, musik (entah apapun sebutannya) bisa jadi bahasapemersatu. Melintas identitas, batas negara, menggempur dikotomi aku-kamu,kami-kalian.
Komentar