Mengingat Kembali Persoalan WNI Eks ISIS Yang Masih Ada di Suriah (2)

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Pilihan untuk menolak para eks simpatisan ISIS kembali ke negara asal dirasa menjadi kontroversial karena bertentangan dengan hak asasi sebagaimana diatur dalam DUHAM (Deklarasi Universal HAM atau Universal Declaration of Human Rights) maupun kovenan perlindungan hak-hak politik dan sipil (International Covenant on Civil and Political Rights/ ICCPR).

Sementara pilihan untuk memulangkan mereka dikhawatirkan akan memicu terjadinya aksi-aksi terorisme di negara asal mereka. Mengingat Resolusi DK PBB 2248 dan 2368 menyebutkan “ISIS merupakan kelompok teroris yang mengancam perdamaian dan stabilitas internasional”.

Memang tidak ada jaminan bahwa eks ISIS yang pulang ke negara asalnya tidak melakukan aktivitas terorisme lagi. Dalam riset oleh F.G Cempaka Timur berjudul “Facing ISIS Returning Foreign Terrorist Fighters: Indonesia Perspective” menerangkan bahwa para FTF yang berada di Marawi terus melakukan koordinasi dan komunikasi dengan memanfaatkan jejaringnya yang ada di Indonesia untuk melakukan berbagai aktivitas terorisme. Hal semacam ini tentu akan berimplikasi pada instabilitas kawasan Asia Tenggara tidak terkecuali di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dalam menghadapi WNI eks ISIS justru akan lebih efektif ketika mempertimbangkan faktor domestik dan regional.

Riset lainnya yang sejenis juga dilakukan oleh Cameron Sumpter berjudul “Returning Indonesian Extremists: Unclear Intentions and Unprepared Responses”. Dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa WNI yang pergi ke Suriah atau telah kembali dari Suriah pada tahun 2017 hingga 2018 pada kenyataannya berpotensi memberikan ancaman. Sumpter dalam penelitian tersebut membuktikan salah satu kasus yaitu pada bulan Mei 2018 dimana tiga keluarga termasuk anak- anak terlibat dalam serangan bom bunuh diri di Surabaya itu telah menyatakan kesetiaannya pada IS. Selain itu, lanjut Sumpter bahwa potensi ancaman WNI eks ISIS ini erat kaitannya dengan kecakapan para FTF serta kemampuan mengorganisasikan jejaring mereka dalam membangun komunikasi untuk merencanakan aksi mereka di Indonesia.

Penelitian di atas mendapat justifikasi lebih lanjut dalam penelitian Taufik Akbar dkk berjudul “Potensi Ancaman Asimetris Pada Foreign Fighter Returnees di Indonesia” menerangkan bahwa, ada potensi perang asimetris apabila mereka dipulangkan. Hal ini dilihat dari berbagai kemampuan dari para FTF ini yang memiliki kemampuan militer yang mumpuni, jejaring internasional yang kuat, doktrin ekstrimisme, hingga teknik serangan teror mandiri (Lone wolf).

Meski demikian, ada beberapa negara yang tengah berupaya dan telah melakukan repatriasi warga negaranya yang merupakan simpatisan ISIS/IS. Negara-negara seperti Australia sudah pernah memulangkan 8 warga negaranya. Begitu juga pada 2017 lalu, Kosovo dibawah asistensi Amerika Serikat memulangkan 110 warga negaranya yang bergabung dengan ISIS. Artinya, dalam upaya repatriasi yang menuai dilemma membutuhkan format kebijakan yang ideal serta berbagai pendekatan yang holistik.

Sejalan dengan itu, terkait isu repatriasi WNI eks ISIS, Suci Amaliyah dalam penelitiannya “Mencari Format Kebijakan Terbaik dalam Merespons Kepulangan WNI Eks- ISIS” bahwa proses pengambilan kebijakan dengan waktu singkat tanpa basis data yang akurat terkait WNI eks ISIS ini menunjukkan ada peluang agar pemerintah bisa kembali memperbaiki bobot kebijakannya tersebut.

Kendati demikian, langkah penolakan tersebut hendaknya difahami sebagai kebijakan yang sifatnya tentatif.

Sementara itu dalam penelitian Setyo Widagdo berjudul “Repatriation as a Human Rights Approach to State Options in Dealing with Returning ISIS Foreign Terrorist Fighters” mencoba merekomendasikan pendekatan hukum internasional dan kolaborasi dengan berbagai negara dilihat paling ideal dalam menangani mantan FTF. Sehingga mereka nantinya akan diikutkan dalam program rehabilitasi, deradikalisasi serta diadakannya penuntutan secara adil. Model seperti ini dirasa paling komprehensif serta tidak hanya untuk kepentingan negara asal melainkan untuk komunitas internasional.

Komentar

Tulis Komentar