Mengingat Kembali Persoalan WNI Eks ISIS Yang Masih Ada di Suriah (1)

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Penguasaan tentara Suriah yang didukung oleh sekutu AS berhasil menumbangkan organisasi teroris Islamic State Iraq and Syria (ISIS) pada tahun 2019 secara teritorial. Kekalahan ISIS ini menjadi angin segar bagi dunia yang tengah gencar menjalankan misi perang terhadap terorisme pasca tragedi 11 September.

Tetapi, kekalahan ISIS secara teritorial itu bukan berarti dunia akan bebas dari ancaman terorisme. Terdapat residu atau dampak lain yang harus segera disikapi dari kejatuhan ISIS yakni, keinginan para simpatisan ISIS untuk kembali ke negara asal mereka masing-masing. Terdapat banyak faktor yang mendasari para simpatisan ISIS berkeinginan kuat untuk pulang ke negara asal.

Misalnya, para simpatisan ISIS merasa hanya terjebak propaganda, merasa sengsara, janji hidup layak yang tidak dikabulkan, hingga daya tampung kamp pengungsian yang overload. Begitu juga dengan simpatisan ISIS asal Indonesia. Banyak yang berkeinginan untuk pulang ke Tanah Air.

Misalnya, dalam sebuah wawancara oleh wartawan BBC pada awal 2020 kepada Nada Fedulla yang merupakan anak simpatisan ISIS, Nada meminta maaf kepada warga negara Indonesia dan sangat berharap agar pemerintah Indonesia bisa menerimanya kembali ke Indonesia.

Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia sempat merencanakan untuk memulangkan (repatriasi) Warga Negara Indonesia (WNI) mantan simpatisan Islamic State Iraq and Syria (ISIS) dari Suriah. Rencana repatriasi ini disampaikan langsung oleh Menteri Agama saat itu yaitu Fachrul Razi yang informasinya didapatkan melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia.

Namun rencana repatriasi menuai polemik di masyarakat. Satu pihak menganggap bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk melindungi seluruh warga negara, termasuk para WNI eks ISIS. Sehingga jika ditolak kepulangan mereka, apalagi mencabut status kewarganegaraan mereka WNI eks ISIS, sama halnya dengan negara mengabaikan aspek perlindungan hak asasi manusia (HAM). Di sisi lain, pemerintah harus cermat dan hati-hati dalam mengambil kebijakan terkait WNI eks ISIS ini. Karena tidak menutup kemungkinan, kepulangan WNI eks ISIS justru menjadi ancaman bagi Indonesia sendiri.

Dalam menindaklanjuti polemik rencana pemulangan ini, pemerintah Indonesia kemudian menyikapinya dengan segera. Proses pengambilan kebijakan dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai stakeholder. Diantaranya; Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Dirjen Imigrasi, Kepolisian RI, Badan Intelijen Negara RI, serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI.

Akhirnya, pada 12 Februari 2020, pemerintah Indonesia membuat keputusan final yang diambil dalam rapat terbatas (Ratas). Dalam ratas, pemerintah mempertimbangkan hasil analisis terhadap potensi-potensi masalah dan risiko ancaman yang dapat timbul dari proses pemulangan WNI eks-

ISIS. Kesepakatan dalam ratas tersebut juga mempertimbangkan kesiapan pemerintah Indonesia dalam menerima atau menghadapi gelombang kepulangan WNI eks-ISIS baik secara sarana prasarana maupun asesmen penanganan kedepannya.

Kesepakatan melalui ratas antar kementerian dan lembaga-lembaga terkait inilah yang menjadi pertimbangan dan rekomendasi Presiden untuk mengambil kebijakan yang tepat sasaran. Hasilnya pemerintah Indonesia tetap menolak kepulangan/ repatriasi ini.

Keputusan ini disampaikan Menko Polhukam, Moch. Mahfud MD sebagaimana yang kami kutip dari laman Detik.com, “Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris. Tidak akan memulangkan FTF (Foreign Terrorist Fighter) ke Indonesia”.

Keputusan pemerintah paska ratas ini ternyata masih menuai polemik. Respons terkait keputusan pemerintah ini menyasar pada aspek HAM. Pertanyaan yang mengemuka adalah terkait dengan komitmen Indonesia dalam melindungi hak warga negaranya sebagaimana diakui dalam UUD 1945 serta aturan internasional lainnya.

Mengutip dari laman Kompas.com, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) melalui ketuanya Ahmad Taufan Damanik, menyoal kebijakan ini dengan mempersoalkan landasan hukum kebijakan penolakan repatriasi WNI eks ISIS ini diambil.

Tetapi dalam mencermati keputusan penolakan repatriasi WNI eks ISIS ini, menunjukkan pertimbangan yang prinsipil yakni, pemerintah ingin memberi rasa aman bagi 260 juta penduduknya. Karena isu repatriasi WNI eks ISIS ini erat kaitannya dengan masalah ancaman keamanan nasional (national security). Dalam studi tentang keamanan, penting untuk menempatkan kepentingan nasional (national interest) sebagai tujuan dari kebijakan yang akan diambil oleh negara.

Pemerintah khawatir dengan konsekuensi terburuk gelombang arus balik maupun serangan teror dari kepulangan WNI eks- ISIS ke Indonesia. Sikap pemerintah ini harus dimaknai sebagai langkah pencegahan (preventive) atas berbagai permasalahan praktik aksi terorisme di Tanah Air. Penolakan WNI eks ISIS ini juga mengafirmasi bahwa pemerintah sungguh-sungguh dalam menjalankan misi war on terrorism.

Sebab ketika memulangkan WNI eks ISIS ke Indonesia, menurut Mahfud MD, mereka bisa menjadi virus baru. Begitu juga memulangkan mereka sama halnya memberi peluang tumbuh kembangnya jejaring terorisme di Tanah Air. Kompleksitas permasalahan terkait para simpatisan ISIS ini sejauh ini masih menjadi dilema dan bukan pilihan yang mudah bagi pemerintah Indonesia maupun negara-negara di dunia saat ini.

(Bersambung)

Komentar

Tulis Komentar