Di suatu sudut kota berjulukan The Spirit of Java, di sebuah kamar berserakan buku buku dalam rak diiringi dengan kesunyian sawah samping rumah yang tak terlalu ramai, seorang pria paruh baya menatap cangkir kopinya yang mulai mendingin. Ia adalah Dr Amir Mahmud, nama yang pernah bergema dalam komunutas AMC "Amir Mahmud Center " dalam lingkaran yang kini disebut "mantan" Jamaah Islamiyah? Ah, itu pertanyaan yang membuat alisnya berkerut. Seperti berfikir untuk membelokkan arah jarum jam dinding didepannya.
"Kenapa pembubaran ini harus dipublikasikan?" tanyanya, lebih kepada diri sendiri daripada kepada siapa pun. Pertanyaan ini menggema dalam keheningan, menciptakan riak-riak kecil di permukaan tumpukan buku dan kopi disampingnya yang tak lagi mengepul.
Padahal pada Tahun 1993, di bawah tanah – bukan secara harfiah--, saat zaman rezim Soeharto menggilas pergerakan umat Islam saat itu dan dalam kerahasiaan yang pekat – sebuah deklarasi dibuat. Tak ada sorak-sorai, tak ada tepuk tangan. Hanya bisikan-bisikan yang membentuk sebuah jaringan, sebuah jamaah sebagai reaksi dari sebuah ritual infishol ( menarik diri) dari NII /DI saat itu yang kemudian akhirnya mengguncang dunia dengan caranya sendiri.
Tiga dekade berlalu, dan kini kita bicara tentang pembubaran. Di hadapan publik dan terbuka. Seolah menutup sebuah bab dengan cara yang tak pernah terbayangkan oleh mereka yang dulu bersumpah dalam kegelapan.
Di sisi lain kota, ustadz Imtihan salah satu tokoh JI yang disebut oleh Solahudin dalam bukunya “Dari NII sampai ke JI” sebagai pengusung materi MTI (Materi Taklim Islamiyyah), beliau mengeluarkan statemennya seraya mengutip perkataan Umar bin Khattab. “Mengubah ijtihad bukan selalu mengelirukan ijtihad lama apalagi sampai menyesalinya. Yakinlah ketika Umar R.A berkata "itu berdasarkan putusan dan fakta fakta lama dan ini berdasarkan (fakta fakta) putusan baru " Yakinlah bahwa beliau mendapatkan pahala untuk kedua ijtihad itu" katanya, seolah hendak meletakkan seluruh persoalan ini dalam bingkai yang lebih bisa diterima. Ijtihad. Yaitu usaha sungguh-sungguh untuk mencapai sebuah keputusan. Dan seolah olah menghapus cedera yang pernah hinggap dalam dekapan ibu pertiwi. Tapi keputusan siapa? Dan untuk apa?
Kita hidup di zaman di mana kata-kata bisa menjadi senjata sekaligus perisai. "Pembubaran" – kata yang terdengar final, tapi benarkah demikian? Atau ini hanya permainan semantik, sebuah tarian lidah untuk menenangkan publik yang gelisah?
Jamaah Islamiyah – dua kata yang pernah membuat banyak orang bergidik. Kini, kata-kata itu seolah kehilangan tajinya, memudar seperti tinta lama di kertas usang. Tapi apakah itu berarti ide-ide di baliknya juga telah lenyap?
Dalam esainya yang terkenal, "Peristiwa dan Cerita", Pramoedya Ananta Toer pernah menulis, "Sejarah bisa dimanipulasi, tapi tidak bisa dihapus." Mungkin inilah yang sedang kita saksikan – sebuah upaya untuk memanipulasi narasi, untuk menulis ulang sejarah dengan tinta yang lebih ramah.
Tapi, sejarah punya caranya sendiri untuk mempertahankan diri. Ia bersembunyi dalam ingatan kolektif, dalam bisikan-bisikan di sudut-sudut gelap, dalam tatapan mata yang menyimpan rahasia.
Lalu, bagaimana dengan masa depan? Akankah Jamaah Islamiyah bangkit kembali? Pertanyaan ini menggelitik, menggoda kita untuk bermain-main dengan ramalan dan spekulasi.
Tapi mari kita berhenti sejenak. Mari kita renungkan apa yang sebenarnya kita tanyakan. Apakah kita bertanya tentang sebuah organisasi? Atau tentang sebuah ide? Tentang sekelompok orang? Atau tentang sebuah cara pandang yang telah berakar begitu dalam?
Goenawan Mohamad, dalam salah satu Catatan Pinggirnya, pernah menulis, "Sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi, tapi juga tentang apa yang kita putuskan untuk diingat." Mungkin inilah saatnya kita bertanya, apa yang akan kita putuskan untuk diingat dari saga Jamaah Islamiyah ini?
Apakah kita akan mengingat ketakutan? Kemarahan? Atau mungkin, dengan bijak, kita akan memilih untuk mengingat pelajaran – tentang bagaimana ideologi bisa membentuk dan menghancurkan, tentang bagaimana kekerasan selalu berakhir dengan kekalahan, tentang bagaimana dialog, betapapun sulit dan menyakitkan, selalu menjadi jalan keluar yang lebih baik.
Saat ini, di sudut-sudut surau sebuah pondok , di warung-warung kopi, di ruang-ruang kuliah, dan bahkan di masjid-masjid, percakapan tentang Jamaah Islamiyah mungkin sudah mulai mereda. Tapi jangan terkecoh. Keheningan tidak selalu berarti ketiadaan.
Mungkin, yang kita saksikan saat ini bukanlah akhir, melainkan sebuah metamorfosis. Ide-ide tidak mati; mereka berubah bentuk, menyesuaikan diri, mencari celah-celah baru untuk tumbuh.
Jadi, ketika kita bicara tentang "pembubaran", mungkin yang sebenarnya kita bicarakan adalah transformasi. Dari apa menjadi apa? Itu pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh waktu.
*****
Sementara itu, di kamar belajar serta rak buku, Amir Mahmud masih menatap cangkirnya. Kopinya kini benar-benar dingin. Seperti sebuah ideologi yang pernah dia peluk erat-erat? Atau justru, seperti bara yang tampak padam namun masih menyimpan panas di dalamnya?
Hanya waktu yang akan menjawab. Dan kita, para penonton sejarah, hanya bisa menunggu, mengamati, dan berharap bahwa kali ini kita cukup bijak untuk belajar dari masa lalu.
Surabaya, 10 Juli 2024
(Abu Fida)
Komentar