Dimulai dari Hadji Samanhoedi di Surakarta dengan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905. Lalu dilanjutkan dengan kesadaran yang lebih politis oleh Hadji Oemar Said atau yang lebih dikenal dengan nama HOS Tjokroaminoto melalui Sarekat Islam-nya (SI). Kemudian terbentuk Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) dan kemudian Masjoemi (Madjlis Sjoera Muslimin Indonesia).
Kontinuitas gerakan Islam modern ini mencapai puncaknya ketika Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1949. Setelah itu, sejarah penjang pergerakan Islam pasca SM. Kartosoewirjo adalah sejarah perpecahan panjang dan rumit dalam gerakan kelompok jihad.
Pasca tahun 1962, perkembangan gerakan jihad mengalami titik involusi yang rumit dan melelahkan dari semenjak Abdul Fatah Wirananggapti, kemudian Adjengan Masduki juga mengalami jalan yang berliku hingga sampai beralih ke Haji Ismail Pranoto (Hispran). Estafet berlanjut ke Ustad Abdul Halim atau Abdullah Sungkar hingga terakhir jatuh ke tangan Ustad Abdul Shomad atau lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ba’asyir (ABB). Mereka adalah para tokoh NII yang memegang tambuk estafet sepeninggal SM Kartosoewirjo.
Dan pasca tahun 1962, sejarah gerakan jihad ini juga tidak dapat disebut sebagai sejarah kontinuitas, atau juga tidak bisa disebut sebagai diskontinuitas karena masih terus berlangsung dalam proses yang tidak menentu. Ini bisa juga dikatakan sebagai sejarah perubahan (history of change) atau sejarah perpecahan (history of split) gerakan jihad Indonesia sehingga tidak bisa direkatkan lagi dalam bentuk integrasi.
Karl Jackson (1976) menggambarkan bahwa gerakan politik Islam sangat ditentukan oleh adanya pemimpin karismatik. Faktor figur pemimpin yang dianggap memiliki pengaruh cukup besar dalam proses berjalannya gerbong gerakan jihad di Indonesia, dan juga nantinya akan menjadi penentu eksistensi gerakan ini ke depannya.
Kartosoewirjo dalam konteks ini adalah figur karismatik yang mampu menjadi sosok negarawan. Dengan lahirnya Negara Islam Indonesia (NII) sebagai entitas politik modern, barangkali telah menjadi tonggak penting dalam sejarah politik Islam di Indonesia yang mengubah gaya gerakan kelompok Islam tradisional ke dalam bentuk yang lebih modern.
Lahirnya Gerakan Jihad Pasca Reformasi
Munculnya sosok Abdullah Sungkar dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan estafet kepemimpinan politik Islam modern ke dalam bentuk korporasi jihad dengan mengadopsi plot dari Al Qaedah di bawah Osama Bin Laden. Plot rencana Al Qaedah 2020 adalah blueprint korporasi politik Islam global yang juga ikut mempengaruhi Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia. JI lantas bersublimasi ke dalam gerakan yang sebelumnya bersifat klandestin menjadi lebih terbuka, yakni dengan lahirnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada 7 Agustus 2000.
(baca juga : Master Plan Al Qaedah 2020: Strategi Memukul Kepala Ular)
Kepemimpinan karismatik Abdullah Sungkar mulai terbangun ketika dirinya dan ABB terlibat dalam kasus makar yang dituduhkan oleh pemerintah Orde Baru kala itu. Kasus ini memaksa keduanya untuk meninggalkan Indonesia dan menetap di Malaysia dalam kurun waktu yang tak menentu sebagai pelarian.
Selama masa pelarian inilah, mereka mengatur pola gerakan jihad selanjutnya dengan merekrut berbagai kalangan baik dari Indonesia malaupun Malaysia. Di tengah krisis politik yang terjadi di Indonesia, rupanya di saat yang sama juga terjadi pergolakan besar yang melanda negara Afghanistan atas invansi militer oleh Uni Soviet di awal tahun 1980-an.
Abdullah Sungkar dan ABB lantas memanfaatkan jaringan globalnya dengan mengirimkan para anggotanya untuk terlibat dalam kancah jihad internasional di bawah payung tandzim jihad “Al Ittihad Al Islamiyah” pimpinan Abdul Rabi Rasul Sayyaf, salah satu tokoh gerakan Islam yang cukup berpengaruh di Afghanistan kala itu. Keterlibatan orang-orang Indonesia dalam konflik di Afghanistan inilah yang kelak akan mengubah peta jaringan kelompok jihad di Indonesia yang juga berdampak pada serangkaian aksi teror yang berlanjut hingga hari ini.
Awal tahun 1992 menjadi awal perpecahan dari gerakan jihad NII di tanah air. Dan hal ini juga menjadi cikal bakal lahirnya organisasi baru bernama Jamaah Islamiyah (JI) di bawah kepemimpinan Abdullah Sungkar, dan menjadikan ABB sebagai wakilnya. Sebagaimana diakui oleh Nasir Abbas dalam bukunya ‘Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Ketua JI’, bahwa keberangkatan mujahidin Indonesia ke Afghanistan adalah sebagai bentuk representasi dari NII yang selama ini ingin membawa gerakan jihad nusantara ke panggung internasional.
Oleh karena itu, futuh (kemenangan) di Afghanistan pada tahun 1989 adalah bagian dari partisipasi politik kaum jihadis dari Darul Islam (NII) ini ke pentas global.
Pasca perpecahan tahun 1992, JI kemudian berjalan sendiri karena merasa bahwa NII telah dibajak melalui sikap ashobiyah atau fanatisme para puak tradisional di Jawa Barat. Dan dalam perkembangan selanjutnya, JI kemudian menjadi mitra politik tunggal Al Qaedah di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Selanjutnya : Sejarah Jamaah Islamiyah (2)
Komentar