Antara “War Takjil” Dan Takjil Di Tengah “War”

Analisa

by Redaksi Editor by Redaksi

Menjelang waktu Magrib di bulan Ramadhan, banyak jalanan yang berubah berubah menjadi semacam pasar dadakan. Orang-orang rela antre di hadapan lapak-lapak yang menjual aneka makanan. Mulai dari gorengan renyah hingga es buah, kolak manis sampai aneka kue basah. Perburuan takjil, atau dikenal dengan istilah ‘War Takjil’ pun resmi dimulai.

Tak ada peraturan tertulis, namun semua orang memahami aturan mainnya. Siapa cepat, dia dapat. Yang datang belakangan harus bersabar. Tak ada yang saling menyangsikan atau menyergah. Laki-laki atau perempuan, orang kaya atau pas-pasan, muslim atau non-muslim, pegawai kantoran atau mahasiswa. Di hadapan gelas plastik berisi bubur sumsum, barisan risol, deretan gorengan, mangkok kolak, dan susunan lontong: semua setara.

Di berbagai daerah, terlihat antusiasme Nonis (sebutan untuk warga Non Muslim) dalam berburu takjil bersama. Mereka dengan antusias sore hari berburu makanan dan minuman untuk menu berbuka puasa, bahkan tak jarang ikut mencicipi hidangan takjil yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk saling berbagi dan menjalin kebersamaan.

Momen indah ini merupakan refleksi dari nilai-nilai luhur bangsa yang perlu terus dilestarikan. Toleransi, kerukunan, dan persaudaraan antarumat beragama merupakan fondasi penting bagi terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis di Indonesia. Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk memperkuat nilai-nilai tersebut, dan menjadikannya pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena “war takjil” lintas agama menjadi bukti nyata bahwa toleransi dan kerukunan masih tertanam kuat di masyarakat Indonesia. Di tengah berbagai perbedaan, masyarakat mampu bersatu dan saling menghormati dalam momen Ramadhan yang penuh berkah ini.


Ramadhan Di Wilayah Konflik

Jika “war takjil” begitu menyenangkan di negeri kita, bagaimana dengan takjil di negeri-negeri kaum muslimin yang masih dilanda “war” dalam arti yang sesungguhnya? Yaitu yang harus berpuasa Ramadhan dalam kondisi negaranya yang kacau karena perang?

Ada beberapa negara dengan penduduk mayoritas muslim yang masih menghadapi masalah serius akibat perang. Yang paling menyita perhatian tentu Palestina dan Suriah. Untuk Palestina meskipun paling parah kondisinya tetapi –setahu kami-- tidak ada WNI yang sampai ikut tinggal di kamp pengungsian selama bertahun-tahun. Selain itu juga lebih mudah mendapatkan bantuan internasional dengan ribuan relawan dari berbagai negara.

Berbeda dengan Suriah. Ada ribuan WNI yang datang ke Suriah pada rentang waktu 2013-2017 dengan berbagai tujuan. Ada yang memang datang untuk ikut berperang bersama kelompok-kelompok perlawanan, dan ada –lebih banyak-- yang datang karena terpesona propaganda kelompok ISIS tentang indahnya hidup di bawah praktek penegakan syariat. Hingga kini, masih ada ratusan WNI yang masih terjebak di Suriah dengan berbagai kondisi.

Di antara ribuan WNI yang datang ke Suriah itu sebagiannya ada yang sudah kembali ke tanah air, baik melalui jalur mandiri maupun melalui repatriasi resmi dari pemerintah atau komunitas internasional. Ada sebagian kecil yang menjadi bagian dari kelompok yang berhasil menggulingkan rezim Bashar Assad beberapa waktu yang lalu. Mereka ini kini menjadi pasukan resmi pemerintahan sementara Suriah. Sebagian lagi ada di penjara-penjara dalam kontrol kelompok oposisi Suriah. Dan yang menjadi perhatian utama dunia internasional adalah ratusan WNI perempuan dan anak-anak yang masih berada di kamp-kamp pengungsian dalam kondisi yang semakin memprihatinkan.

Ratusan perempuan dan anak-anak itu kini masih menanti kejelasan masa depan mereka. Apakah akan dipulangkan ke negara asalnya atau akan terus berada dalam kamp pengungsian dalam beberapa tahun ke depan. Jika dipulangkan, maka akan seperti apa memulai hidup baru di negeri asalnya setelah bertahun-tahun terdampar di negeri orang dalam kondisi yang mengenaskan?

Keberadaan puluhan ribu perempuan dan anak-anak di kamp-kamp pengungsian Suriah telah menjadi persoalan internasional. Di mana sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia harus turut membantu mengatasi masalah tersebut.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, pemerintah telah menyiapkan regulasi terkait kepulangan mereka. Tetapi untuk proses pemulangan masih menunggu kesiapan pihak-pihak yang akan menanganinya. Terutama kesiapan dari sisi anggaran.[abs]



Ilustrasi foto: Suasana kamp pengungsi Suriah 2020 [Istimewa]

Komentar

Tulis Komentar