Menurunnya aksi terorisme dalam beberapa tahun terakhir tentu patut diapresiasi. Namun, kondisi itu tidak boleh membuat kita euforia apalagi merasa jemawa. Di permukaan, gerakan radikal-teror memang berhasil kita berantas.
Namun, para simpatisannya terus menyebarkan paham radikal-ekstrem dengan berbagai cara. Karena bagi mereka, menyebarkan gagasan dan propaganda merupakan level terendah pembuktian loyalitas pada kelompoknya. Media digital terutama internet dan media sosial menjadi sarana yang paling banyak digunakan oleh kelompok radikal-ekstrem untuk memasarkan gagasan dan propaganda kelompoknya. Selain karena murah, perkembangan jumlah pengguna media sosial yang semakin pesat turut mempengaruhi pilihan tersebut.
Tantangan radikalisasi digital (online) itu semakin kompleks dengan hadirnya kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI mirip pedang bermata dua; membawa peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, AI menjanjikan kenyamanan bagi manusia. Namun, AI juga menghadirkan ancaman serius. Mulai dari tergerusnya peran manusia sekaligus berkurangnya lapangan pekerjaan. Sampai potensi kejahatan lintas negara.
Sebuah iklan yang dibuat oleh perusahaan komunikasi asal Jerman Deutsche Telekom pada Juli 2023 menggambarkan bahaya AI.
Iklan itu bercerita tentang seorang gadis bernama Ella. Orang tuanya telah membagikan setiap momen dalam hidupnya di media sosial. Orang tua Ella lalu diundang dalam eksperimen sosial yang menayangkan iklan tersebut di bioskop. Betapa kagetnya kedua orang tua ini saat menyaksikan foto putri mereka dimanipulasi menggunakan kecerdasan buatan. Di layar lebar, muncul kalimat 'Hanya Dengan Satu foto dan AI, Kami Menciptakan Ella Dewasa'.
Sistem kecerdasan buatan tersebut mengubah foto Ella yang masih kecil menjadi gambar Ella sebagai orang dewasa. Suara digital Ella yang dewasa berkata, 'Hai bu, hai ayah, ini aku, Ella.' Dia kemudian menjelaskan bagaimana foto-foto yang orang tuanya bagikan di media sosial dapat disalahgunakan oleh orang lain untuk menciptakan masa depan yang mengerikan baginya.
Ella merasa khawatir bahwa identitasnya bisa dicuri, dan dia bisa dijadikan tersangka atas hal-hal yang tak pernah dia lakukan. Dia tak ingin kredibilitasnya dihancurkan oleh orang-orang yang bermaksud jahat, atau suaranya digunakan untuk hal-hal buruk.
Ia juga mengkhawatirkan kemungkinan fotonya dijadikan meme dan menjadi bahan bully-an di sekolah. Sebuah klip menunjukkan bagaimana bentuk fisik Ella dimanipulasi dan dijadikan sebagai alat untuk pemerasan.
Ella dengan tegas menyampaikan bahwa dia tak ingin fotonya digunakan sebagai materi pornografi anak. Iklan tersebut menampilkan gambar Ella yang masih kecil yang diunggah orang tuanya di pantai. Sayangnya, predator mengambil foto tersebut dari media sosial dan mempublikasikannya di situs eksplisit, diunduh oleh ribuan orang.
Selengkapnya Anda bisa melihat iklan kampanye tersebut di sini: A Message from Ella
Iklan itu memberikan gambaran kepada kita sisi gelap medsos dan AI. Kita lantas berpikir, mungkinkan AI dimanfaatkan kelompok radikal-ekstrem? Jawabannya sangat mungkin.
Muhammad bin Abdul Karim al Issa, Sekjen Liga Muslim Dunia, menulis opini di Newsweek pada akhir Juli 2023 yang lalu dengan judul “We Must Guard Againts the Danger of AI and Religious Extremism”. Dalam artikel tersebut, ia dengan nada tegas mewanti-wanti kepada seluruh pihak untuk mewaspadai potensi pemanfaatan AI untuk menyebarkan ekstremisme agama.
Baca juga: Ancaman Di Balik Kemudahan AI: Hilangnya Sikap Kritis Yang Memicu Radikalisasi
Kekhawatiran Issa ini didasarkan pada tiga alasan.
Pertama, kelompok ekstremis sangat adaptif pada teknologi digital. Ia mencontohkan bagaimana ISIS menggunakan media sosial (medsos) sebagai sarana indoktrinasi dan rekrutmen anggotanya di seluruh dunia. Rekam jejak ISIS yang sangat adaptif pada medsos sebagai produk teknologi digital ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar kelompok ekstrem lain di masa depan juga akan memanfaatkan teknologi AI.
Kedua, dapat digunakan untuk memanipulasi data, bahkan memalsukan wajah dan suara dapat digunakan untuk menyebarkan paham atau ideologi ekstremisme agama di masa depan. Bayangkan saja, jika wajah dan suara seorang ulama masyhur dimanipulasi sedemikian rupa seolah-olah dia menyebarkan paham radikal lalu disebar di tengah umat? Bisa dibayangkan berapa banyak umat yang akan tertipu hal tersebut?
Ketiga, AI memungkinkan kelompok radikal-ekstrem untuk tidak hanya menyebarkan paham atau ideologinya. Lebih dari itu, AI bisa dimanfaatkan untuk memaksimalkan strategi dan aksi kekerasan atau teror di lapangan. Bayangkan, jika suatu saat nanti mereka menyerang menggunakan drone pintar yang membawa bom atau memanipulasi kendaraan otonom untuk menyerang targetnya. Tentu akan mengerikan bukan?
Kaitan antara medsos, kecerdasan buatan, dan ekstremisme agama ini juga patut diwaspadai dalam konteks Indonesia. Saat ini arus penyebaran paham keagamaan radikal-ekstrem di medsos kian masif. Bahkan oleh sebagian pihak ada yang menilai wacana keislaman di medsos lebih kerap didominasi oleh corak radikal-ekstrem.
Ranah digital akan menjadi ajang kontestasi ideologi agama antara kelompok konservatif, ekstrem, dan moderat. Ke depan, dengan kehadiran AI kontestasi wacana keagamaan di abad digital ini akan lebih kompleks. Pertarungan ideologi di ranah digital tidak hanya melibatkan manusia dengan manusia, namun sudah melibatkan campur tangan teknologi kecerdasan buatan yang otonom.
[Diolah dari berbagai sumber]
Ilustrasi: By AI
Komentar