Munculnya aplikasi berbasis AI yang memudahkan pekerjaan manusia dalam banyak bidang, oleh sebagian pihak dianggap membuat manusia menjadi malas berpikir. Kemunculan ChatGPT misalnya, akan membuat manusia cenderung berpikir instan dan lebih suka mencari jawaban pada aplikasi tersebut. Manusia lambat laun akan menjadi malas membaca, dan bahkan mungkin suatu saat nanti menganggap membaca sebagai pekerjaan sia-sia.
Kemunculan AI generative dalam proses kreatif, juga juga dianggap membuat manusia cenderung malas menggunakan daya imajinasinya dalam berkreasi di bidang seni. Semua tugas memproduksi karya seni kini bisa dipasrahkan ke aplikasi AI. Membuat karya seni seperti musik, lukisan, bahkan puisi kini bisa dipasrahkan pada AI.
Dalam buku Homo Deus, Yuval Noah Harari menyebut bahwa salah satu ancaman terbesar umat manusia adalah datangnya artificial intellegence (AI) alias kecerdasan buatan. Harari mengistilahkan AI sebagai automaton, yaitu mesin cerdas yang bisa berpikir, menganalisa, dan menyimpulkan sendiri tanpa bantuan manusia. Puncaknya, automaton itu lantas bisa menggantikan manusia sebagai makhluk yang punya kesadaran berpikir.
Fenomena yang dikhawatirkan Harari ini patut kita cermati seksama. Benarkah mesin automaton AI bisa menggantikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran berpikir? Sedangkan kesadaran berpikir adalah kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memecahkan persoalan atau mencari pengetahuan. Agaknya, kekhawatiran Harari tentang tergerusnya kesadaran berpikir manusia akibat AI ini mulai terbuktikan belakangan ini.
Produk kecerdasan buatan yang dibuat untuk memudahkan kehidupan manusia dan membuat peradaban menjadi lebih baik, dalam perkembangannya justru mengancam eksistensi manusia sebagai mahluk berpikir. Atau dalam istilah Al Ghazali, manusia adalah hewan yang berpikir (al hayawanu nathiq). Dengan adanya AI, manusia pada umumnya cenderung menjadi malas berpikir dan berkreasi mengembangkan kreativitasnya.
Kemalasan berpikir dan berkreasi akibat kemudahan yang dihasilkan AI ini adalah tantangan serius bagi generasi yang lahir di tahun 2010 hingga sekarang. Mereka inilah yang di masa depan akan hidup di tengah gelombang perkembangan AI yang nyaris tanpa batas. Matinya daya pikir kritis dan kemampuan berimajinasi generasi ini tentu menjadi celah yang memungkinan ideologi radikal tumbuh subur.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa paham radikal ekstrem itu berkembang di masyarakat yang memiliki setidaknya dua karakter, yaitu:
Pertama, masyarakat yang intoleran dan eksklusif. Yakni masyarakat yang enggan menerima kemajemukan. Di tengah masyarakat yang demikian ini, ideologi radikal ekstrem lebih mudah untuk tumbuh subur.
Kedua, masyarakat yang kehilangan rasionalitas dan nalar kritisnya dalam memahami sebuah isu atau wacana. Masyarakat yang demikian ini cenderung malas berpikir dan lebih memilih jalur instan dalam mencari pengetahuan atau jawaban atas sebuah persoalan.
Matinya rasionalitas dan sikap kritis ini seringkali juga dibarengi dengan keringnya imajinasi. Alhasil, masyarakat gagal memproyeksikan arah ke depan. Lantas, masyarakat hidup dalam labirin nihilisme alias tanpa tujuan. Hanya menjadi pengikut tren. Masyarakat yang memiliki karakter demikian ini akan mudah mengalami proses radikalisasi diri.
Di titik inilah, kita patut merenungkan kembali hakikat AI. Sebagai teknologi buatan manusia AI tentu bertujuan untuk mendorong peradaban manusia menjadi lebih maju. Bukan justru mengancam eksistensi manusia sebagai makhluk yang berpikir, berimajinasi, dan berkreasi.
(Diolah dari berbagai sumber)
Ilustrasi foto: By AI
Komentar