Mengikis Stigma keluarga Penyintas Terorisme

Analisa

by REDAKSI Editor by Munir Kartono


Korban  terorisme, sudah terbukti bukan hanya mereka yang secara langsung terkena dampak tindakan teror, namun juga keluarga dekat pelaku teror. Anggota keluarga pelaku teror ini menjadi korban karena stigma negatif yang melekat kepada mereka--yang selanjutnya mengakibatkan pengucilan, perundungan, dan tindakan lain dari warga masyarakat yang berpandangan seolah mereka turut bersalah, atau setidaknya memiliki paham kekerasan sebagaimana pelaku terorisme. Keluarga pelaku terorisme ibarat menanggung ungkapan peribahasa, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga." Akibat perilaku satu orang, terdampak seluruh keluarga. 

Maka upaya reintegrasi para penyintas terorisme bukan hanya menyasar pelaku dan korban langsung tindakan teror, melainkan juga keluarga pelaku teror: istri mereka yang mungkin kehilangan sandaran hidup sehari-hari, atau anak-anak mereka yang dari beberapa kasus yang terjadi, menjadi sasaran perundungan di sekolah.  Reintegrasi para penyintas terorisme harus mengikis stigma yang melekat dan/atau dilekatkan pada mereka.  Langkah-langkah besar yang melibatkan banyak pihak perlu dilakukan, bukan hanya sekali dan sporadis namun berkesinambungan dan dengan pendekatan yang holistik. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam upaya memutus rantai stigma terhadap para penyintas terorisme dan keluarganya, antara lain:

1. Pendidikan Masyarakat. Pemerintah melalui BNPT yang menjadi leading sector dalam penanggulangan terorisme perlu melakukan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif stigma terhadap keluarga penyintas terorisme. Program-program ini harus dirancang untuk menjangkau berbagai lapisan masyarakat, termasuk sekolah, tempat kerja, dan komunitas lokal.

2. Pendekatan Berbasis Komunitas. Pemerintah dapat mendorong komunitas-komunitas dalam masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung  proses integrasi sosial keluarga penyintas. Hal ini dilakukan dengan menyelenggarakan kegiatan bersama yang memperkuat rasa kebersamaan dan penerimaan. Misalnya, kerja bakti di lingkungan, program-program olahraga, kegiatan seni dll.  yang melibatkan keluarga penyintas, agar mereka dapat  membangun hubungan positif dengan anggota masyarakat lainnya. Pendekatan ini juga perlu melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan influencer untuk menyebarkan pesan-pesan positif tentang penerimaan dan rehabilitasi. Para penyintas yang berhasil dalam proses reintegrasi sosialnya juga dapat menjadi credible voice yang dapat membagikan kisahnyan sebagai inspirasi bagi penyintas lainnya.

3. Dukungan Psikososial. Penyediaan layanan konseling dan dukungan psikologis dapat diberikan Pemerintah bagi keluarga penyintas untuk membantu mereka mengatasi trauma dan stigma. Layanan ini harus mudah diakses namun tetap menghargai privasi para penyintas dan keluarganya sehingga mereka tetap merasa aman dan didukung. Dukungan posikososial ini juga dapat dibangun dari kalangan keluarga penyintas serta masyarakat sekitarnya.

4. Kebijakan dan Perlindungan Hukum. Pemerintah juga perlu memikirkan pengembangan kebijakan dan hukum yang melindungi keluarga penyintas dari diskriminasi dan memastikan hak-hak mereka dihormati. Langkah proaktif pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk menegakkan hukum yang melarang diskriminasi terhadap seseorang yang memiliki hubungan keluarga dengan mantan pelaku terorisme.

Kebijakan berupa program-program reintegrasi yang komprehensif aspek pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan mental juga perlu diimplementasikan, untuk memberikan dukungan jangka panjang kepada keluarga penyintas.

5. Kerja Sama Multi-Pihak, BNPT sebagai lembaga koordinasi di bidang pencegahan terorisme memang harus bekerja keras. Salah satunya dalam mengupayakan kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta untuk menyediakan dukungan yang berkelanjutan bagi keluarga penyintas. Semua pihak harus bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan inklusif.

Pemantauan dan evaluasi program reintegrasi untuk memastikan efektivitasnya dan melakukan perbaikan berdasarkan umpan balik. Evaluasi yang berkelanjutan akan membantu mengidentifikasi area yang membutuhkan perbaikan dan memastikan bahwa program berjalan sesuai tujuan.

 Kelima langkah di atas memang telah diupayakan oleh BNPT dan Densus 88 sejak lama. Berbagai langkah dan program tidak hanya telah dirancang, namun telah diimplementasikan sejak pembinaan di dalam Lapas, hingga pembinaan kemandirian dan ekonomi pasca bebas seperti pembentukan berbagai Yayasan hingga KTN (Kawasan Terpadu Nusantara) di berbagai daerah. Namun upaya tersebut perlu untuk ditingkatkan dengan dukungan penuh dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan lainnya agar lebih maksimal.

Dengan langkah-langkah di atas, kita dapat membantu memutus rantai stigma dan memberikan kesempatan yang adil bagi keluarga penyintas terorisme untuk hidup tanpa diskriminasi dan marginalisasi. Reintegrasi yang sukses tidak hanya bermanfaat bagi individu dan keluarganya, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan stabilitas dalam masyarakat. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dengan martabat dan hormat.[]

Sumber gambar: rawpixel.com on Freepik.

Komentar

Tulis Komentar