Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan berita dan informasi, terutama terkait peristiwa traumatis seperti aksi terorisme. Media sosial, sebagai platform utama penyebaran informasi di era digital, memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap ancaman teror. Namun, di balik kemudahan akses informasi, terdapat risiko yang sering terabaikan: trauma sekunder yang dialami pengguna media sosial ketika terpapar konten terkait terorisme secara berulang dan intens.
Tulisan ini mengeksplorasi fenomena trauma sekunder yang timbul dari paparan konten terorisme di media sosial, dengan fokus pada dampaknya terhadap kesehatan mental individu dan implikasinya bagi masyarakat luas. Analisis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang risiko psikologis yang muncul dari konsumsi media digital dalam konteks terorisme, serta menawarkan perspektif untuk mitigasi dampak negatifnya.
Memahami Trauma Sekunder dalam Konteks Media Sosial
Trauma sekunder, juga dikenal sebagai stres traumatis sekunder atau kelelahan empati, merujuk pada gejala stres emosional yang dialami individu sebagai hasil dari paparan tidak langsung terhadap pengalaman traumatis orang lain. Dalam konteks media sosial dan terorisme, trauma sekunder dapat muncul melalui:
a) Paparan berulang terhadap gambar dan video kekerasan
b) Membaca kesaksian korban atau saksi mata
c) Interaksi dengan konten emosional yang intens
Fenomena ini menjadi semakin relevan mengingat karakteristik media sosial yang memungkinkan:
1. Penyebaran informasi secara cepat dan luas
2. Pengaksesan berita terhadap yang selalu update
3. Personalisasi feed yang dapat menciptakan "echo chamber" informasi
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap risiko trauma sekunder di media sosial antara lain:
1. Overload Informasi
Pengguna media sosial sering kali dihadapkan pada arus informasi yang tak henti-hentinya tentang peristiwa traumatis. Penelitian oleh Holman et al. (2020) menunjukkan bahwa paparan media yang berlebihan terkait peristiwa traumatis dapat meningkatkan gejala stres pasca-trauma, bahkan pada individu yang tidak langsung terkena dampak peristiwa tersebut.
2. Desensitisasi dan Normalisasi Kekerasan
Paparan berulang terhadap konten kekerasan dapat menyebabkan desensitisasi, di mana individu menjadi kurang responsif secara emosional terhadap gambaran kekerasan. Studi oleh Soral et al. (2018) mengindikasikan bahwa desensitisasi ini dapat mengarah pada normalisasi kekerasan dalam persepsi publik.
3. Empati Berlebihan
Paradoksnya, kemampuan media sosial untuk membuat pengguna merasa "dekat" dengan korban juga dapat menjadi sumber trauma. Fenomena yang disebut "empati berlebihan" ini dapat menyebabkan individu mengalami tingkat stres yang tinggi seolah-olah mereka sendiri yang mengalami trauma tersebut (Klimecki & Singer, 2015).
Dampak Psikologis dan Sosial
Trauma sekunder dari paparan konten terorisme di media sosial dapat memiliki dampak pada:
1. Kesehatan Mental Individual, misalnya:
- Peningkatan gejala kecemasan dan depresi
- Gangguan tidur dan konsentrasi
2. Perubahan persepsi keamanan personal
Sebuah studi longitudinal oleh Thompson et al. (2019) menemukan korelasi positif antara intensitas penggunaan media sosial pasca serangan teroris dengan tingkat gejala stres pasca-trauma.
3. Dinamika sosial
Yaitu dapat memicu terjadinya peningkatan ketegangan antar kelompok, penyebaran ketakutan dan paranoia dalam masyarakat, serta mempengaruhi perubahan perilaku sosial dan kebiasaan sehari-hari.
Penelitian oleh Iyer et al. (2017) menunjukkan bahwa paparan intens terhadap berita terorisme di media sosial dapat meningkatkan stereotip negatif dan sikap diskriminatif terhadap kelompok yang diasosiasikan dengan pelaku teror.
3. Persepsi Risiko yang Terdistorsi
Media sosial juga dapat menciptakan persepsi ancaman yang tidak proporsional. Slovic & Weber (2002) menjelaskan bahwa penilaian risiko individu seringkali dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis seperti ketersediaan informasi dan intensitas emosional, yang keduanya dapat dimanipulasi melalui penyajian konten di media sosial.
Baca juga: Ketika Algoritma Meradikalisasi Manusia
Strategi Mitigasi dan Intervensi
Menghadapi tantangan trauma sekunder di era digital memerlukan pendekatan multifase. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Literasi Media Digital
Yaitu pengembangan program literasi media digital yang fokus pada:
- Kemampuan evaluasi kritis terhadap sumber informasi
- Pemahaman tentang algoritma media sosial dan efeknya
- Teknik manajemen konsumsi media yang sehat
2. Desain Platform yang Bertanggung Jawab
Yaitu dengan mendorong perusahaan media sosial untuk:
- Mengimplementasikan sistem peringatan konten yang lebih efektif
- Menyediakan opsi "time out" atau pembatasan konten sensitif
- Meningkatkan transparansi algoritma penyajian konten
3. Dukungan Psikososial Online
Yaitu pengembangan layanan dukungan psikologis yang terintegrasi dengan platform media sosial, misalnya:
- Chatbot untuk skrining awal gejala trauma
- Grup dukungan online yang dimoderasi profesional
- Sumber daya edukasi tentang kesehatan mental digital
4. Kebijakan Publik dan Regulasi
Upaya mitigasi dan intervensi dalam menghadapi tantangan trauma sekunder di era digital juga memerlukan penyusunan kebijakan. Misalnya:
- Mewajibkan platform media sosial untuk menerapkan standar keamanan psikologis
- Mendukung penelitian tentang dampak jangka panjang paparan media digital
- Mengintegrasikan pendidikan kesehatan digital dalam kurikulum sekolah
Baca juga: BNPT Jelaskan Proses Orang Terpapar Paham Radikal di Media Sosial
Tantangan dan Pertimbangan Etis
Upaya mitigasi trauma sekunder di media sosial juga menghadapi beberapa tantangan. Antara lain:
1. Keseimbangan antara Kebebasan Informasi dan Perlindungan
Membatasi penyebaran informasi terkait terorisme dapat mengurangi risiko trauma, namun juga berpotensi menghambat arus informasi yang penting. Diperlukan pendekatan yang hati-hati untuk menjaga keseimbangan antara hak publik untuk tahu dan perlindungan kesehatan mental.
2. Privasi dan Pengawasan
Implementasi sistem deteksi dini trauma sekunder melalui analisis perilaku pengguna media sosial memunculkan pertanyaan etis tentang privasi dan batas-batas pengawasan digital.
3. Tanggung Jawab Platform vs. Otonomi Pengguna
Sejauh mana platform media sosial bertanggung jawab atas kesejahteraan psikologis penggunanya? Pertanyaan ini memerlukan dialog terus-menerus antara pembuat kebijakan, psikolog, dan pelaku industri teknologi.
Kesimpulan
Fenomena trauma sekunder akibat paparan konten terorisme di media sosial merepresentasikan tantangan kompleks di era digital. Dampaknya yang signifikan terhadap kesehatan mental individu dan dinamika sosial masyarakat memerlukan perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan.
Pendekatan holistik yang menggabungkan literasi digital, desain platform yang bertanggung jawab, dukungan psikososial, dan kebijakan publik yang progresif diperlukan untuk mitigasi efektif. Namun, upaya ini harus selalu mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan mental dan prinsip-prinsip kebebasan informasi serta privasi individu.
Riset lebih lanjut diperlukan untuk memahami dinamika jangka panjang trauma sekunder di era media sosial, terutama dalam konteks ancaman yang terus berevolusi seperti terorisme. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk membangun ketahanan psikologis masyarakat di era digital, tanpa mengorbankan manfaat positif dari keterhubungan global yang ditawarkan media sosial.
Pada akhirnya, mengatasi tantangan trauma sekunder di media sosial bukan hanya tentang mitigasi risiko, tetapi juga tentang membentuk budaya digital yang lebih sehat dan empatik. Ini memerlukan komitmen bersama dari individu, komunitas, platform teknologi, dan pembuat kebijakan untuk menciptakan lingkungan online yang mendukung kesejahteraan mental sambil tetap memfasilitasi pertukaran informasi dan ide yang vital bagi masyarakat demokratis.
Surabaya, 14 Agustus 2024
Abu Fida
(Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UINSA)
Ilustrasi: By AI
Komentar