Ketika Algoritma Meradikalisasi Manusia

Analisa

by Munir Kartono Editor by REDAKSI

Di era internet, algoritma telah menjadi arsitek tak kasat mata yang sangat berperan dalam menentukan dan memandu jalan pengalaman kita di dunia maya. Algoritma secara halus memandu interaksi kita, membentuk persepsi kita bahkan memengaruhi keyakinan kita. Di antara berbagai konsep algoritma, algoritma yang tertanam dalam platform media sosial menjadi algoritma yang paling menonjol karena memberikan dampak yang sangat besar terhadap masyarakat.

Tidak seperti seorang ideolog yang menganjurkan kepercayaan tertentu atau memiliki agenda-agenda tertentu, algoritma media sosial cenderung bersifat ‘agnostik’ yang tidak memiliki dan tidak terikat pada keyakinan dan sudut pandang tertentu. Namun belakangan ternyata agoritma di media sosial merupakan katalisator yang kuat untuk radikalisasi. Hal ini terjadi karena algoritma mengoptimalkan keterlibatan konten yang bermuatan emosional atau ekstrem dan mengumpulkannya dalam ‘kantong-kantong’ algoritma (algorithm enclave) lalu menjadikannya sebagai preferensi bagi penggunanya untuk memancing lebih banyak interaksi. Hal ini menciptakan lingkaran umpan balik yang bisa menyebabkan pengguna terpapar konten yang semakin ekstrem dari waktu ke waktu, terjebak dalam lingkaran preferensi yang disajikan, membuat mereka mengadopsi keyakinan radikal dan pada akhirnya berpotensi  melakukan tindakan radikal yang melibatkan kekerasan dan teror.

Artikel ini berusaha menggambarkan secara singkat tentang  mekanisme ketika algoritma, yang dirancang seolah-olah untuk meningkatkan keterlibatan pengguna dalam mengumpulkan preferensi yang dapat bermanfaat baginya dan orang lain, namun secara tidak sengaja juga dapat mendorong radikalisasi dan mengubah individu biasa menjadi penganut ideologi ekstrem dan kekerasan.

Algoritma dan Engagement

Platform media sosial seperti Facebook, X (Twitter), YouTube, dan Instagram telah merevolusi cara manusia dalam berkomunikasi. Platform-platform media sosial tersebut menyediakan beragam konten yang disesuaikan dengan preferensi penggunanya. Inti dari pengalaman yang dipersonalisasi ini adalah algoritma rekomendasi. Model matematika yang rumit ini menganalisis perilaku pengguna--like, share, save, click, comments, dan jenis konten apa saja yang ditonton -- lalu menggunakan data ini untuk memprediksi dan menyarankan konten yang menjadikan pengguna tetap terlibat.

Semakin banyak waktu dan aktivitas yang dihabiskan  pengguna di platform media sosialnya,  semakin banyak data yang bisa dikumpulkan oleh algoritma sehingga menciptakan umpan balik untuk menyempurnakan rekomendasi bagi individu pengguna.

Selain itu, perlu dipahami bahwa platform media sosial hidup dan punya pendapatan utama dari berbagai ‘produk’ yang memasang iklan di platformnya. Kinerja iklan di media sosial sangat bergantung pada perhatian dan interaksi para pengguna media sosial tersebut. Semakin banyak dan lama para pengguna media sosial terlibat, baik dalam like, comments, save, share dan watch, maka semakin bagus kinerja iklan dan semakin banyak profit yang dihasilkan platform media sosial tersebut. Model bisnis ini memberi insentif kepada algoritma untuk memprioritaskan konten yang memikat perhatian pengguna media sosial dan mempertahankan konten tersebut.

Tak berhenti sampai di situ, algoritma media sosial yang mengumpulkan data-data ‘behaviour dan habit’ para penggunanya, juga bisa memberikan umpan balik kepada klien tentang apa yang diperlukan individu-individu pengguna, apa kegemara mereka, apa yang bisa membuatnya marah, sedih, bagimana cara melakukan promosi yang efektif, dan lain-lain.

Banyak sekali penelitian yang telah menunjukkan bahwa konten yang bermuatan emosional -- baik yang bisa menimbulkan kemarahan, kegembiraan, ketakutan -- cenderung menghasilkan lebih banyak keterlibatan atau engagement pengguna hingga menjadi viral, daripada konten yang bersifat netral. Akibatnya, algoritma sering kali lebih menyukai materi yang sensasional, provokatif, atau kontroversial, yang bisa memancing perhatian banyak orang. Meskipun strategi ini secara efektif meningkatkan matrik keterlibatan pengguna media sosial, namun strategi ini juga menciptakan lingkungan di mana pandangan ekstrem dan informasi yang salah (hoax) memiliki potensi untuk berkembang dan menggiring pengguna ke arah pandangan radikal. Masalahnya adalah, sebagian besar masyarakat  meyakini ungkapan, “Yang viral itu benar.”

 

Radikalisme Digital, Efek Echo Chamber dan Efek Rabbit Hole

Radikalisasi dalam konteks media sosial mengacu pada proses di mana seseorang mengadopsi posisi politik, agama atau ideologi yang ekstrem. Dan tidak seperti proses radikalisasi tradisional yang membutuhkan interaksi pribadi dengan ideolog atau partisipasi dalam kelompok radikal, radikalisasi yang digerakkan oleh algoritma dapat terjadi secara terpisah, didorong oleh konten yang disajikan oleh platform media sosial.

Salah satu cara utama algoritma memfasilitasi radikalisasi adalah dengan menciptakan ruang gema (echo chamber). Ruang gema adalah lingkungan di mana pengguna sebagian besar terpapar dengan informasi dan opini yang memperkuat keyakinan mereka yang sudah ada dengan sedikit paparan terhadap pandangan yang berbeda. Fenomena ini merupakan hasil sampingan dari algoritma yang memprioritaskan konten yang sesuai dengan perilaku pengguna tersebut dari waktu ke waktu.

Misalnya, jika seorang pengguna media sosial sering berinteraksi dengan konten yang terkait dengan ideologi politik tertentu, algoritma akan terus merekomendasikan konten serupa yang secara bertahap mempersempit lanskap informasi pengguna. Pengguna tersebut hanya akan disajikan konten serupa tanpa diberikan alternatif konten yang berbeda sudut pandangnya atau. Seiring waktu, hal ini dapat mengarah pada persepsi yang miring tentang realitas, di mana pengguna terus-menerus dibombardir dengan narasi satu sisi, memperkuat keyakinan mereka dan berpotensi mendorong mereka ke posisi yang lebih ekstrem.

Mekanisme lain yang digunakan algoritma untuk berkontribusi pada radikalisasi adalah efek lubang kelinci. Hal ini terjadi ketika pengguna secara bertahap digiring dari konten arus utama ke konten yang lebih pinggiran dan ekstrem. Algoritma, dalam upayanya untuk mempertahankan keterlibatan pengguna, mulai merekomendasikan konten yang sedikit provokatif, kemudian secara progresif menyarankan materi yang lebih radikal karena mengamati minat pengguna yang berkelanjutan.

Misalnya pengguna yang menonton video tentang komentar politik mungkin awalnya akan direkomendasikan klip berita utama. Namun ketika mereka terlibat dengan konten yang lebih partisan, algoritma mungkin mulai menyarankan video dari sumber yang kurang bereputasi yang menyajikan sudut pandang yang lebih ekstrem. Paparan tambahan ini dapat membuat pengguna tidak peka terhadap ide-ide radikal dan membuat mereka lebih mudah menerima ideologi ekstremis dari waktu ke waktu.

 

Radikalisasi Islamis Jalur Media Sosial

Radikalisasi Islamis adalah efek lain dari algoritma yang memiliki dampak sangat besar. Organisasi teroris seperti ISIS telah memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda dan merekrut anggotanya. Algoritma pada platform seperti X (Twitter) dan Facebook secara tidak sengaja telah memperkuat konten ini dengan merekomendasikannya kepada pengguna yang menunjukkan ketertarikan pada materi terkait.

Misalnya, seorang anak muda yang ingin tahu tentang konflik Suriah mungkin akan mulai mencari informasi dengan menonton laporan berita. Lalu jika mereka terlibat dengan konten yang bersimpati, algoritma dapat mulai merekomendasikan video, artikel dan akun media sosial yang lebih radikal. Hal ini dapat membawa seseorang ke arah radikalisasi, karena mereka terpapar dengan narasi ekstremis yang mengagungkan kekerasan dan kesyahidan.

Sejak awal kemunculannya di medio 2013, sudah begitu banyak anak-anak muda yang terseret dan bergabung dengan ISIS akibat dari rasa simpatinya terhadap keadaan umat Islam yang terdampak gelombang Arab Spring di Suriah. Padahal mereka hanya memiliki sedikit informasi atau bahkan tidak ada informasi tentang ISIS secara utuh sebelumnya. Mereka yang terpancing berita tentang gejolak Arab Spring, lantas mulai terlibat dengan mencari informasi lanjutan di media sosial. Keterlibatan itu disambut oleh algoritma dengan menyajikan berbagai referensi awal dari sumber-sumber mainstream. Semakin dalam keterlibatan dan ketertarikan pengguna tersebut dalam tema serupa dan makin fokusnya preferensi pengguna pada in-depth tema tersebut, maka algoritma dapat memberikan referensi sumber yang sesuai dengan ketertarikan penggunanya. Dan hal inilah yang menunjukkan bahwa algoritma dapat meradikalisasi penggunanya.

 

Mengatasi Radikalisasi Algoritmik

Mengatasi masalah radikalisasi algoritmik membutuhkan pendekatan multi-dimensi yang melibatkan kebijakan, teknologi, dan pendidikan. Langkah pertama mengurangi pengaruh radikalisasi algoritmik antara lain dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan media sosial dalam menetapkan bagaimana algoritma mereka bekerja; apa saja kriteria yang mereka gunakan untuk merekomendasikan konten. Audit dan pengawasan independen dapat membantu memastikan bahwa algoritma ini tidak secara tidak sengaja mempromosikan konten radikal.

Selain itu, platform media sosial juga dapat menerapkan mekanisme untuk mendeteksi dan membatasi penyebaran konten pemicu radikalisme. Hal ini dapat melibatkan penggunaan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi dan menandai materi yang berpotensi berbahaya, serta memberikan pengguna kontrol lebih besar atas rekomendasi konten mereka. 

Perusahaan media sosial juga perlu berinvestasi dalam upaya memoderasi konten yang dibuat oleh penggunanya dan membuat sistem yang dapat mengidentifikasi dan menghapus konten radikal dengan segera. Namun, moderasi konten saja tidak cukup; moderasi konten harus dilengkapi dengan pesan tandingan yang proaktif, yang melibatkan promosi konten yang menantang narasi radikalisme dan memberikan sudut pandang alternatif.

Perusahaan platform media sosial juga harus bekerjasama dengan dengan seluruh stake holder baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil untuk memberikan ruang yang lebih luas dan promosi yang lebih masif untuk menangkal dan mencegah radikalisme. Dengan sinergitas tersebut, perusahaan platform media sosial telah memperkuat suara-suara yang mendukung toleransi, pemahaman inklusif dan pemikiran kritis yang dapat menangkal pengaruh materi radikal dan penyebaran konten radikalisme.

Terakhir namun tak kalah penting, kesadaran dan wawasan pengguna media sosial dalam menyaring kebenaran serta keabsahan konten yang dikonsumsi merupakan penangkal yang paling jitu bagi radikalisasi algoritmik ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai melalui pendidikan dan peningkatan literasi yang tak boleh berhenti.[]

Komentar

Tulis Komentar