Upaya Dekolonisasi Pendidikan di Indonesia

Analisa

by Amsa Nadzifah Editor by REDAKSI

Apakah pendidikan diarahkan sekadar sebagai pemenuhan tenaga kerja industri dan bukan mencerdaskan bangsa?  Masihkah pendidikan kurang merata untuk dapat dinikmati seluruh warga negara? Apakah masyarakat masih harus membayar mahal untuk mendapatkan pendidikan yang baik? Apakah guru masih dibayar murah?

Jika kita tidak mampu secara yakin menjawab “tidak” atas pertanyaan-pertanyaan itu, maka tak ayal pendidikan di tanah air ini masih mengalami kolonisasi.

Tulisan ini merupakan refleksi penulis setelah mengikuti Simposium International (22/01) bertemakan Decolonizing Education Practices Through Formal/State Actors and Non-State Actors – kegiatan Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Universitas Hiroshima, Jepang, dan Universitas Negeri Malang. Melalui kegiatan ini, para pembicara menyepakati bahwa meskipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, dekolonisasi pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Kondisi ini digambarkan oleh Kepala Riset Pendidikan BRIN, Trina Fizzanty, bahwa “Saat berpikir berpikir tentang modernisasi pendidikan, seringkali kita hanya mengadopsi model dari negara-negara maju tanpa mempertimbangkan relevansi dengan konteks lokal.” 


Pentingnya mempertimbangkan konteks lokal dalam menyusun konsep pendidikan. (Foto Dok. Yayasan Literasi Desa Tumbuh)

Harus diakui, selain belum berhasil melepaskan warisan-warisan negatif pendidikan kolonial, pendidikan di Indonesia cenderung mengekor model-model kebanyakan negara maju (Barat) dan malah mengabaikan muatan lokal serta keragaman budaya nusantara. Karenanya dekolonisasi pendidikan nasional menjadi penting demi menciptakan sistem pendidikan yang adil, inklusif, dan relevan secara budaya. 

Sebenarnya sudah ada beragam pendekatan yang ditawarkan pemerintah Indonesia, untuk menjamin inklusivitas di dunia pendidikan. Pertama melalui kurikulum merdeka, pemerintah memberikan ruang untuk pembelajaran lokal. Sayangnya, kerap sekolah masih melihat pembelajaran lokal sebatas tarian dan nyanyian saja, dan tidak mengkombinasikan pengetahuan serta kearifan lokal dalam keseluruhan pembelajaran. Ini menjadikan pembelajaran lokal di sekolah masih sebatas ornamen. 

Kedua, pemerintah Indonesia telah menghadirkan sekolah adat sebagai pendidikan tambahan bagi anak-anak masyarakat adat di Indonesia untuk mempelajari adat mereka. Ada beragam model terkait sekolah adat ini – ada yang menjadikannya sebagai ekstrakurikuler, namun juga ada yang menyelenggarakannya secara terpisah dengan sekolah formal. 

Selain beragam gerakan yang telah diupayakan pemerintah, banyak NGO dan CSO juga telah mengupayakan dekolonisasi pendidikan di Indonesia. Salah satu pembicara, Alpha Amirachman, memaparkan bagaimana Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memberikan ruang untuk guru dan siswa yang beragama selain Islam untuk tetap mendapatkan pembelajaran agama mereka di sekolah. Selain itu, setiap sekolah Muhammadiyah juga diberi keleluasaan dalam pembelajaran kemuhammadiyahan sesuai konteks lokalnya. 

Memaknai Dekolonisasi Pendidikan

Bagaimanapun, pertanyaan mendasar mengenai dekolonisasi pendidikan belum terjawab di sini. Apakah pendekatan yang ditawarkan baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak non-pemerintah telah mentransfer power kepada mereka yang selama ini terabaikan? Jika tidak, maka kita hanya sedang meromantisasi pendidikan sembari mengklaimnya sebagai upaya dekolonisasi tanpa benar-benar melakukan dekolonisasi. 

Sebelum membahas lebih jauh, perlu kiranya menyepakati mengenai makna dekolonisasi itu sendiri. Dekolonisasi merupakan konsep yang menantang narasi dominan penjajah maupun Negara Barat dengan mempromosikan berbagai pengetahuan dan pendekatan sebagai alternatif. Maldonado-Torres (2016), salah satu pemikir dari Amerika Latin, berpendapat bahwa “dekolonisasi adalah upaya memanusiakan kembali dunia, demi mematahkan hierarki perbedaan yang melahirkan dehumanisasi subjek dan komunitas, menghancurkan alam, serta berusaha membongkar kolonialitas dan membuka berbagai bentuk keberadaan lain di dunia” (hal. 10). Dengan melakukan pendekatan dekolonial, para praktisi dan juga akademisi membayangkan dunia yang berbeda dari narasi dominan yang ada saat ini. 

Hal penting yang perlu diingat, gagasan fundamental dari pendekatan dekolonisasi tidak merujuk pada penghapusan semua pengetahuan yang berasal dari Negara Barat ataupun negara lain. Ia lebih berfokus pada upaya mereposisi pengetahuan yang telah ada, seperti pengetahuan dan sistem adat, dengan mendengarkan cerita dan menghormati cara hidup mereka (Mignolo & Walsh, 2018; Nyumba, 2006; Smith, 1999).  Melalui pendekatan ini, pengetahuan tidak lagi dikotak-kotakkan menjadi pengetahuan adat dan pengetahuan modern. Sebab dekolonialitas mendorong pluriuniversitas, yang merujuk pada absennya totalitas tunggal. 

Namun, dekolonisasi pendidikan hanya dapat diperoleh melalui kesadaran relasi kekuasaan oleh kaum yang termarjinalisasi. Hanya jika mereka telah menyadari ketimpangan kekuasaan, mereka akan mengenali identitias mereka dan mampu menentukan tujuan pendidikan yang menguntungkan komunitas mereka (Darder, 2015; Freire, 1993); Jackson, 2016). 

Oleh karenanya, penting mengupayakan bersama dekolonisasi pendidikan tanpa membedakan siapa yang melakukannya, apakah dari pemerintah ataupun pihak-pihak non-pemerintah. Karena kunci dekolonisasi pendidikan adalah kolaborasi berbagai pihak – dengan memberikan ruang kepada mereka yang selama ini termarjinalkan – untuk terlibat dalam produksi pengetahuan. [ ]

Komentar

Tulis Komentar