Dalam era digital yang semakin canggih, kini manusia dikelilingi oleh perangkat pintar yang menjanjikan kenyamanan dan efisiensi. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, tersembunyi ancaman yang mungkin luput dari perhatian kita. Seperti adegan dalam film "Snowden" yang menggambarkan bagaimana setiap individu berada dalam database orang tak dikenal, di mana realitas kehidupan modern kita pun tak jauh berbeda.
Bayangkan, skenario di mana pengisi daya nirkabel yang kita gunakan sehari-hari berubah menjadi ancaman potensial. Penelitian terbaru dari University of Florida mengungkap kerentanan yang mengkhawatirkan: kemampuan peretas untuk mengganggu proses pengisian daya, menyebabkan ponsel menjadi terlalu panas, bahkan berpotensi meledak. Serangan peretas modern ini bukan hanya fiksi ilmiah, melainkan ancaman nyata yang dapat direalisasikan dengan perangkat sederhana bermodalkan kurang dari $10.
Ancaman ini tidak berhenti pada perangkat genggam kita. Kamera dengan teknologi canggih kini mampu menangkap apa yang kita ketik di ponsel dari jarak jauh. Algoritma yang dikembangkan oleh University of North Carolina dapat memfilter dan menstabilkan gambar yang goyah, bahkan merekonstruksi teks yang tidak terlihat langsung. Privasi kita di ruang publik kini semakin tergerus , dan setiap ketikan berpotensi menjadi informasi bagi pihak yang tidak diinginkan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, perangkat medis yang dirancang untuk menyelamatkan nyawa pun tidak luput dari ancaman peretasan. Alat pacu jantung, yang telah menyelamatkan jutaan nyawa sejak tahun 1926, kini menjadi target potensial bagi peretas. Kemampuan untuk mengelola perangkat ini dari jarak jauh, meski dimaksudkan untuk kebaikan, membuka celah keamanan yang mengkhawatirkan. Bayangkan skenario mengerikan di mana peretas dapat memanipulasi ritme jantung seseorang atau menguras baterai alat pacu jantung dari jarak jauh.
Dalam dunia otomotif pun tidak mempunyai imun terhadap ancaman digital. Sistem keamanan mobil modern ternyata memiliki tingkat perlindungan yang setara dengan komputer desktop tahun 1980-an. Sebuah Penelitian telah mendemonstrasikan bagamana kemampuan untuk mengambil alih kontrol speedometer, sensor suhu, dan sistem pengereman mobil melalui eksploitasi sinyal bluetooth atau radio. Lebih mengkhawatirkan lagi, fakta ini menunjukkan bahwa dalam satu atau dua dekade mendatang, peretasan 20% mobil di jalan raya pada jam sibuk sudah cukup untuk melumpuhkan lalu lintas seluruh kota.
Ancaman ini juga tidak berhenti di luar rumah. Perangkat rumah tangga yang mengandalkan nirkabel atau "pintar" sebagai kenyamanan sehari-hari juga menjadi sasaran serangan yang empuk bagi peretas. Oven, mesin cuci, bahkan lemari es yang terhubung ke internet dapat dimanipulasi untuk menciptakan bahaya nyata. Serangan siber pada tahun 2014 yang melibatkan peretasan lebih dari 100.000 gadget rumah tangga menjadi bukti nyata akan kerentanan ini.
Dalam arus digital yang semakin kompleks ini, konsep pembunuh bayaran pun mengalami evolusi. Alih-alih mengandalkan senjata konvensional, "pembunuh" masa depan mungkin adalah seorang insinyur teknis yang mampu menonaktifkan alat pacu jantung dari jarak jauh atau menyebabkan kecelakaan mobil melalui peretasan sistem kendali. Skenario ini, meski terdengar seperti plot film fiksi ilmiah, namun fakta menunjukkan semakin mendekati realitas dengan setiap kemajuan teknologi.
Luciano Floridi, profesor filsafat informasi dan etika dari Universitas Oxford, mengingatkan kita dengan ungkapan yang menggugah: "Mereka yang hidup secara digital akan mati secara digital." Pernyataan ini merefleksikan realitas bahwa semakin kita terintegrasi ke dalam dunia digital, semakin besar pula dampak resiko yang akan kita hadapi.
Namun, solusinya bukanlah kembali ke gaya hidup primitif. Sebaliknya, kita perlu meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang teknologi yang kita gunakan sehari-hari. Memahami konsep keamanan informasi, analisis big data, dan prinsip-prinsip keamanan siber bukan lagi sekadar kebutuhan para profesional IT, melainkan keterampilan esensial bagi setiap individu di era digital.
Tantangan terbesar mungkin terletak pada generasi muda. Survei menunjukkan bahwa 50% remaja berusia 13-17 tahun dengan mudah memberikan informasi pribadi kepada orang asing di dunia maya. Sebuah perilaku yang tidak akan mereka lakukan dalam interaksi tatap muka. Kesenjangan antara kehati-hatian di dunia nyata dan kecerobohan di dunia digital ini mencerminkan kebutuhan mendesak akan edukasi keamanan siber yang komprehensif.
Dunia digital terbukti telah menawarkan potensi dan peluang yang luar biasa, namun juga membawa risiko yang tidak dapat diabaikan. Seperti halnya kita belajar untuk berhati-hati saat menyeberang jalan atau mengunci pintu rumah, kita pun perlu mengembangkan kewaspadaan serupa di ranah digital. Memahami teknologi yang kita gunakan, menyadari risikonya, dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat adalah kunci untuk menikmati manfaat dunia digital tanpa menjadi korbannya.
Dalam evolusi teknologi yang kini tak terbendung ini, mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali hubungan kita dengan perangkat digital. Bukan untuk menolaknya, melainkan untuk menggunakannya dengan lebih bijak dan aman. Karena di era di mana setiap aspek kehidupan kita semakin terhubung secara digital, keamanan dan privasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Surabaya, 19 September 2024
Abu Fida
(Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UINSA)
Foto Ilustrasi: By AI
Komentar