Melacak Pola 13 Tahun: Membaca Siklus Konflik Dalam Mencegah Kekerasan Dimasa Depan

Analisa

by Abu Fida Editor by Redaksi

Penemu Teori polemologi Gaston Bouthoul mengkaji studi tentang konflik dan perang, dengan fokus pada faktor sosial, politik, dan budaya yang mempengaruhi konfrontasi kekerasan. Ia mengusulkan bahwa pemahaman tentang akar dan dinamika konflik adalah hal yang penting untuk upaya perdamaian. Karya beliau menekankan perlunya dialog dan pemahaman untuk menyelesaikan perbedaan sebelum berkembang menjadi kekerasan.

Di sisi lain Goston juga mengemukakan teorinya tentang siklus 13 tahun dalam peperangan dunia, yang banyak dianggap sebagai kebetulan belaka. Namun, sebagai pengamat yang telah lama berkecimpung dalam analisis konflik dan kontra-terorisme, saya menemukan pola ini terlalu konsisten untuk diabaikan begitu saja.

Mari kita telusuri sejenak. Perang Dunia I pecah pada 1914, tiga belas tahun kemudian, 1927, dunia mengalami krisis ekonomi yang memicu ketegangan global dan bangkitnya fasisme. Tiga belas tahun berikutnya, 1940, Perang Dunia II mencapai puncak intensitasnya. Lompat ke 1953, kita melihat Perang Korea dan eskalasi Perang Dingin. Tahun 1966 menandai intensifikasi Perang Vietnam. Tahun 1979 menyaksikan invasi Soviet ke Afghanistan, yang kelak menjadi awal dari era jihad modern.

Pola ini berlanjut: 1992 melihat pecahnya Yugoslavia dan konflik Balkan. Tahun 2005 menandai puncak insurgency di Irak pasca invasi AS. Dan yang mengkhawatirkan, 2018 menandai kebangkitan kembali ketegangan global dengan perang proxy di berbagai belahan dunia. Jika pola ini berlanjut, 2031 bisa menjadi tahun yang kritis.


Baca juga: Metamorfosis Gerakan Terorisme: Mengungkap Wajah Baru Ancaman Global



Bila dilihat dalam perjalanan kekerasan di Indonesia teori siklus 13, tahun 2002 terjadi peristiwa bom Bali dan bila di tambah 13, 2015, muncul dan menyebarnya ISIS, JAD (Jamaah Anshar Daulah), JAK (Jamaah Anshar Khilafah), maka bisa jadi akan terjadi isu baru kekerasan pada 2028. Semoga hal ini bisa diantisipasi dan dicegah semaksimal mungkin untuk mencitakan perdamaian di Indonesia.

Namun teori ini bukan untuk menakut-nakuti. Sebaliknya, pemahaman tentang siklus konflik ini bisa menjadi alat yang berharga untuk mencegah kekerasan di masa depan. Seperti dokter yang mempelajari pola penyakit untuk mencegah wabah, kita perlu memahami pola konflik untuk mencegah perang.

Yang menarik, setiap siklus 13 tahun ini tidak hanya ditandai oleh konflik baru, tapi juga oleh perubahan dalam nature of warfare itu sendiri. Dari perang konvensional antar negara, bergeser ke perang proxy, lalu ke konflik asimetris, hingga kini ke perang hybrid yang melibatkan dimensi siber dan informasi. Pemahaman akan evolusi ini sangat krusial untuk mengantisipasi bentuk konflik masa depan.

Saya melihat bagaimana kelompok-kelompok ekstremis sering memanfaatkan momen-momen kritis dalam siklus ini. Mereka membaca tensi global sebagai kesempatan untuk memobilisasi dukungan dan melancarkan aksi. Pemahaman akan pola ini memungkinkan kita untuk lebih siap mengantisipasi dan mencegah eksploitasi semacam itu.

Tapi ada harapan. Berbeda dengan masa lalu, kini kita memiliki tools dan kesadaran yang lebih baik untuk mencegah konflik. Kemajuan teknologi memungkinkan deteksi dini tensi global. Media sosial, meski bisa menjadi medium penyebaran kebencian, juga bisa menjadi platform untuk dialog dan pemahaman lintas budaya. Digital Modern bisa membantu mengidentifikasi pola-pola yang mengarah pada konflik.

Yang mencengangkan adalah, bagaimana kita menggunakan pengetahuan tentang siklus ini untuk membangun sistem peringatan dini yang lebih efektif. Ini bukan sekadar tentang mengumpulkan intelijen atau memantau indikator konflik tradisional. Tetapi juga tentang memahami dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang menciptakan kondisi di mana konflik bisa berkembang.

Langkah preventif harus dimulai jauh sebelum tahun-tahun kritis. Termasuk penguatan institusi internasional, peningkatan dialog antar peradaban, dan pembangunan mekanisme resolusi konflik yang lebih efektif. Yang tak kalah penting adalah mengatasi akar masalah seperti ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang sering menjadi pemicu konflik.

Sebagai masyarakat global, kita perlu mengambil pelajaran dari setiap siklus konflik. Setiap episode kekerasan meninggalkan jejak yang bisa kita pelajari. Pola 13 tahun ini bukan takdir yang pasti terjadi, melainkan pengingat akan pentingnya kewaspadaan dan aksi preventif.

Di ambang siklus berikutnya, kita dihadapkan pada pilihan:
Membiarkan sejarah berulang atau secara aktif bekerja untuk mencegah konflik.

Teknologi baru dan kesadaran global yang meningkat, dan pemahaman yang lebih baik tentang dinamika konflik memberi kita peluang unik untuk memutus siklus ini. Mungkin inilah pertama kalinya dalam sejarah manusia kita memiliki kapasitas untuk mengantisipasi dan mencegah konflik skala besar sebelum terjadi.

Teori siklus 13 tahun bukan ramalan yang selalu menjadi kenyataan, tapi kompas yang mengarahkan kita pada upaya pencegahan yang lebih efektif.
Saat kita mendekati titik kritis berikutnya, mari kita menjadikan paradigma ini sebagai alat untuk membangun perdamaian, bukan prediksi yang memenuhi dirinya sendiri. Masa depan kita tidak ditentukan oleh pola masa lalu, tapi oleh tindakan yang kita ambil hari ini.



Surabaya, 9 November 2024


A. Fida
(Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UINSA)

Ilustrasi: Canva.com

Komentar

Tulis Komentar