Mudik Yang Hanya Menjadi Mimpi Bagi Sebagian Anak Negeri

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Sore itu di salah satu sudut kota Jakarta, 8 tahun yang lalu seorang pria usia 30-an tampak antusias menatap layar televisi yang sedang menayangkan berita suasana mudik tahun 2017. Di sebelahnya seorang pria dengan seragam bertuliskan “POLSUSPAS” sambil tersenyum-senyum berkata, “Soal mudik mah kita sama saja mas. Kami para petugas di Lapas yang nggak dapat jatah cuti juga tidak bisa mudik. Demi jagain sampean dan teman-teman di sini”. Kedua orang itu pun kemudian tertawa lepas bersama.

Itulah percakapan saya dengan salah satu petugas Lapas Salemba 8 tahun yang lalu. Saat itu, tayangan berita mudik di TV memang sukses membangkitkan rasa rindu saya dengan keluarga. Tapi begitu mendengar perkataan petugas Lapas di sebelah saya, itu juga menyadarkan saya bahwa ada banyak orang yang tidak bisa mudik dengan berbagai sebab. Di antaranya adalah kami berdua. Satu karena berstatus narapidana, dan satu lagi karena harus menjaga narapidana. Itu yang membuat kami kemudian sama-sama tertawa.

Faktanya memang ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak mengenal libur dan bahkan harus meningkatkan pelayanannya di masa mudik lebaran. Ada polisi, paramedis, sipir penjara, security kompleks perumahan, dan lain-lain. Mereka ini baru bisa mudik setelah kebanyakan orang-orang selesai mudik atau setelah ada kelonggaran dalam tugasnya.

Jika orang-orang tersebut di atas masih bisa mudik meskipun tertunda, atau dapat mengupayakan agar bisa mudik dalam waktu dekat, maka ada sebagian saudara kita yang benar-benar tidak tahu apakah bisa mudik atau tidak. Tidak tahu apakah bisa mengupayakan agar bisa mudik atau tidak. Mereka adalah para “anak negeri” yang kini masih terjebak dalam situasi tak menentu akibat perang di Suriah.

Siapakah “Anak Negeri” Yang Terlibat Dalam Konflik Suriah?

Berdasarkan penelitian dan kajian tim peneliti Ruangobrol, ada tiga kelompok “anak negeri” yang terlibat dalam konflik Suriah.

Kelompok pertama adalah orang-orang yang mendukung proyek khilafah, terutama yang terkait dengan jaringan pendukung ISIS pimpinan Aman Abdurrahman. Mereka pergi ke Suriah untuk mendukung dan memperluas proyek khilafah tanpa niat kembali ke Indonesia.

Kondisi orang-orang dari kelompok pertama ini kini untuk para lelakinya jika tidak mati karena perang, maka berada di penjara-penjara di bawah kontrol kelompok oposisi Suriah. Untuk perempuan dan anak-anaknya yang masih hidup, kini mereka tinggal di kamp pengungsian Al Roj dan Al Hol Suriah dalam kontrol kelompok perlawanan Kurdistan.

Kelompok kedua berasal dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI), pemain lama dalam jaringan jihad di Indonesia dan global. Sebelum JI membubarkan diri pada 30 Juni 2024, setidaknya ada 62 anggota mudanya yang telah mengikuti pelatihan di Suriah sejak 2013 dan memperluas jaringan jihad global, kemudian kembali ke Indonesia. Sebagian kecil dari kelompok ini masih berada di Suriah dan kini menjadi bagian dari pasukan keamanan pemerintahan baru Suriah di bawah kepemimpinan Ahmad Al Sharaa yang merupakan eks pimpinan kelompok Hay’at Tahrirus Syam (HTS).

Kelompok ketiga adalah mereka yang terpesona oleh narasi khilafah di media sosial. Ironisnya, terindikasi bahwa sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan remaja. Ketika kenyataan di lapangan tidak seindah propaganda, banyak dari mereka yang kecewa dan berusaha keluar dari wilayah kekuasaan ISIS. Ada sebagian kecil dari mereka yang berhasil kembali ke tanah air meski harus melalui jalan panjang nan berliku. Namun mayoritas masih bertahan di kamp-kamp pengungsian Suriah tanpa tahu kapan bisa pulang.

Hanya Bisa Memimpikan Mudik

Para narapidana –seperti saya alami dulu-- yang tidak bisa mudik karena masih bisa menjalani hukuman, setidaknya masih punya harapan bisa mudik karena tahu kapan ia akan bebas. Tapi mereka yang berada di penjara tanpa status di wilayah konflik, atau yang berada di kamp-kamp pengungsian, mungkin hanya bisa memimpikan mudik ke kampung halaman.

Karena mereka paham bahwa untuk mudik ke kampung halaman tidak sekedar butuh biaya perjalanan dan kelengkapan administrasi, tapi juga butuh jaminan bahwa mereka bisa diterima kembali ketika pulang ke tanah air untuk memulai hidup baru.



Foto Ilustrasi: Canva.com

Komentar

Tulis Komentar