Mengurai Rumitnya Persoalan dalam Deradikalisasi

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Identitas pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Kota Bandung pada 7 Desember 2022 yang lalu terungkap bernama Agus Sujanto alias Abu Muslim. Ia merupakan mantan narapidana teroris (napiter) dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung yang bebas pada Maret 2021.

Fakta ini mengejutkan khalayak. Karena mayoritas masyarakat berasumsi bahwa semua mantan napiter pasti telah menjalani program pembinaan atau deradikalisasi di dalam dan di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Apalagi ada lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani hal itu, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Maka, ketika terjadi kasus serangan teror yang dilakukan oleh mantan napiter atau penangkapan terduga teroris yang merupakan mantan napiter, wajar bila masyarakat dan berbagai pihak mempertanyakan efektivitas program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah.

Terkait kasus pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, menarik untuk menyimak pernyataaan Kapolri kepada wartawan pada Kamis (8/12/2022) lalu.

"Untuk proses deradikalisasi butuh proses dan membutuhkan teknik dan taktik yang berbeda. Karena yang bersangkutan masih susah (sulit, Red) diajak bicara, cenderung menghindar meski melaksanakan aktivitas," kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Pernyataan singkat Kapolri di atas sudah cukup menggambarkan tentang betapa kompleksnya persoalan dalam deradikalisasi. Sebagai mantan napiter dan aktivis yang pernah mendampingi beberapa mantan napiter, saya membenarkan pernyataan Kapolri tersebut.

Tidak Bisa Dipaksakan

Berubahnya pemikiran dan perilaku pada dasarnya adalah sesuatu yang muncul dari dalam diri seseorang. Dari sini berarti deradikalisasi tidak bisa dipaksakan tetapi hanya bisa ditawarkan. Diterima atau tidak itu kembali pada masing-masing.

Hal ini bisa diibaratkan sama dengan ketika memasarkan sebuah produk. Cara menawarkan dan meyakinkan calon pembeli menjadi kunci keberhasilan. Produk yang jelek pun bisa laku bila pandai dalam menawarkan dan meyakinkan calon pembeli. Sebaliknya, sebagus apapun produknya kalau tidak bisa menjual berarti itu merupakan sebuah kerugian besar.

Program deradikalisasi itu sendiri memiliki target yang tidak mudah, yaitu menetralkan pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terpapar dengan radikalisme. Yang menjadi sasarannya yaitu para teroris yang ada di dalam lapas maupun di luar lapas, sehingga program ini dilaksanakan sejak dari dalam penjara hingga beberapa waktu setelah bebas dari penjara.

Persoalan mendasar yang saya lihat dalam proses deradikalisasi di dalam penjara adalah bagaimana membuat napiter mau menerima dengan sukarela program deradikalisasi. Idealnya pada tataran tertinggi, napiter itulah yang datang atau meminta untuk ikut program deradikalisasi. Karena jika program deradikalisasi itu sudah diinginkan, maka sekecil apapun program yang diterima akan berdampak besar. Sebaliknya, sebanyak apapun program yang ditawarkan bila sepi peminat juga kurang efektif.

Menurut saya keberhasilan proses yang dijalani di dalam penjara sangat menentukan keberhasilan pada proses selanjutnya di luar penjara. Berdasarkan pengalaman pribadi dan dari beberapa klien pendampingan yang saya lakukan, ketika di dalam penjara itu terjadi negosiasi di dalam diri. Antara tetap melanjutkan perjuangan dengan jalan yang lama atau mengubah orientasi dan jalan perjuangan dengan yang baru. Mana yang lebih dominan maka itulah sikap yang akan diambil oleh seorang napiter.

Persoalan selanjutnya adalah ternyata membuat seorang napiter mau membuka diri, mengakui kesalahannya, dan kemudian dengan sukarela mengikuti program deradikalisasi menghadapi banyak tantangan. Dalam hal ini pembina di lapas menjadi ujung tombak karena yang setiap hari bergaul dengan napiter. Merekalah yang paling bisa memahami dan memantau dinamika keseharian napiter.

Beberapa tantangan yang cukup berat adalah, si napiter memiliki keluarga dengan pemahaman radikal yang sama, di penjara bersama dengan tokoh-tokoh kelompok teroris yang memiliki pemahaman lebih ekstrem, dan menerima layanan sosial dari para pendukungnya di luar penjara.

Pencapaian dan Tantangan Program Deradikalisasi

Dari tiga tantangan utama program deradikalisasi yang disebutkan di atas, ada satu yang relatif sudah teratasi. Yaitu pemisahan antara tokoh atau napiter dengan level pemikiran sangat ekstrem dengan napiter yang dengan level pemikiran di bawahnya.

Mereka yang dalam kategori sangat ekstrem ini akan ditempatkan di lapas high risk di Nusakambangan dengan sistem yang sangat ketat. Baik dari pengamanan maupun dalam pemberian hak dasar narapidana. Bisa dibilang merupakan lapas yang paling ‘sengsara’ di Indonesia. Pemisahan ini efektif untuk memutus proses saling mempengaruhi antara napiter.

Tetapi ada dua tantangan lain yang belum teratasi, yaitu keluarga yang memiliki paham yang sama dan adanya layanan sosial yang diterima dari para pendukungnya di luar penjara. Dua hal ini selalu berkaitan erat, karena syarat menerima layanan sosial dari pendukungnya adalah memiliki paham yang sama.


BACA JUGA: Menyoal Program Deradikalisasi Setelah Bom Bunuh Diri Mengguncang Bandung

Penderitaan di dalam penjara high risk boleh jadi mempengaruhi pemikiran si napiter. Tetapi bisa jadi dia belum siap menerima konsekwensi jika dirinya mengikuti program deradikalisasi. Anak dan istrinya akan diputus dari layanan sosial dari pendukungnya, atau bahkan tidak jarang ada yang takut istrinya minta cerai karena dirinya telah ‘murtad’ sebab mengikuti program deradikalisasi.

Ada sebuah contoh kasus yang saya saksikan sendiri. Dulu di lapas ada seorang kawan napiter yang cukup aktif menyebarkan pahamnya, sehingga oleh pihak lapas diajukan agar dipindahkan ke lapas high risk di Nusakambangan. Lima bulan setelah bebas dari lapas high risk Nusakambangan, saya dengar dia ditangkap polisi lagi bersama sekelompok terduga teroris lainnya.

Selama di lapas bersama saya dulu dia memang seringkali menerima besukan dari pendukungnya. Dalam sepekan bisa 2-3 kali menerima besukan. Rupanya selama dia di Nusakambangan, para pendukungnya ini tetap rajin memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggal. Dan ketika bebas dia diminta untuk menjadi ‘ustaz pembimbing’ di kelompoknya. Ketika kelompok yang dibimbingnya terungkap ingin melakukan aksi teror, dia ikut ditangkap (lagi).

Lalu bagaimana mengatasi dua tantangan besar yang belum teratasi ini?

Sudah sepatutnya program deradikalisasi juga dilakukan kepada keluarga yang ditinggalkan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Masyarakat harus bisa menjadi lingkungan alternatif yang bisa mengatasi persoalan sosial yang dihadapi keluarga yang ditinggalkan. Kehadiran masyarakat sekitar yang hadir lebih cepat dari para pendukungnya dalam membantu kesulitan keluarga yang ditinggal napiter, perlahan-lahan akan mempengaruhi pikirannya.

Harapannya ketika keluarga di rumah sudah bisa dikendalikan, selanjutnya bisa mendorong agar napiter yang bersangkutan berpikir ulang dan selanjutnya mau mengikuti program deradikalisasi secara sukarela. Sehingga bisa segera kembali berkumpul dengan keluarga dan kembali ke masyarakat dalam kondisi yang lebih baik dan bisa melepaskan diri dari kelompok lamanya. (*)

Komentar

Tulis Komentar