Menyoal Program Deradikalisasi Setelah Bom Bunuh Diri Mengguncang Bandung

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Peristiwa bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung pada 7 Desember 2022 yang lalu mengalihkan sejenak perhatian masyarakat dari pemberitaan tentang bencana alam dan piala dunia. Pelaku yang kemudian diketahui dilakukan oleh mantan narapidana teroris (napiter) itu membuat berbagai pihak mempertanyakan program pembinaan yang dilakukan pemerintah pada para mantan napiter.

Sejak sore hari pasca-terjadinya bom bunuh diri itu hingga Minggu (11/12/2022) sore, saya melayani 4 sesi wawancara dengan jurnalis dari 4 media yang berbeda. Semuanya menanyakan seputar efektivitas program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah beserta permasalahan dan tantangannya. Para jurnalis itu menginginkan penjelasan dari sudut pandang saya sebagai mantan napiter yang dianggap sukses melakukan reintegrasi sosial.

Ada beberapa pertanyaan inti dari para jurnalis tersebut yang ingin saya rangkum jawabannya pada tulisan kali ini. Agar bisa menjadi rujukan bagi semua pihak yang menginginkan penjelasan dari pertanyaan serupa. Semoga bermanfaat.

1. Apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam membina para napiter dan mantan napiter?

Selama ini, kami para mantan napiter menerima dua jenis pembinaan dari pemerintah. Yaitu pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan pembinaan di luar lapas.

Pembinaan di dalam Lapas diberikan ketika kami masih menjalani pidana yang meliputi bimbingan (konseling) psikologi, penguatan wawasan kebangsaan, re-edukasi terkait pemahaman agama, dan pelatihan keterampilan bagi napiter yang memenuhi syarat.

Sedangkan pembinaan di luar lapas kami terima ketika kami telah keluar dari lapas, yang meliputi penguatan wawasan kebangsaan, pelatihan usaha, dan akses mendapatkan bantuan modal usaha.

2. Apa kendala program pembinaan pemerintah pada para napiter dan mantan napiter?

Secara umum, program pembinaan baik yang di dalam lapas maupun di luar lapas adalah program yang bersifat pilihan. Boleh ikut dan bisa tidak ikut. Tidak ada sanksi. Yang ada hanya tidak bisa mendapatkan akses pada program pemerintah selanjutnya.

Pada napiter yang tidak mengikuti program pembinaan di dalam lapas ia hanya akan dicabut haknya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Tetapi ketika masa pidananya telah habis tanpa remisi ia tetap akan bebas demi hukum. Tidak ada penambahan masa hukuman bagi yang menolak program pembinaan.

Kemudian untuk pembinaan mantan napiter di luar lapas, bagi yang tidak mengikuti hanya tidak bisa mendapatkan akses bantuan pemerintah berupa pelatihan-pelatihan keterampilan maupun modal usaha dan lain-lain.

Tidak semua mantan napiter yang dulunya mengikuti program pembinaan di dalam lapas ketika bebas lalu ikut program pembinaan di luar lapas dengan berbagai alasan. Ada yang memang tidak memerlukan bantuan pemerintah karena mampu secara mandiri dan ingin lebih leluasa. Atau trauma dengan aturan-aturan birokrasi yang akan membangkitkan kekecewaan baru. Karena tidak sedikit yang ikut program pembinaan di dalam lapas tapi kecewa dengan lambatnya proses birokrasi untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Bagi yang kecewa seperti ini biasanya sudah mencukupkan diri dengan pembinaan di dalam lapas dan berterimakasih telah mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat.

Namun ada juga yang ketika di dalam lapas tidak mengikuti program pembinaan, tapi ketika sudah keluar mengikuti program pembinaan di luar lapas. Biasanya yang seperti ini karena mendapati kekecewaan pada kelompok lamanya yang tidak bisa membantu mengatasi persoalannya setelah dia bebas.

3. Apakah pemerintah bisa disebut gagal atau kecolongan dalam pengawasan dan pembinaan mantan napiter?

Tidak sesederhana itu persoalannya. Karena berubahnya seseorang itu dia sendirilah yang menentukan. Banyak faktor yang bersifat sangat personal yang mempengaruhinya. Ditambah lagi bila di dalam lapas tidak mau mengikuti pembinaan tidak ada paksaan. Hanya dia kemudian tidak dapat remisi dan tidak bisa mengajukan pembinaan bersyarat. Apalagi ketika sudah bebas, lebih banyak pilihan lainnya.

Kemudian jika dibilang gagal juga tidak, karena banyak juga penangkapan dalam rangka pencegahan yang di antara tersangkanya ada mantan napiter juga. Tetapi memang semua upaya itu pasti ada celah kekurangannya. Dan yang perlu diingat, teroris selalu mencari dan memanfaatkan celah kekurangan itu.

4. Kira-kira apa penyebab seorang mantan napiter kembali melakukan tindak pidana terorisme setelah bebas dari penjara?

Saya memiliki 7 orang teman mantan napiter yang menjadi residivis kasus terorisme. Melihat dari kesemua teman saya yang jadi residivis kasus terorisme itu, menurut saya hanya ada dua sebab yang paling umum melatarbelakanginya, yaitu : karena belum puas atau karena ditokohkan di kelompoknya.

Golongan yang belum puas itu kemudian kembali ke kelompok lamanya untuk mendapatkan dukungan. Masih ingin kembali ke kelompok lama berarti belum puas kan? Masih ada yang belum selesai. Masih ingin melanjutkan sehingga perlu mendapatkan dukungan.

Sebab yang kedua adalah karena si mantan napiter itu ditokohkan di kelompoknya.

Seorang napiter yang ketika di penjara keluarganya mendapatkan santunan dari para simpatisan dan pendukungnya, ketika bebas akan sulit menolak ajakan atau melepaskan ikatan dari kelompok lamanya. Mereka merasa menjadi sosok yang berarti. Menjadi sosok yang dihormati. Menjadi sosok yang dielu-elukan. Padahal amal (prestasi)nya sedikit. Inilah yang dimaksud dengan ditokohkan.

Ketika sudah bebas, mereka tidak akan bisa menolak dan boleh jadi malah senang ketika ditawari untuk mengisi majelis taklim di kalangan pendukungnya. Atau menjadi mentor bagi generasi baru yang akan melanjutkan ‘jalan perjuangan’ mereka sebelumnya. Apalagi jika ditambah dengan adanya fasilitas kemudahan finansial.


BACA JUGA: Tipe-Tipe Napiter Setelah Bebas

Orang yang baru bebas, tidak punya modal, tidak tahu kondisi lapangan pekerjaan, sementara terdesak akan kebutuhan hidup, akan cenderung lebih mudah lagi menerima tawaran-tawaran itu.

Di antara mereka ada yang diminta mengajari cara membuat bahan peledak. Ada yang diminta menjadi motivator bagi calon pelaku aksi. Ada juga yang diminta mencarikan personel tambahan untuk sebuah aksi yang sedang dirancang.

Para pakar terorisme boleh berteori tentang sebab-sebab seseorang menjadi teroris atau kembali menjadi teroris. Tapi inilah yang saya temukan selama bergaul dengan para pelaku tindak pidana terorisme.

5. Bagaimana sebaiknya program pembinaan mantan napiter di masa depan?

Memperluas kolaborasi dengan semua elemen masyarakat dan lembaga non pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan mantan napiter. Memperluas edukasi masyarakat agar masyarakat semakin peduli dan terlibat aktif dalam pencegahan radikalisme-terorisme. Karena sebenarnya terorisme itu lahir di tengah-tengah masyarakat, maka ujung tombak pencegahan juga seharusnya ada pada masyarakat.

Tetapi tantangan terbesarnya adalah kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) serta sistem birokrasi dan anggaran terkait kebijakan pembinaan mantan napiter. Namun setidaknya, dari kacamata saya sebagai mantan napiter, dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan meskipun oleh sebagian pihak dianggap masih kurang signifikan peningkatannya. (*)

Komentar

Tulis Komentar