Kisah Bambang Sugianto, “Pawang” Para Napiter di Lapas Kelas I Surabaya

Tokoh

by Eka Setiawan

Menjadi “pamong” bagi narapidana terorisme (napiter) di dalam penjara bukan pekerjaan mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Memposisikan diri sebagai sahabat, teman bercerita, memberikan mereka perhatian dan satu lagi tak kalah penting jangan pernah terang-terangan kontra dengan pemikiran mereka, bisa jadi jurus jitu merangkul para napiter.

“Kami nggak pernah adu dalil dengan mereka,” kata Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan (Kasi Bimkemas) Lapas Kelas I Surabaya alias Lapas Porong Bambang Sugianto, via telepon dengan ruangobrol.id, Kamis (8/12/2022) menjelang sore.

Tangan dingin Bambang, memberikan dampak besar bagi perubahan perilaku para napiter. Tentunya, dia tidak bekerja sendirian, berkoordinasi dengan otoritas terkait ataupun berbagi cerita dengan individu-individu yang punya kompetensi di bidang itu dia lakukan. Semuanya dilakukan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk nantinya dia gunakan untuk merangkul si napiter.

Sebut saja nama kondang macam Umar Patek, terpidana terorisme 20 tahun, bertahun-tahun dia sentuh. Umar Patek adalah pentolan organisasi atau kelompok Jamaah Islamiyah (JI), organisasi yang bertanggungjawab atas serangkaian aksi teror di Indonesia, di antaranya serangkaian pengeboman Malam Natal tahun 2000 hingga Bom Bali I Tahun 2002 dengan korban tewas ratusan orang.

Umar Patek, pria kelahiran Pemalang Jawa Tengah, punya nama asli Hisyam. Pada Rabu 7 Desember 2022 kemarin baru saja bebas penjara dari Lapas Porong setelah mendapatkan pembebasan bersyarat. Bambang bersama tim, termasuk aparat Identifikasi Sosialisasi (Idensos) Densus 88/Antiteror, juga mengantarkan kepulangannya.

(Baca juga: Umar Patek Bebas Bersyarat)

Bambang menyebut Umar Patek dipindahkan ke Lapas Porong dari penahanan Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok pada Maret 2014. Setahun kemudian, Umar Patek menyatakan ikrar setia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dikatakan Bambang, Umar Patek bercerita tentang penyesalan perbuatannya hingga merasa berhutang budi kepada negara. Dia merasa diperlakukan sangat baik saat ditangkap di Pakistan tahun 2011 hingga dipulangkan ke Indonesia.

“Apa yang dilakukan pemerintah ternyata sangat manusiawi, tidak seperti yang digembar-gemborkan,” lanjut pria yang telah belasan tahun mengabdi di profesinya itu.

Berangkat dari situlah, salah satunya, Umar Patek akhirnya menyatakan kesetiaannya kepada NKRI. Tidak lagi menjadi musuh negara. Aktivitasnya ketika dalam penahanan, selain kerap menjadi pengibar bendera Merah Putih juga berdagang sate ayam. Bambang menyebut Umar Patek adalah pribadi yang senang memasak.

“Suka guyonan. Guyonannya Umar Patek ini sering menyebut dirinya asli Timur Tengah, alias Jawa Timur dan Jawa Tengah. Karena saudara-saudaranya banyak sekali di sana,” sambung Bambang.


[caption id="attachment_14725" align="alignnone" width="1280"] Umar Patek (bawah kiri) di Lapas Kelas I Surabaya[/caption]

Banyak kelompok

Pada pengabdiannya, Bambang menemui napiter-napiter lain di lapas tempatnya bekerja. Semuanya diajak berkomunikasi dengan baik, termasuk yang sudah bebas penjara pun masih aktif berkomunikasi dengan Bambang, sekadar berbagi cerita.

Para napiter yang ditemui Bambang berangkat dari berbagai kelompok. Seperti; kombatan konflik Ambon, kelompok JI, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) hingga Jamaah Anshor Daulah (JAD), kelompok lokal Indonesia yang berafiliasi dengan kelompok teror ISIS.

Saat ini di Lapas Porong ada 5 napiter. Dua di antaranya adalah Asep Jaya dan Ismail, berangkat dari kelompok KOMPAK (sayap JI) kasus konflik Ambon, hukuman mereka seumur hidup.
Tiga lainnya adalah Muliamin Supardi (JAD Medan), Slamet Rudhu dan Muhammad Subkhan keduanya dari kelompok JAD Batang. Tiga napiter ini pada 14 Januari 2022 dipindahkan ke Lapas Porong dari penahanan Rutan Cikeas Bogor. Sekira sebulan kemudian, tepatnya 18 Februari 2022 mereka menyatakan ikrar NKRI.

“Kelimanya sudah ikrar NKRI,” ucapnya.

Nama-nama lain yang pernah dia sentuh di antaranya, Anton Labase residivis yang sudah bebas dan kembali ke Sulawesi, Khasim yang kini sudah bebas berada di Magelang hingga Riyanto. Nama terakhir ini bebas murni, tidak mau menyatakan ikrar NKRI.

“Kami masih berkomunikasi. Intinya identifikasi dulu, kasusnya, jaringannya, keterlibatannya, bagaimana keluarganya. Dari identifikasi itu nanti baru ketemu pintu masuk untuk pendekatannya. Intinya bangun komunikasi untuk membina hubungan kemudian timbul trust (rasa saling percaya). Kalau sudah ada trust masuknya lebih gampang,” tutup Bambang.

Komentar

Tulis Komentar