Belajar Toleransi dan Kebersamaan dari Pekuburan

Analisa

by Munir Kartono

Rabu, 5 Oktober 2022, menjadi salah satu hari berkabung bukan hanya bagi saya melainkan bagi seluruh rekan-rekan para "Pejuang Damai". Karena di hari itu kami kehilangan rekan, senior sekaligus mentor yang meninggal. Dia adalah Machmudi Hariono alias Yusuf.

Kami biasa menyebut Yusuf dengan sapaan akrab “Pak Ucup”. Dia bukan hanya sosok pejuang damai, tapi juga berjasa membawa Yayasan Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) Semarang. Di organisasi ini, Pak Ucup dipercaya sebagai ketua. Bersama rekan-rekan eks narapidana terorisme (Napiter), dia telah banyak melakukan hal positif.

Pak Ucup bersama Persadani konsisten membantu pemerintah melakukan edukasi tentang bahaya radikalisme – terorisme. Dia juga membantu para ikhwan-ikhwan dalam reintegrasi sosial di masyarakat, hingga membuat sentra usaha bersama para eks Napiter.

Namun dikarenakan jarak tempat tinggal saya jauh—saya tinggal di Bogor, Pak Ucup di Semarang—pun terlambat untuk menghadiri prosesi pemakaman. Saya hanya bisa bertakziah ke keluarganya dan ziarah ke makam beliau keesokan harinya.

Saat saya tiba bersama rombongan di gerbang pemakaman Sasana Loyo di Gisik Drono Semarang, tampak sebuah gerbang berteralis sederhana yang tidak bisa dilalui kendaraan. Di sekitar makam cenderung terlihat kumuh. Jarak antar pusara begitu berhimpitan.

[caption id="attachment_14109" align="alignnone" width="768"] Gerbang Makam Sasana Loyo Gisik Drono Semarang, tempat peritirahatan terakhir Mahmudi Hariono alias Yusuf. (Foto Munir Kartono)[/caption]

Ketika sedang melangkah di sela-sela batu nisan makam untuk menuju tempat peristirahatan terakhir Pak Ucup, saya mendapati pemandangan yang janggal. Saya melihat sebuah makam bernisan salib tampak berdampingan rapat dengan makam lain yang bertulis kalimat Tauhid atau kalimat “Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un” di nisannya.

Awalnya saya pikir mungkin ini karena satu keluarga saja. Tapi ternyata makin ke dalam area pemakaman, keragaman ini kian banyak terjadi dan membuat saya heran. Saya menyampaikan keheranan saya pada rekan-rekan lain yang membersamai saya saat itu. Namun bagi mereka yang berdomisili di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, katanya pemandangan tersebut sudah biasa. Namun bagi saya yang berasal dari wilayah lain di Pulau Jawa, pemandangan yang tersaji justru luar biasa.

Saya yang sudah terbiasa melihat pengkhususan (baca: pemisahan) area pemakaman berdasarkan agama merasa bingung dengan apa yang terjadi. Di tempat saya tinggal, agama adalah sebuah hal yang sangat sensitif, termasuk untuk urusan pemakaman. Sehingga pemisahan area pemakaman berdasarkan agama seperti menjadi sebuah keharusan. Bahkan ini tidak hanya terjadi di Tempat Pemakaman Umum (TPU), pemakaman mewah, swasta dan bertarif tinggi pun melakukan pemisahan serupa, based on Agama!

BACA JUGA: Toleransi itu Penting gak sih?

Kemapanan nalar saya saat itu menjadi sangat terusik. Apakah tidak cukup keyakinan menjadi pembeda antar urusan individu (privat) saat lahir dan hidup di dunia? Perlukah keyakinan juga menjadi batasan hingga di liang lahat, sampai pekuburan pun disekat-sekat? Apakah orang yang hidup khawatir akan terjadi perang antar agama di bawah permukaan bumi sana? Jika keragaman adalah ciptaan Tuhan, lantas mengapa kita yang juga ciptaan justru membeda-bedakan?

Terima kasih Pak Ucup telah memberikan saya sebuah kegelisahan baru. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik buatmu di sisi-Nya. (*)

Komentar

Tulis Komentar