Fakta Terorisme bukan Monopoli Satu Agama

Review

by Abdul Mughis

Membicarakan isu terorisme dan radikalisme di Indonesia seringkali muncul narasi “Islam”. Setiap kejadian teror seakan-akan “berwajah” Islam. Itu sebuah kesimpulan yang salah kaprah.

Apabila menilik berbagai kasus terorisme maupun radikalisme di dunia, maka akan ditemukan bahwa terorisme maupun radikalisme bukan mengatasnamakan satu agama. Tetapi terorisme beririsan dengan hal yang bersifat keyakinan.

Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 Irjen Pol. Marthinus Hukom membeberkan bagaimana fenomena terorisme yang terus berkembang itu. “Terorisme bukan monopoli satu kelompok,” terangnya dalam kuliah umum bertema Spektrum Ancaman Terorisme di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI), Selasa (20/9/2022).

Dikatakannya, terorisme bukan mengatasnamakan satu agama. Tapi terorisme beririsan dengan hal yang bersifat keyakinan.


Karena terorisme bukan sekadar perilaku, tapi sebuah proses pemikiran yang menumpuk menjadi suatu kesadaran dan terproyeksi menjadi perilaku,” katanya.


Marthinus menjelaskan, terorisme terjadi tidak terlepas dari pemikiran. Kalau membicarakan pemikiran, maka akan mengenal istilah radikalisme. “Dari radikalisme inilah yang kemudian melahirkan terorisme. Pemikiran itu masuk ke dalam kesadaran, kemudian menjadi perilaku,” beber dia.

Dia mengutip pendapat tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Said Aqil Siradj tentang definisi ‘Islam Radikal’. “Kiai Said Aqil Siradj, mengatakan bahwa ‘Islam Radikal’ adalah orang Islam yang mempunyai pemikiran kaku dan sempit dalam memahami Islam. Bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya. Kelompok radikal ini ada di agama mana pun. Termasuk agama Islam, kata beliau,” sebut Kadensus.

Artinya, radikal bisa saja terjadi pada seseorang di agama apapun. “Jadi, tolong kata “Islam” diganti dengan agama masing-masing. Jika saya “Kristen”, saya akan mengatakan “Kristen Radikal”, yakni orang Kristen yang mempunyai pemikiran kaku dan sempit dalam memahami kekristenannya, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lain,” bebernya.

Menurutnya, hal ini penting agar masyarakat tidak terseret dalam konflik yang berusaha ditarik ke satu sisi. "Yang seakan-akan terorisme itu hanya monopoli satu kelompok,” imbuh dia. 

Kepala Densus menunjukkan sejumlah fakta sejarah peristiwa teror di dunia yang pelakunya memiliki latar belakang agama berbeda-beda.

Kelompok Teroris Aum Shinrikyo

Sejarah mencatat fenomena kelompok teroris bernama Aum Shinrikyo atau Kebenaran Agung. Kelompok ini didirikan oleh Ashara Suko pada 1984 di Jepang. Ashara Suko juga dikenal sebagai pemimpin Sekte Hari Kiamat. Dia beragama Sinto, perpaduan ajaran Buddha dan Hindu, juga menambahkan elemen penghakiman Kristen.

Sekte Aum Shinrikyo ini mampu menarik ribuan pengikut di sejumlah negara di dunia. Bahkan di Jepang sempat mendapat status organisasi keagamaan pada 1989. Ashara Suko membawa sebuah ramalan mengenai hari kiamat dan kehancuran nuklir. Mereka mempercayai akan terjadi perang dunia ketiga.

Dia menggunakan istilah "Armageddon" yang ia ambil dari Kitab Wahyu. Maka Aum Shinrikyo ini menyebarkan "firman keselamatan" dan membawa misi “bertahan hidup di masa-masa akhir".

“Untuk menghadapi perang besar itu harus menciptakan masyarakat ideal. Dia merekrut orang untuk masuk ke komunitas ini. Yang tidak mau ikut diserang,” kata Marthinus.

Aum Shinrikyo di antaranya pernah melakukan serangan gas saraf mematikan di kereta bawah tanah di Tokyo pada 1995. Aksi teror itu menewaskan 13 orang dan ribuan orang terluka.

“Fenomena seperti ini ada di Indonesia,” kata Kepala Densus.

Kelompok Poeple Temple Full Gospel Church

Kelompok militan Kristen “Peoples Temple” didirikan oleh seorang pendeta bernama Jim Jones. Ia dikenal sebagai pendeta karismatik yang membawa narasi kesetaraan ras. Jones juga memainkan narasi tentang perlawanan terhadap gerakan apharteid (sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan pada sekitar awal abad ke-20).

Mereka mengangkat isu Hari Kiamat. Bahwa akan datang akhir zaman. Para pengikutnya dikumpulkan dan mengeksklusifkan diri. Mereka diusir oleh komunitas warga lain, hingga mereka berpindah-pindah. Pada 1965, Jones memindahkan kelompoknya ke California Utara. Setelah tahun 1971, mereka pindah ke San Francisco.

“Kita lihat fenomenanya. Untuk menghadapi akhir zaman ini, mereka meyakini harus menciptakan komunitas masyarakat yang ideal,” terang Marthinus.

Ketika hari kiamat itu tidak kunjung datang, lanjut dia, kelompok ini menciptakan akhir zaman sendiri dengan memerintahkan seluruh pengikutnya untuk bunuh diri massal.

“Ini radikal. Tapi mereka menyerang diri sendiri,” kata Marthinus.

Ratusan anggota Peoples Temple di Jonestown mati dalam peristiwa bunuh diri massal di Amerika Serikat pada 1978 itu. Tidak kurang 909 orang tewas setelah meminum racun sianida.

Penghancuran Masjid Babri

Penghancuran Masjid Babri terjadi pada 1992 di Kota Ayodhya India. Sebuah konflik antara kelompok Muslim dengan Hindu yang dipicu adanya perebutan tempat sejarah.  Mereka saling klaim. Kelompok Muslim meyakini bahwa masjid itu didirikan pada 1500-an. Sedangkan kata pihak kelompok Hindu, situs ini merupakan tempat lahirnya Dewa Rama.

“Orang muslim mempertahankan masjid itu karena telah berdiri sejak ratusan tahun. Terjadi konflik hingga akhirnya menjadi teror,” ungkap Marthinus.

Konflik ini terus memanas hingga terjadi penghancuran masjid oleh kelompok Hindu.  Buntut dari konflik ini mengakibatkan kerusuhan selama beberapa bulan antara komunitas Hindu dan Muslim di India hingga menyebabkan kematian sedikitnya 2000 orang. Kekerasan pembalasan terhadap umat Hindu juga terjadi di Pakistan dan Bangladesh.

Serangan Bom Timothy McVeigh

Insiden pengeboman di Gedung Federal Oklohama City 1995 tercatat menjadi salah satu serangan teroris terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. Pelaku pengeboman itu adalah Timothy McVeigh, seorang veteran angkatan bersenjata Perang Teluk.

Dia mengklaim tindakannya tersebut sebagai bagian aksi balas dendam atas serangan pemerintah federal pada April 1993 di Waco Texas—yang mengakibatkan banyak korban tewas, sebagian besar adalah pengikut David Koresh.

Timothy merupakan pengikut David Koresh. Dia beragama Kristen,” kata Kepala Densus.


Timothy menganggap pembantaian di Waco adalah tindakan pemerintah yang lepas kendali, sehingga ia memutuskan untuk melakukan pembalasan terhadap aksi kejahatan tersebut.

Tepatnya pada 19 April 1995, Timothy McVeigh mengendarai sebuah truk bermuatan 2 ton bahan peledak. Bahan peledak tersebut dibuat oleh Timothy sendiri dari pupuk dan bensin. Ia mematikan mesin truk di depan Gedung Federal, lalu turun dari truk dan  berjalan dengan santai menjauhi truk. Dia juga telah mempersiapkan tutup telinga untuk melindungi dari suara ledakan yang sangat dahsyat. Tak lama kemudian ledakan itu mengakibatkan bagian depan Gedung Federal hancur. Sedikitnya 168 orang tewas dan 500 orang mengalami luka-luka.

Militan Kristen “Army Of God”

Sejarah aksi teroris di Amerika Serikat mencatat adanya kelompok militan Kristen bernama Army of God (AOG). Salah satu tokohnya adalah Paul Hill.

Dia adalah seorang pendeta Kristen yang membawa pemikiran anti aborsi,” terangnya.


Mereka menentang keras praktik aborsi dan homoseksual. Mereka kemudian membuat aksi teror dengan cara menyerang dan pengeboman klinik aborsi. “Dia menyuruh untuk membunuh seluruh dokter yang melakukan aborsi,” beber Marthinus.

Aksi teror itu di antaranya terjadi pada 1986, ketika itu kelompok Army of God ini mengebom klinik milik dr. George Tiller. Sebuah klinik yang diduga melayani praktik aborsi. Pada 1993, Tiller dibunuh dengan cara ditembak oleh kelompok Army of God ini.

“Doktrin yang dibawa bahwa dokter (yang melakukan aborsi) tidak punya kewenangan mengambil hidup satu orang pun. Kemudian, Army of God mengaku melaksanakan otoritas untuk mengambil hidup (dokter) tersebut atasnama tuhan,” katanya.

Serangan Teror Brenton Tarrant

Serangan teror yang dilakukan Brenton Tarrant terjadi di Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019. Insiden tersebut menewaskan kurang lebih 51 orang.

Pada sejumlah senjata api dan magazin yang dibawa ke Christchurch, Tarrant menulis berbagai nama dan tanggal yang merujuk pada tokoh dan peristiwa bersejarah. Di antaranya Perang Salib. Simbol yang digunakan oleh anggota SS Nazi dari Latvia, Hongaria, Estonia, dan Norwegia.

“Dia membawa ajaran White Supremacy (kelompok radikal teroris warga kulit putih). Kelompok ini ingin mengembalikan kejayaan Perang Salib. Mereka kemudian menyerang masjid,” katanya.

Theodore J Kaczynski Lone Wolf (Eco Terorrism)

Kelompok teror ini melakukan sedikitnya 16 pengeboman terhadap beberapa universitas dan maskapai penerbangan di Amerika pada 1978-1995. Mereka menolak modernitas dan simbol-simbol teknologi.

“Kelompok ini meyakini bahwa ketika teknologi terus berkembang, maka akan berujung malapetaka. Ini menjadi konsep manajemen teror,” katanya.

Karena teknologi tidak dapat dikontrol, lanjut Marthinus, maka mereka meyakini bahwa kondisi ini harus direvolusi. “Mereka kemudian menyerang semua simbol-simbol teknologi atau modernitas. Misalnya bandara, universitas, semua diserang,” katanya.

Menurutnya, ini menunjukkan bahwa terorisme tidak berdasarkan agama, tetapi cara berpikir. “Mereka merupakan kelompok konservatif yang tidak ingin masuk dalam modernitas. Theodore berpikir bahwa teknologi membuat manusia lupa terhadap nilai-nilai,” katanya.

Dalam kasus terorisme, Kepala Densus menjelaskan bahwa korban harus bersifat simbolik. “Misalnya ada seseorang menyerang saya—secara pribadi, itu bukan simbolik. Tapi ketika orang itu menyerang saya sebagai simbol penegakkan hukum, itu simbolik. Untuk apa? Untuk menakut-nakuti polisi di seluruh Indonesia ini. Supaya memberhentikan upaya penegakkan hukum terhadap teroris,” katanya.  (*)

Komentar

Tulis Komentar