PPATK Sebut 21 Lembaga Filantropi Terkait Jaringan Teror

News

by Abdul Mughis

Karyawan perusahaan dimanfaatlkan untuk mengumpulkan donasi rutin. Ternyata dananya disalahgunakan untuk jaringan teror.


Mencuatnya kasus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang sempat mengejutkan publik beberapa waktu lalu, membuat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk terus mewaspadai transaksi terselubung mengenai pendanaan terorisme berkedok yayasan.

Hingga saat ini, PPATK mencatat ada 21 lembaga filantropi atau Non-Profit Organization (NPO) yang dicurigai terkait jaringan kelompok teror. Meski demikian, PPATK tidak menyebut secara rinci nama-nama lembaga tersebut.

“Yang ada dalam daftar tercatat 21 NPO. Ini sudah kami amati ada kaitan dengan organisasi jaringan teror,” ungkap Direktur Hukum dan Regulasi PPATK, Fithriadi Muslim, dalam Diskusi publik secara hybrid, offline dan online via zoom bertema “Edukasi pencegahan pendanaan terorisme melalui lembaga filantropi keagamaan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme (PRIK-KT) Universitas Indonesia (UI), Kamis, 8 September 2022 lalu.

Fithriadi menjelaskan, dengan adanya temuan 21 NPO tersebut, artinya, selanjutnya akan dilanjutkan dengan langkah penegakan hukum.

Nanti juga akan ada tindakan dari penegak hukum. Misalnya mereka punya rekening di bank akan dilakukan pemblokiran,” ujarnya.


Dia menjelaskan, secara legal formal, aktivitas NPO yang memuat perbuatan menyediakan, mengumpulkan, memberikan, meminjamkan, atau mendonasikan uang. Baik diberikan kepada individu maupun organisasi untuk mendukung aksi terorisme, baru dinyatakan sebagai tindak pidana sejak adanya Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2013.

“NPO seperti apa yang bisa dipidana? Yakni lembaga NPO—baik perorangan, organisasi, maupun yayasan—yang melakukan perbuatan menyediakan, mengumpulkan, memberikan, meminjamkan dana untuk kegiatan terorisme. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Itu bisa dipidana,” katanya.

Apa perbedaan sumber dana Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan pendanaan terorisme? Fithriadi menjelaskan bahwa TPPU, sumber dananya bisa dipastikan berasal dari “dana haram” seperti korupsi, penipuan, narkotika, dan lain-lain.

“Sedangkan sumber pendanaan kegiatan terorisme bisa berasal dari “dana halal” (sumber sah) maupun “dana haram” (sumber tidak sah). Misalnya ada seseorang yang berprofesi dokter, kemudian uang yang diperoleh dari hasil praktik tersebut ternyata disalurkan untuk kegiatan terorisme. Itu bisa dipidana,” terang dia.

BACA JUGA: Tantangan Memutus Mata Rantai Pendanaan Teror

Mengenai penilaian risiko terkait pendanaan terorisme, lanjut dia, ada tiga isu yang disoroti, yakni penghimpunan, perpindahan dana (moving) dan penggunaan dana. Sedangkan mengenai modus pendanaan terorisme, yakni dilakukan melalui NPO, hasil kriminal, dan hasil bisnis.

Berdasarkan pemantauan PPATK, sejak 2015 hingga 2021, modus pendanaan terorisme didominasi menggunakan pola NPO atau lembaga filantropi. Ini paling berisiko tinggi,” katanya.


Ancaman Baru Pendanaan Terorisme

Hal yang patut diwaspadai, lanjut Fithriadi, saat ini muncul ancaman baru (Emerging Threat) terkait tindak pidana pendanaan terorisme. Pertama, tindak pidana pendanaan teror yang dilakukan korporasi atau perusahaan. Kedua, Narcoterrorism, yakni penggabungan narkotika dan terorisme. Ketiga, penggunaan virtual asset seperti cryptocurrency. Keempat, penyalahgunaan pinjaman online (peer to peer lending) atau sering disebut Pinjol.

“Pendanaan teror yang dilakukan korporasi misalnya di suatu perusahaan tersebut mendorong karyawan mengumpulkan sumbangan atau donasi rutin untuk kepentingan syariat seperti infaq dan sedekah. Ternyata dana tersebut disalahgunakan oleh korporasi untuk jaringan teror. Tapi memang ini jumlahnya tidak banyak,” bebernya.

BACA JUGA: Jejak Kecerdikan Para Wijayanto Mengubah Taktik JI

Dia menyebut, PPATK mendorong regulasi Peraturan Presiden (Perpres) pada 2017 untuk memitigasi risiko, yakni meminta NPO atau lembaga filantropi untuk mengenali siapa yang menyumbang.

“Ketika NPO akan menyalurkan dana, Perpres itu juga meminta agar mengenali siapa yang menerima sumbangan. Kami sudah punya Perpres Nomor 18 Tahun 2017,” katanya.

BACA JUGA: Neo Fa’i Kelompok Teror Incar Bank dan BUMN  

Sebagai langkah preemtif, lanjut Fithriadi, PPATK telah memiliki sistem aplikasi atau Platform Pertukaran Informasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (SIPENDAR).

“Kami mendorong industri keuangan seperti bank-bank. Mereka memiliki kewajiban sesuai Undang-Undang (UU) TPPU, untuk melakukan pemantauan transaksi nasabah apabila terindikasi ada kaitan dengan jaringan teror. Sebelum mereka melakukan aksi, kami hadang dulu di depan. Sumber-sumber keuangan dibatasi. Sehingga aksi terorisme bisa ditekan sedemikian rupa,” ujarnya. (*)

Komentar

Tulis Komentar