Pengusung Ideologi Khilafah Ubah Identitas Kelompok

News

by Eka Setiawan

Kelompok-kelompok yang mengusung ideologi khilafah hari ini masih eksis dengan mengubah identitas kelompoknya. Mereka bertransformasi sedemikian rupa, salah satunya pasca-dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan mereka makin nyata di dunia maya dengan jargonnya; khilafah adalah solusi segala persoalan yang terjadi di Indonesia.

“Identitasnya berubah tetapi mengusung ideologi yang sama,” ungkap Kepala Subdirektorat IV Direktorat Intelijen Keamanan Polda Jawa Tengah, AKBP Kelik Budi Antara, Senin (11/7/2022) di Hotel Griya Persada, Kabupaten Semarang.

Kelik mengemukakan itu saat kegiatan “Dialog Kebangsaan tentang Upaya Pencegahan Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme Melalui Peran Ormas Keagamaan se-Jawa Tengah”. Peserta kegiatan itu seratusan orang, di antaranya dari Yayasan Gema Salam, Yayasan Persadani, Paguyuban Podomoro, Paguyuban Bahurekso, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), GP Ansor, Nahdlatul Ulama Jawa Tengah, Muhammadiyah Jawa Tengah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Gerakan Pemuda Kakbah (GPK), hingga Khilataful Muslimin (KM).

Pihaknya, sebut Kelik, berharap ada kesamaan persepsi di antara warga Jawa Tengah, khususnya dari kalangan organisasi masyarakat (ormas) bahwa ideologi seperti itu berbahaya bagi kondusivitas masyarakat luas. Kelompok-kelompok intoleran, radikal bahkan mereka yang melakukan aksi teror, harus diwaspadai keberadaannya.

Tindakan hukum tentunya diambil sesuai dengan regulasi yang berlaku. Misalnya; untuk kelompok Khilafatul Muslimin di Jawa Tengah diambil tindakan karena mereka berkonvoi sambil mempropagandakan ideologi khilafah.

“Dari Januari hingga sekarang ada 6 tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 di Jawa Tengah, ada yang berasal dari Negara Islam Indonesia (NII) mereka sudah melakukan latihan militer, mempersiapkan logisik hingga pengumpulan dana,” lanjutnya.

Berdasar regulasi yang ada, sebut Kelik, yakni Undang-Undang nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hingga Peraturan Presiden nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE), ada 3 pilar utamanya. Masing-masing; pencegahan, kontra radikal dan deradikalisasi.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jawa Tengah, Haerudin, mengemukakan tidak mudah mengenali ideologi yang diusung kelompok-kelompok di masyarakat.

“Apakah itu intoleran, radikal atau terorisme,” ungkapnya.

Dia menyebut sejak negara ini dibentuk, para pendiri bangsa bersepakat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sebab itulah di Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 disebutkan “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”.

“Para pendiri bangsa ini notabene juga ada yang tokoh-tokoh agama dan juga guru-guru kita. Sudah sepakat dengan Pancasila, yang digali dari sumber keindonesiaan, agama, adat bahkan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Jadi kalau ada pertanyaan Pancasila bertentangan dengan agama? Jawabannya tidak, karena Pancasila juga digali dari nilai-nilai agama di Indonesia,” terangnya.

Di Jawa Tengah sendiri, pihaknya mengajak instansi terkait tak terkecuali masyarakat luas untuk bersama-sama menjaga iklim kondusif yang sudah terbangun. Ini juga, sebutnya, sesuai dengan misi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2018-2023 yakni membangun masyarakat Jawa Tengah yang relijius, toleran dan guyub untuk menjaga NKRI.

“Salah satu caranya moderasi beragama. Jawa Tengah sejak tahun 2011 ditetapkan sebagai benteng Pancasila, saat itu gubernurnya Pak Bibit Waluyo,” sambung Haerudin.

Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah, Prof. Syamsul Maarif, menyebut sifat toleransi harus dikembangan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

“Ciri khas negara kita adalah kesantunan, tidak keras di dalam berpendapat dan bermasyarakat, siap menerima saran dan masukan, tidak fanatik buta,” kata dia.

Syamsul menyebut salah satu yang perlu diwaspadai adalah era “post radikalisme”. Di mana bentuk-bentuknya terus berkembang, bertransformasi hingga sulit dideteksi.

Pada paparannya, dia menyebut ada 3 strategi kelompok radikal dalam menghancurkan Indonesia. Masing-masing; mengaburkan, menghilangkan bahkan menyesatkan sejarah bangsa; menghancurkan budaya dan kearfian lokal bangsa Indonesia dan mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA.

Pada kesempatan yang sama, Sofyan Tsauri, mantan anggota Polri yang juga mantan narapidana terorisme (napiter) mengingatkan khalayak akan bahaya kelompok-kelompok tersebut.

“Di hilir dilakukan penindakan oleh Densus 88, ada sekitar 3000 pelaku teror yang sudah ditangkap, awalnya mereka itu intoleran,” kata Sofyan yang pernah 13 tahun menjadi anggota Polri itu.

Deklarasi oleh para pimpinan Khilafatul Muslimin

Di akhir kegiatan, dilakukan pembacaan deklarasi oleh 3 orang pimpinan di Khilafatul Muslimin dan para peserta yang hadir. Masing-masing dari Khilafatul Muslimin adalah; Amir Ummul Quro Tegal Risno Abdul Malik (42), warga Kec. Pekuncen, Kab. Banyumas dan Kec. Bantarkawung, Kab. Brebes; Plt. Amir Wilayah Cirebon Raya Ust. Karyoto (50), warga Kec. Bumiayu, Kab. Brebes dan mantan Amir wilayah Jawa Tengah Ust. Muslih Rohmadi warga Kec. Ngadirejo, Kab. Wonogiri.

Isi deklarasinya; Akan setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI; Menolak organisasi yang berafiliasi dengan gerakan radikalisme, terorisme dan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan; Siap mendukung pemerintah untuk mewujudkan NKRI yang adil, aman dan damai.

 

 

Komentar

Tulis Komentar