Penyintas: Berdamai dengan Pelaku Teror agar Hidup Bahagia dan Tenang

News

by Eka Setiawan

Korban aksi teror di Indonesia punya trauma berbeda-beda. Ada yang trauma melihat tas punggung bahkan melihat nama hotel. Pada akhirnya waktu dan pilihan mereka memaafkan bisa jadi penyembuh trauma yang mujarab untuk ke depan menjalani hidup, meski dengan kondisi berbeda.

Hal itu terungkap pada testimonial film yang diputar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada kegiatan “Silaturahmi Kebangsaan Penyintas dan Mitra Deradikalisasi” di Kabupaten Semarang, Rabu 15 Juni 2022.

“Saya memaafkan karena ingin hidup bahagia dan tenang, sekarang sudah move on,” kata Fitri, salah satu korban Bom Kedubes Australia alias Bom Kuningan 2004, pada tayangan itu.

Dia mengemukakan, memaafkan para pelaku aksi teror adalah hal yang tidak mudah bagi para korban, termasuk dirinya. Mereka merasa kesakitan sekaligus ada amarah tersendiri kenapa ada tindakan kekerasan yang melukainya.

“Tetapi kalau tidak memaafkan, kita ibarat membawa sampah (kebencian) dalam diri kita, mari kita maafkan pelaku terorisme,” lanjut Fitri.

Pada tayangan itu juga Hendra, korban Bom Marriot tahun 2003, memberikan testimoninya. Saat kejadian, dia bekerja sebagai staf hotel setempat. Dia tak menyangka akan ada ledakan besar di hotel tempatnya bekerja.

“Saya sempat trauma melihat back pack, ransel atau bahkan melihat nama Hotel Marriot. Saat itu ada pendampingan dari psikologi Universitas Indonesia,” kata Hendra.

Seiring berjalannya waktu, terutama pilihan memaafkan para pelakunya, membuatnya semakin tenang dan menyembuhkan trauma.

“Penting bagi saya untuk orang bertanya apa yang saya alami, karena lewat itulah (bercerita) saya bisa keluarkan semuanya, ceritakan semuanya (sebagai bagian dari penyembuhan trauma). Saya selalu memaafkan apa yang terjadi, sudah memaafkan,” ungkap Hendra.

Di tayangan itu juga ada testimonial dari 2 orang mantan narapidana terorisme (napiter), yakni M. Saefudin alias Udin asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Roki Aprisdianto alias Atok asal Sukoharjo, Jawa Tengah. Udin ditangkap di Pakistan tahun 2003 silam, sementara Atok terlibat kasus bom di Klaten pada 2010, sempat kabur dari Rutan Polda Metro Jaya menyamar menjadi wanita mengenakan cadar.

Mereka berdua mengatakan hal senada; permintaan maaf sebesar-besarnya terutama kepada para korban dan ingin berusaha membantu agar tidak terjadi kasus serupa, agar tak ada lagi korban berjatuhan.

Pelaku juga “Korban”

Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, mengatakan ketika membicarakan tentang radikalisme terorisme, tentu menyangkut banyak hal. Pun termasuk pada konteks pelaku. Mereka, alias para pelaku ini, seringkali adalah “korban” dari jaringan besar, di mana mereka terseret propaganda yang disebar kelompok itu.

“Jaringan mereka ada di mana-mana, bahkan internasional,” kata Gus Yasin, sapaan akrabnya, yang datang mewakili Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang berhalangan hadir.

Dia mengapreasiasi apa yang dilakukan hari ini, baik pada mantan pelaku maupun penyintas. Adalah sikap berani meminta maaf dan mau memaafkan. Dia mencontohkan kehidupan Nabi Muhammad SAW; memberikan perlindungan pada minoritas, kepada “musuh” yang telah kalah dan menyerah, termasuk memaafkan.

“Memang tingkatan (seseorang) memaafkan itu berbeda-beda, tetapi saya mengapresiasi mereka yang sudah memaafkan,” ungkapnya.

Gus Yasin sempat bercerita tentang pengalamannya soal stigma. Dia adalah alumni Suriah dalam konteks menimba ilmu di sana. Kemudian, ada semacam “pengumuman” isinya agar hati-hati kepada alumni Suriah.

Dia kemudian bersama teman-temannya yang lain sesama alumni, membuat perkumpulan alumni Suriah bernama Al Syami. “Kami belajar di sana, tidak ikut kelompok yang mohon maaf keliru, kami (Al Syami) ikut andil meluruskan terhadap yang diberitakan,” jelasnya.

Sekretaris Utama BNPT Mayjen TNI Dedi Sambowo mengatakan terorisme adalah kejahatan luar biasa yang saat ini masih menjadi tantangan, bukan hanya di Indonesia tetapi pada tingkat global.

Perwira tinggi TNI dua bintang itu mengatakan terorisme tentunya melanggar hak asasi, bentuk-bentuk terorisme dan aneka peristiwanya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

“Kita kehilangan sudara-saudara yang kita cintai, termasuk yang gugur dalam tugas menangani terorisme,” kata Dedi.

[caption id="attachment_13267" align="alignnone" width="1600"] Sony Koesworo (kanan) korban bom dan mantan narapidana terorisme (napiter) Machmudi Hariono (kiri) mendatangani deklarasi kebangsaan penyintas dan mitra deradikalisasi, disaksikan Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Maimoen dan Sekretaris Utama BNPT Mayjen TNI Dedi Sambowo, di Kabupaten Semarang, Rabu 15 Juni 2022. (Foto: ruangobrol.id/eka setiawan)[/caption]

Sementara itu, selain ada pemutaran film juga dilakukan deklarasi kebangsaan penyintas dan mitra deradikalisasi. Ada 4 poin deklarasinya, mulai dari komitmen setia keapda Pancasila, siap bersinergi pada konteks pencegahan hingga mendukung pemerintah untuk mewujudkan Indonesia damai.

Penyintas yakni Sony Koesworo, korban Bom Gereja Kepunton Solo 2011 dan mitra deradikalisasi yakni Machmudi Hariono alias Yusuf, pelaku Bom Sri Rejeki Semarang 2003, mewakili yang lain menandatangani naskah deklarasi. Gus Yasin dan Mayjen TNI Dedi Sambowo juga membubuhkan tanda tangannya.

Peserta kegiatan itu mulai dari aparatur pemerintah, puluhan penyintas hingga mantan narapidana terorisme (napiter) sekira 20 orang dari Jawa Tengah.

 

Komentar

Tulis Komentar