Vonis Bebas Terdakwa Unlawful Killing dengan Alasan Pembenar dan Pemaaf

News

by Akhmad Kusairi

Dua terdakwa kasus tindak pidana pembunuhan di luar hukum alias unlawful killing terhadap empat Laskar FPI, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella diputuskan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (18/3/2022) lalu.

Namun dalam pertimbangannya, Majelis hakim yang diketuai oleh Muhammad Arif Nuryanta itu menyebutkan perbuatan kedua terdakwa tidak bisa dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf. Karena itu Hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melepaskan dan memulihkan hak-hak terdakwa.

"Menyatakan perbuatan terdakwa melakukan tindak pidana sebagai dakwan primer dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas, tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf. Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan, memulihkan hak-hak terdakwa. Menetapkan barang bukti seluruhnya dikembalikan ke penuntut umum," kata Muhammad Arif Nuryanta saat membacakan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/3).

Putusan hakim ini tidak sesuai dengan tuntutan JPU yang sebelumnya menuntut kedua terdakwa dengan hukuman 6 tahun penjara. Karena itu, JPU menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu untuk langkah hukum selanjutnya. Sementara Kuasa Hukum kedua terdakwa menyambut baik putusan hakim tersebut.

Kasus ini bermula dari upaya polisi mengawasi pergerakan Rizieq Shihab yang menjadi tersangka kasus kerumunan di Petamburan Jakarta. Namun saat melakukan penguntitan, anggota laskar FPI dan anggota kepolisian terlibat adu tembak di beberapa tempat di Karawang. Dalam adu tembak tersebut dua anggota Laskar FPI tewas. Sementara empat anggota lainnya yang terlibat dalam adu tembak ditangkap hidup-hidup.

Namun saat akan dibawa ke Mapolda Metrojaya, keempat anggota FPI tersebut berusaha mencekik dan merebut senjata anggota polisi. Karena kalah jumlah, petugas yang duduk di kursi depan mobil menembak anggota FPI. Namun sayang, keempat anggota FPI meninggal saat akan dibawa ke rumah sakit.

Insiden ini sempat menuai kontroversi ketika itu. Karena itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turun tangan. Komnas HAM kemudian mengeluarkan beberapa rekomendasi dan menyebutkan kejadian tersebut sebagai pembunuhan di luar hukum alias unlawful killing. Karena itu Komnas HAM merekomendasikan agar kasus ini dibawa ke Pengadilan Pidana Umum dan ketiga anggota polisi yang terlibat dalam insiden tersebut diadili.

Hal itu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan. Komnas HAM RI berharap pengungkapan peristiwa kematian enam anggota FPI secara transparan, proses keadilan yang profesional dan kredibel. Dalam proses peradilan salah satu anggota polisi Ipda Elwira meninggal kecelakaan.

“Terkait peristiwa KM 50, terhadap empat orang masih hidup dalam penguasaan petugas resmi negara, yang kemudian juga ditemukan tewas, maka peristiwa tersebut merupakan bentuk dari peristiwa pelanggaran HAM. Penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban jiwa mengindikasikan adanya unlawfull killing terhadap keempat anggota FPI," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam siaran pers, Jumat (8/1/2021) lalu.

Selain itu Komnas HAM juga merekomendasikan kepolisian untuk mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh Laskar FPI saat terjadi baku tembak dengan polisi di Karawang. Menurut Khoirul Anam, berdasarkan keterangan ahli dari PT Pindad besar kemungkinan senjata tersebut merupakan senjata rakitan. Komnas HAM juga merekomendasikan proses penegakan hukum, akuntabel, objektif dan transparan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia.

Rekomedasi Komnas HAM itu berdasarkan peninjauan langsung ke lokasi peristiwa, Karawang, pada 8 Desember 2020. Selain itu Komnas HAM sebelumnya telah membentuk tim penyelidikan sesuai mandat Komnas HAM Pasal 89 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sejak 7 Desember 2020. Dalam penyelidikan tersebut menemukan beberapa benda yang diduga sebagai bagian peristiwa tersebut. Di antaranya tujuh buah proyektil, tiga buah slongsong, bagian peluru, pecahan mobil, dan benda lain dari bagian mobil seperti baut.

Selain itu, Komnas juga memperoleh barang bukti dari kepolisian antara lain sejumlah powerpoint yang menjelaskan peristiwa (Inafis, labfor, kedokteran, siber) disertai dengan foto. Selain itu juga ada barang bukti voice note yang diperoleh dari handphone korban sejumlah 172 rekaman dan 191 transkripnya.

Sementara dari dari Jasa Marga, Komnas memperoleh barang bukti berupa video yang merekam jalan tol dan pintu gerbang keluar masuk yang terkait peristiwa berjumlah 9.942. Ada juga Screen capture dari Smart CCTV Speed-Counting/Speed-Cam sejumlah 137.548 foto. Barang bukti yang ditemukan tersebut di beberapa tempat di Kabupaten Karawang.

Komnas HAM juga meminta keterangan terhadap sejumlah pihak, antara lain kepolisian, siber, Inafis, dan petugas kepolisian yang bertugas, hingga pengurus FPI. Selain itu, Komnas HAM juga menghadirkan saksi mata dan ahli forensik kodokteran, psikologi, hingga saksi senjata dari Pindad. (*)

Komentar

Tulis Komentar