Waspada, Penjualan Narkoba untuk Biayai Aksi Terorisme

News

by Akhmad Kusairi

Polisi berhasil menangkap 11 orang sindikat Narkoba Jaringan Timur Tengah di Petamburan Jakarta pada 22 Desember 2020 lalu. Dari tangan pelaku Polisi berhasil menyita barang bukti berupa 196 paket sabu dengan berat sekitar 201 kilogram. Menurut Polisi, sabu tersebut bernilai sekitar Rp156 miliar. Sebuah angka yang sangat besar. Apalagi berdasarkan temuan polisi, uang hasil tersebut diduga untuk membiayai aksi terorisme di Timur Tengah. Namun apakah apakah ada kaitanya dengan kelompok teroris di Indonesia Polisi masih mendalami lebih jauh

“Ini jaringan timur tengah internasional. Yang kita tahu bulan januari 228 Kg di Serpong, kemudian 800 Kg, di Serang Banten. Memang hasil profiling, memang ini untuk pembiayaan terorisme di Timur Tengah. Apakah ada kaitan dengan terorisme di Indonesia, kami masih mendalami. Ini dugaan sementara. Kami sedang mendalami terus apakah ada keterkaitan dengan terorisme yang ada di Indonesia saat ini,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Jakarta Kombes Pol Yusri Yunus Rabu

Menurut pengamat terorisme dari Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara penggunaan narkoba untuk mendanai aksi-aski terorisme bukanlah hal baru. Biasanya uang hasil penjualan narkoba dimanfaatkan untuk biaya logistik seperti pembelian senjata api beserta amunisinya yang nilainnya tidak murah.

“Sudah lama sebenarnya. Kalau baca laporan UNODC, untuk pendanaan terorisme, terutama untuk beli senjata karena lumayan mahal. Itu dilakukan dari keuntungan dari bisnis narkoba,” kata Robi saat dihubungi belum lama ini

Lebih lanjut dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu menjelaskan bahwa biasanya narkoba yang digunakan untuk pembiayaan terorisme berasal dari Afrika. Kemudian Narkoba tersebut disalurkan kepada Negara yang dianggap musuh oleh kelompok teroris

“Perjalanan dari Afrika (Narkoba), justru menyuplai justru menyuplai negara yang dia anggap musuh, Amerika. Di Afghanistan juga sama. Kelompok Al Qaida,” imbuh Robi lagi

Kaitannya dengan Indonesia, menurut Robi, pendanaan terorisme menggunakan hasil penjualan narkoba juga bukan hal baru. Para Teroris di Indonesia menggunakan penjualan dari bisnis narkoba untuk mendanai amaliyah atau aksi terorisme.

“Di Indonesia bukan kali pertama polisi menemukan ada kaitannya dengan jaringan terorisme. Terutama untuk pendanaan. Bukan hal yang baru, dulu ada pelaku terorisme menggunakan uang dari bisnis narkoba,” kata Robi

Robi menambahkan ada dua keuntungan sekaligus bagi kelompok teror berbisnis narkoba. Pertama mereka bisa merusak masyarakat yang jadi musuh mereka dengan menggunakkan narkoba. Keuntungan kedua adalah uang hasil bisnis narkoba bisa untuk aksi-aksi amaliyah mereka.

“Menariknya mereka ada dua keuntungan sekaligus. Ketika bisnis narkoba di kelompoknya. Narkoba bisa merusak masyarakat Indonesia, dengan obat terlarang ini. Kemudian uangnya buat aksi,” tuturnya

Kendati demikian menurut Robi ada pro dan kontra di kalangan internal kelompok teror. Kelompok pertama mereka membolehkan penggunakan narkoba untuk aksi mereka. Hal ini sama dengan perampokan atau  perampasan harta orang yang dianggap kafir oleh mereka. Kemudian kelompok kedua mereka tidak mau menggunakan uang hasil narkoba untuk aksi mereka.

“Ada perdebatan, pro dan kontra. Bagi salah satu faksi di kelompok teroris, ini langkah strategis yang bisa dilakukan untuk biayai serangan teroris. Tapi ada juga berpegang teguh karena aksi suci aksi yang mereka sebut sebagai jihad, mereka merefleksikan kegagalan aksinya dikarenakan para laskarnya masih melakukan kemaksiatan,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, pada tahun 2016 lalu Densus 88 Mabes Polri menangkap kelompok teroris Rio Priatna Wibowo di kediamannya di Desa Girimulya, Banjaran, Majalengka. Rio bersama dengan temannya Eep Saiful Bahri, Bahrain Agam, dan Hendra sempat berniat membuat laboratorium untuk meracik narkotik jenis sabu. Mereka berencana dari hasil sabu dijual kemudian mendapatkan uang untuk melakukan kegiatan aksi teror.

Namun rencana tersebut batal mereka lakukan. Karena mereka mengubah fungsi laboratorium menjadi tempat peracikan bahan peledak pada Juni 2016. Dari lab tersebut mereka berhasil membuat bahan peledak RDX yang kecepatan ledaknya mencapai 8 ribu meter per detik dan TNT 7. Namun bahan peledak tersebut masih kurang lengkap karena belum ada detonator.

Komentar

Tulis Komentar