Pada Terorisme, Kita Tidak Sedang Berhadapan dengan Makhluk Mitologi

Tokoh

by Eka Setiawan

Tentang Noor Huda Ismail Mengalihkan Energi Teror (1)

Pria ini bisa ditemui ketika menyantap hidangan di warung-warung lesehan pinggir jalan, menikmati kopi warungan sampai kelas yang harus merogoh kocek lebih dalam, hingga ada di forum-forum diskusi internasional berbagai negara ketika menjadi pembicara.

Namanya Noor Huda Ismail, akrab disapa Huda, seorang aktivis kemanusiaan dalam kerja-kerja menyuarakan perdamaian khususnya pada isu terorisme.

Bagaimana ‘sepak terjangnya’ yang sudah sejak bertahun lalu hingga hari ini terus berkecimpung di persoalan ini? Simak tulisan yang dirangkum dari hasil wawancara, obrolannya santai, termasuk mengikuti paparannya di berbagai forum diskusi:

Untuk melawan monster maka haruslah menahan diri untuk tidak menjadi monster. Demikian dikatakan Friedrich Nietzsche, filsuf asal Jerman pada abad ke-19.

Itu dikatakan Huda, pada sebuah wawancara dengan saya.

Apa yang dikatakan Nietzsche itu, sebut Huda, sebagai salah satu alternatif penanganan terorisme. Untuk menghentikan kekerasan tak elok jika juga harus menggunakan cara-cara kekerasan. Sama seperti halnya, untuk memerangi teroris janganlah berbuat serupa teroris (baca: kekerasan).

“Karena tak satupun manusia di Bumi dilahirkan untuk menjadi teroris,” kata pria kelahiran Yogyakarta 29 November 1972 ini.

Itu diartikan, terorisme pasti memiliki proses. Orang akhirnya tergelincir dalam pusaran terorisme, itu memiliki fase-fase. Huda menyebutkannya pasti ada 3 fase; mikro, meso, makro.

Pada fase pertama, mikro adalah apa yang terjadi pada individu itu secara pribadi. Sementara meso, adalah lingkup sedikit lebih luas dari seputaran apa yang terjadi secara pribadi, bisa berupa kelompok, masyarakat belum sampai global.

Sedangkan fase makro, itu fase lebih besar, global. Misalnya, ketika ada konflik Afghanistan versus Uni Soviet di era 80’an, itu mempengaruhi beberapa anak-anak muda di Indonesia yang memang sudah ada beberapa proses ingin terjun ke medan konflik sebagai keinginan membela Muslim. Akhirnya aksi-aksi kekerasan dilakukan sebagai manifestasi dari “ikut ambil bagian membela Muslim yang tertindas”.

Berbagai fase itulah, proses-proses itulah, sebut Huda, yang perlu dipahami betul dalam rangka mencari solusi tepat menghentikan kekerasan.

Huda menganalogikannya seperti apa yang dikatakan Einstein (1936) ‘energi tidak dapat dimusnahkan, tetapi bisa dialihkan’

Huda, yang kini sudah memperoleh gelar doktoralnya dari Monash University Australia, sampai hari ini tak berhenti terus berusaha memahami betul apa yang terjadi hingga terorisme masih saja terjadi.

“Kita kan sedang tidak melawan hidra (makhluk mitologi Yunani, yang kepalanya putus bisa kembali tumbuh),” lanjut bapak dua putra ini.

Proses terus mencari untuk memahami terorisme dalam rangka mencari solusi tepat terus dilakukan Huda sebab tentu saja problematika terorisme juga terus berkembang.

Tidak ada alasan tunggal penyebab terorisme terjadi. Pada kasus tertentu, terorisme bisa jadi karena faktor ekonomi, tapi pada kasus lain bisa juga sebab ideologi, bahkan ternyata ada temuan lain terorisme terjadi karena faktor sakit hati ingin balas dendam atas kematian familinya, orang terdekatnya sebab misalnya ditembak mati Densus 88.

Ada pula fenomena satu keluarga besar, orang-orang kaya, yang akhirnya rela meninggalkan Indonesia untuk ‘hijrah’ ke Suriah, bergabung ke kelompok Islamic State atau ISIS.

Pada perkembangannya, teranyar, juga ada kasus di mana dua orang perempuan, satu di Medan, satu asal Klaten, yang rela mati atas nama “jihad”. Satu meledakkan diri, satu meminum cairan pembersih lantai ketika tertangkap dan dipenjara.

“Itu yang sampai hari ini saya terus coba saya pahami fenomena itu,” kata Huda pada sebuah workshop di Solo awal Mei 2019 lalu di depan para aktivis Migrant Care.

Pencarian yang Tak Henti

Sampai hari ini, banyak cara yang dilakukan Huda untuk terus berusaha memahami sedetil mungkin mengapa terorisme tak juga berhenti.

Di antaranya; terus merangkul para mantan teroris, membuka diri sebagai teman curhat mereka untuk sekaligus mencari solusi agar mereka tak kembali ke jalan kekerasan.

Berbagai solusi juga diambil. Meski tentu saja tidak ada solusi tunggal menyelesaikan persoalan ini. Misalnya; ada usaha “sociopreneurship” dengan membuka warung bernama Dapoer Bistik Solo, yang embrionya dikelola mantan teroris.

Cara yang sama untuk solusi menghentikan kekerasan, mungkin tak bisa diterapkan pada mantan teroris lainnya. “Bisa jadi cara A tepat untuk A, tapi tak tepat untuk B, C, dan seterusnya. Itu bukan gagal, tapi cara yang tidak tepat diterapkan untuk individu tertentu. Bisa jadi cara yang gagal untuk A, malah bisa tepat untuk individu B,” bebernya.

Teranyar yang dilakukan beberapa tahun ini adalah dengan membuat film-film dokumenter tentang persoalan itu. Beberapa film yang sudah dibuat “Prison and Paradise”, “Jihad Selfie”, “Pengantin”. Ada pula film yang hampir selesai, bertajuk “Seeking The Imam”. Masih ada pula film-film lain yang akan diproduksi dengan timnya.

Seiring dengan film, Huda pasti menyajikan semacam novel ataupun catatan jurnalistik. Sebab, ada hal-hal yang “susah” disajikan dengan “gambar bergerak” tapi masih bisa diatasi dengan tulisan. Istilahnya satu paket; film dan novelnya.

Itu juga alternatif baru untuk menyajikan gambaran bagaimana terorisme terjadi hingga bisa diselesaikan, sekaligus untuk membuka ruang diskusi.

“Kerja-kerja kreatif harus terus dilakukan,” tambah pria yang suka tampil kasual ini.

Langkah-langkah merangkul, memahami hingga membuat karya-karya kreatif, itu juga yang membuat Huda berbeda dengan aktivis-aktivis lain pada isu serupa.

Sebab itu pula, Huda enggan disebut sebagai pengamat terorisme. Karena yang dilakukan itu terjun langsung, merangkul mereka, bukan hanya mengamati dari kejauhan lalu enteng berkomentar...

Bersambung

(eka setiawan)

 

FOTO EKA SETIAWAN

Noor Huda Ismail (tengah, baju putih) saat kegiatan pemutaran dan diskusi film Jihad Selfie di Singapura, April 2018 lalu.

 

Data Diri:
Nama                : Noor Huda Ismail, Yogyakarta 29 November 1972
Isteri                 : Desy Ery Dani (mantan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang)
Anak         : 1. Hiroshi Rosih Ilmi
2. Salman Rausan Fikri
Pendidikan:
1. SD Taman Siswa Yogyakarta pindah di SD Wonosari Solo
2. Ponpes Al Mukmin Ngruki (1985 – 1991)
Jurusan Sastra Arab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus kuliah di
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

3. S2 Beasiswa British Chevening Awards untuk Master bidang International Security Studies from St. Andrews University.

4. PhD di Monash University Australia

Pekerjaan dan Pengalaman:
1.Marketing Communication Jakarta Convention Center (JCC) 1997 –  2002
2. Wartawan Washington Post Biro Asia Tenggara (2002 – 2005)
Visiting Scholar di Rajtnam School of International Relations, Singapura (2005)
3. Asisten Peneliti di The National Center for Scientific Research, Paris
(2005 – 2006)
4. Asisten peneliti di Law School of University of Melbourne, Australia (2006)
5. Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
6. Pembicara di forum – forum internasional tentang Islam, Terorisme dan Isu – Isu Perdamaian. Di antaranya; pembicara di Google, New York Amerika Serikat terkait terorisme.

7. Pimpinan Umum ruangobrol.id (portal berita di PT. Kreasi Prasasti Perdamaian, sayap komunikasi Yayasan Prasasti Perdamaian)

Karya:

Buku: Temanku Teroris?
Film  : Prison and Paradise, Jihad Selfie, Pengantin

Aktivitas Sekarang: Menikmati sebagai ayah dua putera, sebagai suami sekaligus Visiting Fellow RSIS NTU Singapore

Komentar

Tulis Komentar