Bertemu Dengan Noor Huda Ismail (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Pada tanggal 26-28 Februari 2018 saya mengikuti acara yang diselenggarakan oleh BNPT yang bertajuk “Silaturahmi Kebangsaan : Satukan NKRI” bertempat di Hotel Borobudur Jakarta. Itulah acara BNPT pertama yang saya ikuti semenjak saya bebas.


Pada hari terakhir setelah selesai makan malam, saya bermaksud kembali ke kamar. Ketika melintas di lobby hotel tiba-tiba ada yang berteriak memanggil nama saya.


“ Pak Arif !!”


Saya pun menoleh ke arah orang yang memanggil itu dan mencari-cari siapa yang memanggil. Tidak ada yang saya kenal. Jangan-jangan bukan saya yang dipanggil.


Tetapi ada seorang pemuda berbadan sedikit gempal yang menghampiri saya dan berkata, “ Antum Pak Arif yang dulu sering ke Pesantren Al Islam kan ?”


“iya”, jawab saya singkat karena masih bingung dan mencoba mengingat-ingat siapa orang di depan saya ini.


Mengetahui saya tampak bingung, orang di depan saya menyebutkan nama dan kapan terakhir saya ketemu dia dan bagaimana ciri-cirinya di waktu itu. Barulah saya ingat.


Namanya Haris, alumni Pesantren Al Islam tahun 2008-2009. Dia mengingatkan bahwa kami terakhir bertemu adalah di tahun 2008 ketika acara pemakaman Ustadz Mukhlas dan Pak Amrozi.


Saya benar-benar tidak mengenalinya. Lha sudah 9 tahun lebih, pasti banyak berubah, karena dirinya masih masa pertumbuhan.


Dia datang untuk menemui teman-temannya yang sempat jadi napiter kayak saya. Karena penasaran siapa teman-temannya itu, saya pun nggak jadi balik ke kamar tapi ikutan nimbrung kongkow-kongkow dulu bersamanya. Dan ternyata banyak juga temannya yang pernah jadi napiter yang beberapa di antaranya pernah bareng saya di Mako Brimob.


Setelah dirasa cukup saya pun pamit untuk kembali ke kamar dan beristirahat.


Keesokan harinya ketika saya menuju halte Transjakarta saya kembali bertemu dengannya yang sedang menunggu ojek online.


“Lho antum kok belum balik, mau kemana ini?”, sapa saya.


“Ini saya baru mau balik. Masih nunggu ojek pesanan saya datang. Lha antum sendiri mau kemana pak ?”, jawabnya dan balik bertanya ke saya.


“Mau besuk Pak Ali Imron di Polda. Kemarin pas teman-teman besuk saya nggak ikut”, jawab saya.


“Kalau gitu saya mau ikutan besuk beliau pak. Sudah lama juga saya nggak besuk kesana. Tapi saya nunggu abang ojeknya datang dulu untuk saya kasih kompensasi karena saya cancel”, ujarnya bersemangat.


Akhirnya kami pun pergi bareng ke Polda Metro Jaya menggunakan moda transportasi massal andalan warga Jakarta yaitu Transjakarta.


Dalam perjalanan itu kami asyik mengbrol. Dari obrolan itu terungkap bahwa Mas Haris ikut aktif membantu di Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP)yang didirikan oleh Noor Huda Ismail sejak tahun 2008. Begitu mendengar kata “Prasasti Perdamaian” dan “Noor Huda Ismail”, otak saya langsung memberi sinyal “ting!”.


Saya sudah banyak membaca dan mendengar berita-berita tentang kegiatan YPP terkait pendampingan para mantan napiter. Dulu sekali di tahun 2010-2011 teman-teman di ‘jaringan lama’ banyak membicarakan salah satu mantan napiter yang dicaci dan dicela karena menerima bantuan dari YPP. Mereka mencaci dan mencela tetapi tidak bisa memberi solusi. Jadi mengapa tidak lebih baik diam saja ? Toh itu urusan pribadi orang itu ?


Ketika di Lapas, saya juga mendengar cerita dari para pejabat di lingkungan pembinaan bahwa YPP juga beberapa kali melakukan kerjasama dalam bentuk pelatihan ataupun pendampingan dan pembinaan para napiter di Lapas. Saya juga sempat meminta kepada pejabat Lapas jika bertemu lagi dengan pihak YPP agar menanyakan apakah bisa membantu mencarikan jalan agar novel yang saya tulis di lapas bisa diterbitkan.


Nah, keinginan agar novel saya bisa diterbitkan itu kemudian saya sampaikan kepada Mas Haris. Dia menyanggupi akan menyampaikannya kepada Noor Huda Ismail dan bertanya apakah ada karya yang lain. Saya jawab ada, tapi sudah menjadi haknya PRIK-KT UI. Namun saya bisa kasih soft copy dalam format pdf untuk konsumsi pribadi.

Komentar

Tulis Komentar