Krusialnya 'Narasi Mematikan' dalam Pendanaan Aksi Teror
Newsby Administrator 15 September 2023 8:40 WIB
Penggunaan narasi berkembang dan tumbuh subur bersama meluasnya kepemilikan telepon pintar sejak awal 2000-an. Sebagai salah satu surga pasar telepon pintar, maka masyarakat Indonesia pun, tanpa meminta maupun menghendakinya, menjadi sasaran narasi tentang apa saja, termasuk narasi radikalisme.
Sebagai seseorang yang telah lama mendalami isu-isu radikalisme, Noor Huda Ismail menyadari betul pentingnya faktor narasi sebagai pemicu lahirnya aksi-aksi terorisme. Hal itulah yang kemudian menjadi inspirasinya dalam menulis buku keduanya "Narasi Mematikan: Pendanaan Teror di Indonesia" yang diterbitkan oleh Kreasi Prasasti
Perdamaian.
Di negara-negara dengan kecenderungan otoritarian seperti di Indonesia, di mana informasi selalu memiliki versi resmi dan tidak resmi, narasi mendapatkan lahannya yang subur. "Apalagi ketika masyarakat sedang terbelah seperti menjelang hajatan politik pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah," ujar Noor Huda dalam kata pengantarnya.
Lebih jauh visiting fellow di RSIS, Nanyang Technological University itu mengungkapkan penggunaan narasi biasanya terkait dengan sentimen politik. Sentimen politik agama atau sentimen agama plus etnisitas merupakan bahan baku narasi paling mudah dan murah serta luas pengaruhnya dibandingkan dengan sentimen identitas yang lain seperti suku, ras, dan gender.
Dengan memanfaatkan situasi itulah narasi digunakan kelompok teror yang dikaji dalam buku ini, yaitu Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Modal bagi keberhasilan kedua gerakan ini adalah kemahiran dalam memilih, memilah, dan mengolah grand narrative atau narasi induk yang tepat dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
Dalam pengantar buku, Noor Huda yang menamatkan pendidikan doctoral di Monash University, Australia, tersebut mengatakan dirinya ingin menjadi bagian dari upaya pencegahan ancaman baru (emerging threat) terkait dengan aksi terorisme yang sering membajak pesan suci teks agama, terutama Alquran, hadis, dan sirah (sejarah).
Solusi yang ia tawarkan adalah program moderasi beragama dalam Islam berbasis literasi.
Hal ini dikarenakan narasi induk sering digunakan seagai skema pembingkaian (framing) untuk memobilisasi dukungan hingga pembenaran dalam pilihan aksi kekerasan mereka.
Buku ini terdiri dari 10 bab. Pada bab pertama yakni 'Narasi di Balik Peristiwa' Noor Huda bercerita tentang bagaimana narasi 'Pahlawan Islam' menyusupi pemakaman dr Sunardi, anggota JI yang tewas akibat terjangan timah panas Tim Densus 88 Antiteror.
Pada bab kedua 'Membedah Pendanaan Terorisme' Noor Huda membedah bagaimana para kelompok terorisme tidak hanya memainkan narasi, namun bisa memanfaatkan karakteristik masyarakat Indonesia yang dikenal sangat pemurah. Sedangkan bab ketiga 'Kelindan Narasi' menguraikan bagaimana para credible voice mengalami proses transisi dari sekadar percaya pada tingkat kognitif atau pemikiran terhadap narasi yang dimainkan kelompok kekerasan menjadi terlibat dalam tindakan (behaviour) pendanaan terorisme.
Profil para credible voice yang menjadi narasumber dalam buku ini dipaparkan Noor Huda dalam bab keempat yaitu 'Memilih Credible Voice Pendana Teror'. Sedangkan bab kelima 'Menimbang Suara Pasangan' bercerita tentang peran dua istri credible voice yang sering dianggap sebagai invisible actor. Adapun pada bab keenam yakni 'Narasi Pendana Kelompok Pendana Teror' Noor Huda mencoba menjelaskan bahwa pembahasan isu terorisme tidak bisa hanya berdasarkan karakteristik individu semata melainkan sebuah fenomena kelompok.
Pada bab ketujuh 'Dapur Sayap Militer' diceritakan tentang munculnya upaya baru untuk menghidupkan kembali JI yang secara legal formal telah dianggap organisasi terlarang. Sedangkan pada bab kedelapan yaitu 'Riak Gelombang Tamkin Neo-JI' Noor Huda menceritakan hasil wawancaranya dengan sang pemimpin Neo-JI, Para Wijayanto.
Bab kesembilan 'Kampanye Alternatif Berbasis Narasi' berisi tentang upaya para instansi yang terlibat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme mendukung upaya kampanye publik pencegahan pendanaan terorisme berbasis narasi dengan melibatkan credible voice. Sedangkan bab terakhir yakni 'Narasi Menghidupkan' berisi kesimpulan.
Noor Huda mengatakan melalui bukunya bahwa dirinya percaya bahwa terlibat dalam aksi terorisme itu adalah proses panjang dan sangat kompleks. "Bisa jadi hari ini mereka pro teroris, tapi di kemudian hari berubah menjadi bagian dari agen perdamaian," kata Huda dalam kesimpulan buku yang menghadirkan epilog dari Chair in Global Islamic Politics Deakin University, Greg Barton, tersebut.
Komentar