Reintegrasi sosial sebenarnya merupakan istilah yang akrab di dunia pemasyarakatan, yaitu sebuah masa di mana seorang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) atau narapidana telah menjalani 2/3 dari masa pidana dan telah mendapatkan izin pembebasan bersyarat dari aparat penegak hukum, mereka dapat meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan dan menjalani sisa masa pidana dengan kembali hidup di tengah- tengah masyarakat di bawah bimbingan Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Dalam konteks yang lebih luas, reintegrasi sosial dapat merujuk pada sebuah fase dimana seorang narapidana telah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Mereka telah dipersiapkan untuk kembali hidup di tengah-tengah masyarakat. Sehingga mereka tidak hanya menyesali pelanggaran yang dilakukan di masa lalu tetapi juga berproses menjadi seorang manusia yang produktif, memiliki kontribusi dalam perbaikan kehidupan dalam masyarakat melalui aktualisasi keterampilan dan kapabilitas yang dimiliki. Dalam perkembangan terkini, istilah reintegrasi sosial juga dipakai untuk deportan WNI eks ISIS.
Dengan demikian, kebijakan reintegrasi sosial adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik di level pusat maupun daerah yang melibatkan masyarakat dalam rangka memfasilitasi pemenuhan hak hidup manusia mencakup pengkondisian narapidana atau deportan WNI eks ISIS secara psikologis, sosial, dan ekonomi agar mampu berdaya kembali di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, dalam konteks WNI eks ISIS, kebijakan reintegrasi sosial merupakan suatu upaya pemerintah dan masyarakat juga dimaksudkan sebagai alat pencegahan dan pemutusan mereka atas jaringan atau struktur sosial lamanya yang dapat menyebabkan mereka kembali melakukan suatu pelanggaran.
Dengan kata lain, kebijakan reintegrasi sosial bagi WNI eks ISIS merupakan satu rangkaian dengan program deradikalisasi yang bertujuan untuk memutus aktualisasi seseorang dari ideologi radikal menuju transformasi perilaku yang berkontribusi positif dan produktif bagi masyarakat di suatu wilayah.
Reintegrasi Sosial Dalam Konteks Global
Kebijakan reintegrasi sosial bagi narapidana terorisme atau eks ISIS dalam konteks global telah menjadi bagian dari rangkaian kebijakan kontra-terorisme dan deradikalisasi di dalam suatu negara. Namun, kebijakan tersebut dijalankan dengan pola dan pendekatan yang beragam.
Di sejumlah negara Uni Eropa seperti Belanda, Denmark, dan Inggris, program reintegrasi sosial atau deradikalisasi berfokus pada penyediaan informasi, pelayanan pendampingan, dan upaya pemutusan jaringan dengan kebijakan berbasis kerjasama antara komunitas penduduk (community) dengan kepolisian lokal atau otoritas setempat.
Sebagai contoh, di Denmark, negara tersebut sangat berfokus pada membangun kerjasama erat antara penduduk dengan mantan pelaku aksi terorisme. Oleh karena itu, koalisi antara masyarakat sipil, pekerja sosial, dan kepolisian di tingkat lokal menjadi garis terdepan dalam memetakan potensi ancaman radikalisasi dalam suatu komunitas sekaligus mengambil inisiatif dalam memberi pendampingan ketrampilan, lapangan kerja, maupun psikologis bagi kelompok masyarakat yang terpapar ideologi radikal dan eks-pelaku terorisme.
Baca juga: Contoh Program Rehabilitasi Eks ISIS: The Aarhus Model’s DENMARK (1)
Di tempat yang lain, cara yang berbeda ditunjukkan oleh negara di kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Irak. Di kedua negara ini, kebijakan deradikalisasi sangat bergantung pada proses pendampingan secara individual dan terpusat oleh pemerintah. Yaitu program yang mencakup dari assessment/identifikasi pelaku ketika baru memasuki lapas, program rehabilitasi yang melibatkan psikolog, ahli agama, keluarga pelaku, sampai dengan program reintegrasi sosial.
Dalam program reintegrasi sosial di Arab Saudi, pemerintah menyediakan dukungan finansial yang melimpah bagi mantan pelaku kasus terorisme. Dukungan finansial tersebut mencakup pemenuhan kebutuhan hidup seperti rumah, pangan, pekerjaan, sampai dengan mobil dan dana kegiatan sosial seperti pernikahan.
Program Arab Saudi itu disebut-sebut sebagai program deradikalisasi dan reintegrasi terbaik namun memiliki aspek problematik dalam transparansi penggunaan anggaran.
Baca juga: Contoh Program Rehabilitasi Eks ISIS: Program Munasahah Arab Saudi
Reintegrasi Sosial Dalam Konteks Nasional
Dalam konteks nasional, Pemerintah Indonesia memberi mandat kepada BNPT dalam kebijakan deradikalisasi termasuk reintegrasi sosial WNI eks ISIS. BNPT bertugas melakukan program deradikalisasi yang mencakup proses identifikasi, pembinaan kebangsaan, wawasan keagamaan, dan pembinaan kewirausahaan. Belakangan, Kementerian Sosial juga turut serta dalam membantu sejak proses rehabilitasi di panti-panti rehabilitasi milik Kementerian Sosial hingga proses reintegrasi sosial dengan mengeluarkan kebijakan bantuan sosial bagi WNI eks ISIS yang membutuhkan.
Adanya kebijakan reintegrasi semacam ini membuat Indonesia terlihat sebagai negara yang mengadopsi kebijakan deradikalisasi di Timur Tengah. Walaupun begitu, Indonesia memiliki ciri khas dengan melibatkan mantan kombatan/narapidana teroris atau mantan deportan eks ISIS sebagai alat deradikalisasi karena faktor kedekatan dan jaringan sosial dalam menentukan proses pemutusan (disengagement).
Kebijakan reintegrasi sosial telah menjadi sebuah tren dan bahkan suatu norma bagi negara yang sedang melawan kekerasan berbasis ekstremisme. Setiap negara menjalankan kebijakan berdasarkan konteks dan modal sosial yang mereka miliki guna mencapai kebijakan reintegrasi sosial yang ideal.
Dalam prakteknya, Indonesia seakan mengadopsi model pendekatan reintegrasi sosial ala Timur tengah, khususnya Arab Saudi yang ditandai melalui peran sentral BNPT yang terjun langsung kepada mantan narapidana dengan pengadaan bantuan wirausaha, assessment psikologi, dan pengayaan wawasan keagamaan.
Namun seiring dengan mulai munculnya banyak Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang melakukan program reintegrasi sosial, hal tersebut memunculkan potensi overlapping dan kurangnya koordinasi antara OMS dan pemerintah. Hal ini dapat menjadi pintu masuk untuk Indonesia menyempurnakan model sentralistik ala Saudi dengan memasukkan nuansa “Aarhus Model” Denmark. Kebutuhan untuk melihat model Aarhus ini mengacu kepada munculnya berbagai OMS yang dapat membantu mengelola kegiatan reintegrasi sosial WNI eks ISIS.
Di samping itu, masyarakat indonesia memiliki jiwa gotong royong dan kekeluargaan yang sangat kuat sebagai modal sosial yang dimiliki sejak dahulu. Sudah saatnya pemerintah dengan OMS juga berfikir duduk bersama menciptakan bentuk kerjasama yang lebih efisien.
(Diolah dari berbagai sumber)
Ilustrasi: By AI (https://app.leonardo.ai/image-generation)
Komentar