Persoalan penanganan eks ISIS telah menjadi permasalahan di banyak negara. Masing-masing negara memiliki cara penanganan yang berbeda-beda sesusai dengan kemampuan dan kondisi negara yang bersangkutan.
Dari contoh yang diterapkan di berbagai negara, kami melihat ada 3 contoh yang bisa diambil pelajaran untuk diterapkan –meski hanya sebagian-- di Indonesia. Ketiga contoh itu adalah: Program Munasahah Arab Saudi, HAYAT-Deutschland Jerman, dan Aarhus Model Denmark.
Program Munasahah Arab Saudi
Arab Saudi memiliki salah satu inisiatif rehabilitasi dan reintegrasi yang paling dikenal dan paling lama berjalan di dunia. Dikenal sebagai Program Munasahah, atau bisa disebut sebagai 'Program Konseling'. Inisiatif yang didanai dengan baik ini secara resmi diluncurkan pada tahun 2006 oleh Kementerian Dalam Negeri Saudi.
Program ini awalnya berbasis di Riyadh di Pusat Konseling dan Perawatan Mohammed Bin Nayef,. Program ini dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang menjadi tujuh pusat rehabilitasi yang berlokasi di seluruh Kerajaan.
Program Munasahah dimulai pada tahap penahanan preventif atau penahanan hukuman bagi para narapidana sebelum dipindahkan ke pusat rehabilitasi dengan tujuan untuk dimasukkan kembali ke dalam masyarakat. Memahami bahwa keterlibatan dalam program merupakan syarat untuk dibebaskan dari tahanan, maka setiap peserta – termasuk remaja – menjadi peserta untuk mengikuti program yang sangat terkontrol dan terstruktur yang bertujuan untuk reedukasi, rehabilitasi, dan reintegrasi.
Setelah menjadi peserta, Komite Penasihat memberi tahu setiap peserta bahwa konselor dan ahli bukanlah pejabat dari Kementerian Dalam Negeri atau bagian dari aparat keamanan Kerajaan. Selain itu, setiap peserta diberitahu bahwa mereka yang melakukan hal tersebut diperlakukan sebagai korban radikalisasi di masa depan dan akan menerima perawatan khusus berdasarkan kebutuhan mereka.
Setelah pendaftaran, peserta yang ditahan melakukan dialog dengan ulama dan cendekiawan dari Subkomite Keagamaan. Diskusi awal tidak didasarkan pada ceramah para ulama atau cendekiawan, namun pada penjelasan peserta atas radikalisasi dan keterlibatan mereka dalam gerakan teroris.
Seiring dengan berlanjutnya diskusi, para ulama berkoordinasi dengan para psikolog mulai mengatasi kesalahan persepsi peserta mengenai penafsiran Al-Quran serta masalah emosi atau perilaku apa pun. Lamanya waktu yang diperlukan dalam fase awal keagamaan dan konseling ini bervariasi berdasarkan kondisi peserta. Namun partisipasi biasanya berlangsung antara beberapa sesi dua jam hingga enam minggu. Setelah perkembangan yang memadai, peserta menjalani evaluasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan dari lembaga pemasyarakatan ke salah satu pusat rehabilitasi perumahan.
Di pusat rehabilitasi, peserta menjalani kursus pelatihan khusus dan konsultasi kesehatan mental yang berlangsung selama delapan hingga dua belas minggu. Setiap peserta juga mengambil bagian dalam diskusi keagamaan lanjutan, menjalani terapi psikologis, terlibat dalam kegiatan sosial kelompok, dan menerima pelatihan pendidikan yang ditujukan untuk kesehatan mental. Semua itu menjadi bagian persiapan peserta tersebut untuk akhirnya dibebaskan dan diterima kembali di masyarakat.
Meskipun masih dalam kurungan, peserta tersebut tetap memperoleh kebebasan yang lebih besar dengan kemajuan yang ditunjukkan – termasuk kunjungan dari anggota keluarga dan pelepasan sementara dalam jangka waktu singkat. Langkah terakhir dari rehabilitasi berfokus pada kegiatan rehabilitasi lanjutan bagi peserta dan keluarga pasca pembebasan.
Menurut penyelenggara program, bagian dari program ini membantu memastikan peserta yang dibebaskan dan keluarga dekat mereka memiliki akses ke spesialis, psikolog, dan sosiolog. Hal ini juga mengalihkan tanggung jawab kelanjutan reformasi peserta dan reintegrasi jangka panjang ke keluarga, bukan negara. Jika peserta tersebut kembali terlibat dalam aktivitas teroris atau kekerasan, keluarganya dapat dihukum.
Berdasarkan tinjauan data publik, hingga saat ini, seluruh peserta yang ikut serta dalam Program Munasahah yang berbasis di pusat-pusat rehabilitasi selama ini berjenis kelamin laki-laki. Namun, pemberitaan media menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi serupa juga dilakukan terhadap perempuan yang terkait dengan kelompok ekstremis.
Para perempuan biasanya tidak menjalani program berbasis penjara atau pusat rehabilitasi. Tetapi menerima konseling sebagai bagian dari tahanan rumah dan dengan didampingi oleh keluarga dan wali laki-laki. Seorang perempuan yang sebelumnya ditahan dan lulus dari program ini kemudian dilaporkan juga memberikan konseling deradikalisasi kepada perempuan radikal lainnya.
Tingkat Keberhasilan Program
Karena terbatasnya alat ukur untuk mengukur secara akurat perubahan perilaku dan keyakinan ideologis dalam diri seseorang, maka menentukan tingkat keberhasilan suatu program dalam hal rehabilitasi dan reintegrasi bisa menjadi suatu tantangan yang sangat besar. Ukuran yang sering digunakan oleh beberapa pemerintah dan peneliti berkaitan dengan tingkat residivisme peserta program secara keseluruhan.
Pemerintah Saudi secara historis mengklaim bahwa Program Munasahah memiliki tingkat keberhasilan penyelesaian keseluruhan sebesar 80 hingga 90% dan tingkat residivisme sebesar 1 hingga 2% untuk lebih dari 3000 peserta. Angka residivisme sebesar 1 hingga 2% juga memperhitungkan mantan tahanan Teluk Guantánamo yang melanjutkan kegiatan teroris setelah menyelesaikan program. Serta lulusan yang terlibat dalam kegiatan kriminal yang tidak berafiliasi dengan terorisme.
Namun, informasi yang tersedia masih belum jelas mengenai apakah perempuan yang berpartisipasi dalam program konseling di rumah kembali terlibat dalam kegiatan teroris atau termasuk dalam tingkat residivisme.
Poin Penting Pelajaran yang Dapat Diambil
Program Munasahah memberikan beberapa hal penting –selain elemen-elemen yang dapat diterapkan-- dalam tantangan yang dihadapi Indonesia terkait pemulangan anggota keluarga WNI eks ISIS.
Program ini sepertinya memang dirancang secara ideal untuk mengatasi kebutuhan spesifik rehabilitasi dan reintegrasi di sebuah negara otoriter yang mengatur populasi yang beragama homogen. Sekitar 93% dari total penduduk Arab Saudi adalah Muslim, dengan sekitar 85% mengidentifikasi diri sebagai Muslim Sunni.
Dengan demikian, Program Munasahah dapat fokus secara eksklusif untuk melawan ideologi extrim jihadis. Fokus tunggal ini menjadikannya instrumen yang ideal bagi warga negara Saudi yang dipenjara dan kembali dari zona konflik Suriah-Irak.
Kelemahan yang cukup signifikan dari Program Munasahah adalah kurangnya transparansi dan evaluasi independen yang diperlukan untuk menunjukkan efektivitas program secara keseluruhan serta untuk membuktikan keandalan alat ukur yang dilaporkan. Arab Saudi secara teratur menyensor publikasi informasi apa pun yang dianggap berpotensi memalukan atau merugikan pemerintah.
Meskipun pejabat dan pakar pemerintah asing sering menerima undangan untuk melihat kegiatan di Pusat Konseling dan Perawatan Mohammed Bin Nayef, pemerintah Saudi hingga saat ini belum mengizinkan evaluasi resmi apa pun yang dilakukan oleh lembaga non-pemerintah Saudi. Oleh karena itu, kehandalan data atau alat ukur yang disetujui pemerintah yang mencatat keberhasilan masih dipertanyakan.
(Diolah dari berbagai sumber)
Komentar