Sejarah selalu punya cara unik untuk mengejutkan kita. Bayangkan sebuah negeri di mana kegelapan tersimpan rapi dalam sel-sel beton, menunggu momen untuk meledak. Suriah, negeri yang kini berguncang pasca robohnya kekuasaan Bashar al-Assad, menyimpan mimpi buruk yang siap membangunkan monster teror paling mengerikan: ISIS.
Cerita ini bukan sekadar tentang sel penjara, melainkan tentang ruang-ruang tersembunyi di mana kebencian dirawat, di mana ideologi paling ganas menunggu kesempatan untuk bernafas kembali. Sekitar 46.000 tahanan - angka yang terdengar seperti tentara hantu siap menyerbu - tersimpan rapi di penjara-penjara seperti Raqqah dan Hasakah.
Bayangkan sebuah bom waktu yang tidak berdetak dengan suara keras, melainkan berbisik perlahan dalam keheningan sel. Setiap tahanan adalah serpihan api yang siap memantik kebakaran besar. Mereka bukan sekadar tahanan, melainkan pembawa mimpi kelam tentang kekhalifahan yang pernah mereka impikan.
Indonesia, negeri ribuan pulau yang selalu berpikir dua kali sebelum berkedip, kini harus mengusap keringat dingin. Propaganda ISIS yang dulu pernah membakar semangat generasi muda kini berpotensi bangkit kembali. Seperti virus yang tertidur, mereka menunggu momen tepat untuk kembali menjangkiti.
Konflik Suriah bukan sekadar pertarungan kekuasaan, melainkan panggung teater gelap di mana ideologi paling ganas bermain peran. ISIS yang pernah mengubah peta wilayah, yang pernah membuat dunia gemetar, kini berpotensi bangkit dari abu sejarahnya.
Kita berbicara tentang sebuah jaringan yang lebih canggih daripada sekadar kelompok bersenjata. Mereka adalah master propaganda, ahli bermain di ruang digital, menyelinap masuk melalui celah-celah keputusasaan dan kekecewaan. Media sosial adalah medan perang mereka, pikiran generasi muda adalah target utamanya.
Baca juga: Ancaman Yang Tersembunyi Di Balik Propaganda Terorisme
Indonesia, negeri dengan keragaman terindah di dunia, kini harus menyiapkan pertahanan paling canggih. Bukan sekadar dengan senjata, melainkan dengan kesadaran. Radikalisme adalah penyakit yang tidak bisa diobati dengan peluru, melainkan dengan pendidikan, pemahaman, dan cinta.
Pelajaran dari Suriah adalah tentang bahaya ketika kekerasan dibiarkan mengakar. Setiap sel penjara yang dibiarkan terlepas adalah potensi ledakan besar. Setiap pikiran yang dibiarkan tersesat adalah benih teror yang siap tumbuh.
Kewaspadaan bukan berarti ketakutan. Ini soal kecerdasan dalam membaca gerak sejarah. Indonesia perlu menyiapkan pertahanan multi-lapis. Pendidikan yang cerdas, dialog yang terbuka, dan pemahaman mendalam tentang agama adalah senjata paling ampuh melawan radikalisme.
Bayangkan sebuah negara di mana setiap anak muda memiliki ruang untuk bermimpi, di mana keberagaman dilihat sebagai kekuatan, bukan ancaman. Di sinilah pertempuran sesungguhnya terjadi. Bukan di medan perang, melainkan di ruang-ruang kelas, di media sosial, dalam percakapan sehari-hari.
ISIS adalah produk dari ketidakadilan, dari putus asa, dari kebencian yang diwariskan. Mereka bukanlah monster yang datang dari luar, melainkan lahir dari retakan-retakan sosial yang dibiarkan menganga. Setiap kali kita mengabaikan penderitaan, kita sedang memelihara bibit teror.
Indonesia memiliki kekuatan luar biasa. Toleransi adalah DNA-nya, keragaman adalah nafasnya. Tetapi kekuatan ini harus terus diasah, terus dirawat. Setiap kali kita membiarkan kebencian, setiap kali kita membiarkan perpecahan, kita sedang membuka pintu bagi mereka yang ingin memecah belah.
Suriah adalah peringatan. Penjara-penjara yang dilepaskan adalah ancaman nyata. Tapi ancaman sejati bukanlah pada sel-sel beton, melainkan pada pikiran-pikiran yang tersesat.
Inilah saatnya Indonesia bangkit, bukan dengan ketakutan, melainkan dengan kearifan. Mengubah setiap potensi teror menjadi energy positif, mengubah setiap ancaman menjadi kesempatan untuk saling memahami.
Jejaring Intelijen Global
Dalam kompleksitas ancaman pascaconflik Suriah, Indonesia tidak sendirian. Kerja sama intelijen internasional menjadi kunci utama dalam menghadang potensi penyebaran ideologi ISIS. Setiap informasi, setiap percakapan rahasia antarintelijen dunia kini berpusat pada satu titik: mencegah kebangkitan kembali monster teror yang pernah menggoyang dunia.
Teknologi dan big data kini menjadi senjata canggih. Algoritma canggih mampu melacak jejak digital para calon pelaku radikal. Media sosial bukan sekadar ruang komunikasi, melainkan medan pertempuran ide. Setiap likes, share, dan komentar adalah potensi awal proses radikalisasi.
Para ahli keamanan meyakini bahwa model rekrutmen ISIS kini berubah. Mereka tidak lagi mengandalkan kekerasan terbuka, melainkan pendekatan psikologis yang sangat halus. Mereka membidik generasi muda yang merasa terasing, yang kehilangan sense of belonging. Kampanye online mereka dirancang untuk menyentuh emosi, bukan sekadar logika.
Indonesia membutuhkan strategi komprehensif. Bukan sekadar pendekatan keamanan, melainkan pendekatan sosial-edukatif. Setiap perguruan tinggi, sekolah, dan ruang publik harus menjadi benteng pertahanan melawan radikalisme. Dialog, toleransi, dan pemahaman lintas agama adalah vaksin terbaik melawan virus kebencian.
Pelajaran dari Suriah sangat jelas: diabaikan, ketidakadilan sosial akan melahirkan monster. Setiap kelompok marginal yang tidak didengar, setiap suara yang direpresi, berpotensi menjadi bibit konflik. Indonesia dengan keragamannya harus terus menjaga harmoni, bukan sekadar di permukaan, melainkan hingga akar-akarnya.
Inilah saatnya kita tidak sekadar waspada, melainkan proaktif. Membaca tanda-tanda, mendengar suara-suara yang tersembunyi, dan mencegah sebelum api kebencian berkobar.
Perang melawan radikalisme adalah perang dalam diri sendiri. Dan inilah pertarungan kita.
Surabaya, 15 Desember 2024
(A. Fida)
Ilustrasi: Grafis Ruangobrol
Komentar