Dilema Syiah vs Israel Menurut Syekh Abdul Qawi

Analisa

by Abu Fida Editor by Redaksi

Dalam perkembangan terbaru konflik Timur Tengah, sebuah pernyataan mengejutkan datang dari Syekh Allamah Abdul Qawi, penasihat Menteri Wakaf Mesir. Beliau mengungkapkan apresiasinya terhadap aksi kelompok Syiah yang melakukan serangan terhadap Israel. Pernyataan ini menarik perhatian banyak pihak, mengingat hubungan yang umumnya tegang antara kalangan Sunni dan Syiah di Timur Tengah.

Syekh Abdul Qawi, dalam sebuah wawancara dengan media lokal Mesir, menyatakan, "Terlepas dari perbedaan akidah, kita harus mengakui keberanian saudara-saudara Syiah dalam menghadapi agresi Israel. Mereka telah menunjukkan solidaritas yang kuat untuk membela Palestina."

Pernyataan ini muncul setelah serangkaian serangan roket yang diluncurkan oleh Hizbullah, kelompok militan Syiah Lebanon, ke wilayah Israel sebagai balasan atas operasi militer Israel di Gaza. Meskipun secara resmi Mesir tidak mendukung aksi militer apapun terhadap Israel, pernyataan Syekh Abdul Qawi menunjukkan adanya sentimen pro-Palestina yang kuat di kalangan ulama Mesir.

Namun, apresiasi ini juga menuai kontroversi. Beberapa pengamat melihatnya sebagai langkah berbahaya yang bisa memperkeruh hubungan sektarian di Timur Tengah. Seorang analis politik Kairo, Dr. Ahmed Fawzy, mengomentari, "Pernyataan semacam ini bisa disalahartikan sebagai dukungan terhadap intervensi Iran di kawasan, yang selama ini ditentang oleh banyak negara Arab."

Di sisi lain, pernyataan Syekh Abdul Qawi juga mendapat dukungan dari beberapa kalangan. Aktivis pro-Palestina, Mahmoud El-Sherbiny, menyambut baik pernyataan tersebut. "Ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi musuh bersama, kita bisa mengesampingkan perbedaan sektarian," ujarnya.

Menariknya, pernyataan ini muncul di tengah upaya beberapa negara Arab untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Mesir sendiri telah lama memiliki perjanjian damai dengan Israel, meskipun hubungan kedua negara tetap dingin. Dalam konteks ini, pernyataan Syekh Abdul Qawi bisa dilihat sebagai cerminan dari sentimen akar rumput yang masih kuat mendukung perjuangan Palestina.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pernyataan ini adalah pandangan pribadi Syekh Abdul Qawi dan tidak mencerminkan kebijakan resmi pemerintah Mesir. Kementerian Luar Negeri Mesir, dalam pernyataan resminya, tetap menyerukan penyelesaian damai konflik Israel-Palestina melalui negosiasi dan menolak segala bentuk kekerasan.

Pernyataan Syekh Abdul Qawi juga menimbulkan pertanyaan tentang dinamika internal di kalangan ulama Mesir. Beberapa pengamat melihat ini sebagai tanda adanya perbedaan pendapat antara ulama yang lebih konservatif dengan pemerintah yang cenderung pragmatis dalam urusan luar negeri.

Dr. Amira Abo el-Fetouh, peneliti politik Timur Tengah, mengatakan, "Pernyataan ini menunjukkan kompleksitas politik Timur Tengah. Di satu sisi ada kebutuhan diplomatik untuk menjaga stabilitas regional, di sisi lain ada sentimen keagamaan dan solidaritas terhadap Palestina yang tidak bisa diabaikan."

Terlepas dari kontroversi, pernyataan Syekh Abdul Qawi membuka wacana baru tentang kemungkinan menjembatani perbedaan sektarian dalam menghadapi isu-isu bersama di Timur Tengah. Ini juga mengingatkan pada kompleksitas hubungan antara agama dan politik di kawasan tersebut.

Dalam analisis lebih lanjut, pernyataan ini bisa dilihat sebagai refleksi dari dilema yang dihadapi banyak negara Arab. Di satu sisi, ada keinginan untuk menjaga stabilitas regional dan menjalin hubungan pragmatis dengan Israel. Di sisi lain, sentimen pro-Palestina masih sangat kuat di kalangan masyarakat.

Pernyataan Syekh Abdul Qawi juga bisa dilihat sebagai bentuk soft diplomacy. Dengan mengapresiasi aksi Syiah, mungkin ada harapan untuk membuka dialog yang lebih konstruktif antara berbagai kelompok di Timur Tengah dalam menghadapi isu-isu bersama.

Namun, langkah ini juga berisiko. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, bisa memperburuk ketegangan sektarian yang sudah ada. Selain itu, bisa juga dilihat sebagai dukungan terhadap aksi kekerasan, yang bertentangan dengan upaya perdamaian.

Kesimpulannya, pernyataan Syekh Abdul Qawi membuka diskusi penting tentang bagaimana negara-negara Arab bisa menyikapi konflik Israel-Palestina di tengah dinamika regional yang kompleks. Ini juga menunjukkan bahwa meskipun ada upaya normalisasi di tingkat pemerintah, sentimen pro-Palestina masih kuat di kalangan masyarakat dan tokoh agama.

Ke depan, akan menarik untuk melihat bagaimana pernyataan ini mempengaruhi wacana politik dan keagamaan di Mesir dan Timur Tengah secara umum. Apakah ini akan membuka jalan bagi dialog yang lebih inklusif, atau justru memperkeruh situasi, masih harus dilihat. Yang pasti, ini menunjukkan bahwa isu Palestina tetap menjadi faktor pemersatu yang kuat di dunia Arab, melampaui perbedaan sektarian dan kepentingan politik


Surabaya, 6 Oktober 2024

(Abu Fida)

Komentar

Tulis Komentar