Radikalisme dan ekstremisme berpotensi kekerasan adalah fenomena global yang semakin memprihatinkan. Kedua istilah ini sering kali muncul bersamaan dalam pemberitaan terkait terorisme, tetapi apakah kita benar-benar memahami apa yang mereka maksudkan? Artikel ini mencoba untuk menggali akar permasalahan dan memecahkan kompleksitas di balik radikalisasi serta ekstremisme kekerasan, berdasarkan gagasan dari tulisan Randy Borum dalam "Radicalisation Violent Extremism."
Apa Itu Radikalisasi dan Ekstremisme Kekerasan?
Sebelum membahas lebih dalam, penting untuk mendefinisikan kedua istilah ini. Radikalisme adalah proses di mana seseorang atau kelompok menjadi semakin ekstrim dalam pandangan politik, agama, atau sosial mereka. Ekstremisme kekerasan, di sisi lain, adalah tindakan yang diambil oleh individu atau kelompok yang teradikalisasi untuk menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan ideologis mereka.
Pada dasarnya, radikalisme adalah perjalanan dari pemikiran moderat menuju ekstrim, sementara ekstremisme yang berpotensi kekerasan adalah sebuah manifestasi fisik dari radikalisasi tersebut. Tidak semua orang yang teradikalisasi akan beralih ke kekerasan, tetapi semua ekstremisme kekerasan berakar pada radikalisasi.
Pemicu Dan Fase Dalam Extremisme Kekerasan
Randy Borum dalam tulisannya menyebutkan bahwa radikalisasi bukanlah proses yang seragam atau universal. Ada beberapa jalur menuju radikalisasi, dan faktor-faktor yang memicunya sangat beragam. Namun, ada beberapa pola umum yang sering kali terlihat.
1. Ketidakpuasan Sosial dan Politik
Sebagian besar individu yang teradikalisasi merasa ketidakpuasan yang mendalam terhadap kondisi sosial atau politik di sekitar mereka. Mereka melihat ketidakadilan, ketidaksetaraan, atau penindasan, dan merasa bahwa sistem yang ada tidak mampu mengatasi masalah tersebut. Ini sering kali menjadi titik awal dari proses radikalisasi.
2. Identifikasi dengan Kelompok atau Ideologi Tertentu
Setelah merasakan ketidakpuasan, individu tersebut mulai mencari kelompok atau ideologi yang dapat memberikan jawaban atau solusi atas permasalahan mereka. Kelompok-kelompok radikal sering kali menawarkan narasi yang sederhana: dunia terbagi menjadi "kita" dan "mereka", dan hanya dengan berjuang melawan "mereka", dunia akan menjadi lebih baik. Di sinilah individu mulai mengidentifikasi diri dengan pandangan ekstrem.
3. Indoktrinasi dan Penanaman Ideologi Radikal
Pada fase ini, individu tersebut mulai sepenuhnya menerima ideologi radikal. Mereka mulai melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk mencapai perubahan. Di beberapa kasus, proses ini dipercepat oleh propaganda atau pengaruh dari kelompok radikal yang terorganisir.
4. Legitimasi Kekerasan
Pada tahap akhir, individu tersebut tidak hanya menerima pandangan radikal, tetapi juga siap untuk bertindak. Mereka mulai melegitimasi kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologis mereka. Di sinilah radikalisasi mencapai puncaknya dan berpotensi berubah menjadi ekstremisme kekerasan.
Baca juga: Terorisme di Eropa: Sebuah Ancaman Yang Terus Berevolusi
Mengapa Radikalisme Terjadi?
Memahami mengapa seseorang menjadi radikal adalah salah satu tantangan terbesar dalam penelitian tentang radikalisme dan ekstremisme berpotensi kekerasan. Tidak ada satu jawaban yang dapat menjelaskan semua kasus, tetapi ada beberapa faktor utama sering muncul diantaranya:
1. Alienasi Sosial
Banyak individu yang teradikalisasi merasa terasing dari masyarakat di sekitar mereka. Mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak dihargai atau tidak memiliki tempat dalam sistem sosial atau politik yang ada. Perasaan alienasi ini bisa diperburuk oleh faktor-faktor seperti kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, atau kekerasan negara.
2. Identitas dan Solidaritas Kelompok
Radikalisme sering kali berkaitan dengan pencarian identitas. Individu yang merasa terasing mungkin mulai mencari rasa keterikatan dengan kelompok yang menawarkan solidaritas dan tujuan bersama. Dalam kasus-kasus ini, radikalisasi memberikan mereka rasa identitas yang kuat dan makna dalam hidup mereka.
3. Keadilan dan Pembalasan
Banyak individu yang teradikalisasi merasa bahwa mereka atau komunitas mereka telah diperlakukan dengan tidak adil. Kekerasan kemudian dilihat sebagai cara untuk memperbaiki ketidakadilan ini atau membalas dendam atas perlakuan yang mereka anggap tidak adil. Dalam hal ini, radikalisme sering kali didorong oleh narasi ketidakadilan.
4. Propaganda dan Rekrutmen Terorganisir
Di era digital, propaganda dan rekrutmen oleh kelompok radikal semakin mudah diakses. Kelompok-kelompok ini menggunakan media sosial dan platform online lainnya untuk menyebarkan pesan mereka dan merekrut anggota baru. Mereka sering kali menargetkan individu yang merasa tidak puas atau terasing, menawarkan solusi sederhana untuk masalah kompleks.
Bagaimana Terjadinya Sebuah Ekstrimisme Yang Berpotensi Kekerasan
Ekstremisme yang berpotensi kekerasan terjadi ketika radikalisasi mencapai titik di mana individu atau kelompok merasa bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mencapai perubahan. Dalam hal ini, mereka percaya bahwa kekerasan bukan hanya dibenarkan, tetapi juga diperlukan.
Borum mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat memicu peralihan dari radikalisasi ke ekstremisme kekerasan:
1. Legitimasi Kekerasan
Kelompok-kelompok radikal sering kali berusaha melegitimasi penggunaan kekerasan dengan cara memutarbalikkan fakta atau menciptakan narasi di mana kekerasan dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mencapai keadilan. Individu yang telah teradikalisasi mulai melihat kekerasan sebagai tindakan heroik atau sebagai bentuk pengorbanan untuk tujuan yang lebih besar.
2. Dukungan Kelompok
Ekstremisme kekerasan sering kali difasilitasi oleh dukungan kelompok. Kelompok radikal memberikan dukungan moral, logistik, dan bahkan materi kepada individu yang telah teradikalisasi. Dukungan ini memperkuat keyakinan bahwa kekerasan adalah pilihan yang tepat.
3. Peristiwa Pemicu
Dalam banyak kasus, ada peristiwa pemicu yang menyebabkan individu atau kelompok mengambil langkah terakhir menuju kekerasan. Peristiwa ini bisa berupa serangan terhadap kelompok mereka, tindakan represif dari pemerintah, atau bahkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh lawan mereka.
Baca juga: Trauma Sekunder Media Sosial dalam Konteks Terorisme: Dampak dan Implikasi
Kiat Mengatasi Radikalisme Yang Berpotensi Kekerasan
Mengatasi radikalisme dan ekstremisme yang berpotensi kekerasan adalah sebuah tantangan yang kompleks. Tidak ada solusi tunggal yang dapat diterapkan di semua konteks, tetapi ada beberapa pendekatan yang telah terbukti efektif dalam berbagai situasi.
1. Pembinaan dan Pendidikan serta Pemberdayaan Komunitas
Salah satu cara untuk mencegah radikalisme adalah dengan meningkatkan pendidikan dan pemberdayaan di komunitas yang rentan. Memberikan akses ke pendidikan yang berkualitas, pekerjaan, dan layanan sosial dapat membantu mengurangi ketidakpuasan yang sering kali menjadi pemicu radikalisasi.
2. Melawan Propaganda Radikal
Di era digital, melawan propaganda radikal secara online menjadi semakin penting. Ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan literasi media, menyebarkan narasi alternatif yang lebih positif, dan bekerja sama dengan platform teknologi untuk menghapus konten ekstremis.
3. Dialog dan Rekonsiliasi
Pendekatan dialog dan rekonsiliasi juga bisa efektif dalam mencegah dan mengatasi radikalisasi. Dengan menciptakan ruang di mana individu yang merasa terasing dapat berbicara tentang ketidakpuasan mereka tanpa harus beralih ke kekerasan, kita dapat mencegah mereka untuk teradikalisasi lebih lanjut.
4. Program Deradikalisasi
Beberapa negara telah berhasil menerapkan program deradikalisasi untuk membantu individu yang telah teradikalisasi kembali ke masyarakat. Program-program ini sering kali melibatkan pendekatan psikologis, sosial, dan ideologis untuk membantu individu melepaskan diri dari ideologi ekstremis.
Kesimpulan
Radikalisme dan ekstremisme yang berpotensi kekerasan adalah masalah yang kompleks dan tidak memiliki solusi sederhana. Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang proses radikalisasi dan faktor-faktor yang memicunya, kita dapat mengembangkan pendekatan yang lebih efektif untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Melalui pendidikan, pemberdayaan komunitas, melawan propaganda, serta dialog dan rekonsiliasi, kita dapat menciptakan dunia yang lebih aman dan damai, di mana kekerasan bukanlah satu-satunya pilihan untuk mencapai perubahan.
Surabaya, 19 Agustus 2024
(Abu Fida)
Ilustrasi: AI
Komentar