Komentar masyarakat paling umum yang kedua adalah : “WNI eks ISIS itu sudah jadi pengkhianat bangsa, benci NKRI, sebut pemerintahan NKRI kafir, dan sebagainya”
Dalam hal ini memang betul mereka banyak—tapi tidak semua—yang sampai pada level seperti itu. Tapi bukankah itu adalah kesalahan dalam pemikiran mereka? Bicara soal kesalahan pemikiran, semua orang juga berpotensi salah. Ada yang berani jamin bahwa kita yang hari ini mencela pemikiran mereka, suatu saat nanti tidak akan terjangkit virus pemikiran mereka?
Apakah jika pernah salah lantas tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahan mereka itu? Apa kita akan membiarkan mereka menderita karena sebuah kesalahan yang masih bisa diperbaiki?
Jika ada seorang anak kita yang bandel ketika diperingatkan jangan bermain dengan sesuatu yang membahayakan, lantas si anak tetap bandel dan kemudian celaka karena kebandelannya itu, apakah kita lalu tidak menolongnya?
Di pinggir jalan ada rambu-rambu peringatan bahwa ada tikungan tajam, licin, dan agar mengurangi kecepatan. Lalu jika ada yang celaka karena tidak memperhatikan rambu-rambu di situ apakah lantas kita tidak menolong mereka?
Tunjukkan pada dunia kita adalah bangsa yang besar. Bangsa pemaaf. Bangsa yang menjunjung tinggi semangat gotong royong. Dan tunjukkan bahwa memberikan kesempatan kedua itu sangat mulia.
Baca juga: Tantangan Penempatan WNI Eks ISIS Setelah Rehabilitasi
Mereka, dan saya juga pernah mengalaminya, adalah korban doktrin di tengah keresahan akan kondisi mereka saat itu. Apalagi yang wanita dan anak-anak di mana mereka bisa jadi karena hanya mengikuti suami atau ayah mereka. Dan bukankah semua orang juga berpeluang untuk menjadi seperti mereka. Apakah jika mereka salah, kita sudah pasti (selalu) benar?
Komentar masyarakat paling umum yang ketiga adalah: “Buat apa susah-susah mengurusi WNI eks ISIS, lebih baik dananya untuk membangun infrastruktur”
Ini pernyataan orang awam yang sekilas memang benar. Tapi jika dikaji lebih jauh belum tentu sepenuhnya benar.
Bagi pemerintah hal ini bisa jadi perlu diurus dengan benar sebagai bentuk pembelajaran pada bangsa ini dalam menghadapi paham/pemikiran yang mengancam keutuhan bangsa. Jika tidak diurus dengan benar, bisa jadi kita semua justru akan menghadapi persoalan yang semakin besar di masa mendatang.
Kemudian soal pernyataan dana yang lebih baik untuk bangun infrastruktur. Perlu diketahui, setiap lembaga negara atau kementrian punya anggaran masing-masing. Kan tidak lucu jika anggaran BNPT atau Kementrian Agama digunakan untuk membangun jalan raya atau jembatan, misalnya.
Jadi, pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar.
Komentar masyarakat paling umum yang keempat: “Masyarakat takut para WNI Eks ISIS itu akan menyebarkan pemikirannya ketika kembali ke masyarakat”
Ketakutan dan kekhawatiran masyarakat akan hal ini sangat wajar. Tapi bisa diminimalisir. Misalnya dengan melakukan edukasi kepada masyarakat bagaimana menghadapi para mantan pendukung ISIS itu. Dan ini sudah pernah dan akan terus dilakukan oleh Kreasi Prasasti Perdamaian dengan sering mengadakan diskusi publik dan workshop-workshop tentang penanganan isu radikalisme-terorisme.
Selain itu hal ini bisa diminimalisir dengan prosedur atau syarat yang harus dilakukan oleh para mantan pendukung ISIS itu ketika sudah kembali ke masyarakat. Misalnya, sebelum dipulangkan keluarga dan masyarakat (yang diwakili oleh rekomendasi RT/RW dan Kepala Desa/Kelurahan) telah menyatakan kesiapannya untuk menerima mereka, mengawasi mereka, membina mereka, dan melaporkan mereka jika ada perubahan yang tak diinginkan.
Jadi kalau saya boleh usul, syarat agar para mantan pendukung ISIS itu bisa kembali ke masyarakat adalah seperti syarat mendapatkan pembebasan bersyarat bagi napiter. Ada pembinaan dan asesmen dulu, lalu meminta rekomendasi dan jaminan dari keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, mereka juga wajib lapor ke instansi terkait selama kurun waktu tertentu. Bisa sampai setahun atau dua tahun pasca mereka pulang.
Demikian tanggapan dan sedikit usulan dari seorang mantan napiter yang pernah menjalani reedukasi dan reintegrasi.
(Ilustrasi Foto: Istimewa)
Komentar