Mengintip Nestapa WNI Eks ISIS di Kamp Pengungsian

Analisa

by Munir Kartono Editor by REDAKSI

Sudah satu dekade lebih berlalu sejak pecah konflik berdarah Suriah dan Irak sebagai imbas fenomena Arab Spring di Timur Tengah, namun masalah ikutannya ternyata tak kunjung mereda, bahkan bermunculan makin banyak, kian pelik, dan menciprat ke mana-mana hingga negara tercinta Indonesia. Di antara masalah itu adalah akibat banyaknya warga negara Indonesia (WNI) yang termakan provokasi  berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan milisi pemberontak Daulah Islam (ISIS) maupun Jabhat al-Nusrah (JN). Terjebak dalam pusaran konflik, banyak di antara mereka yang kehilangan nyawa dan, kalaupun berhasil selamat lolos dari perang, kini terpaksa  tinggal di kamp-kamp pengungsian dan penjara-penjara Suriah.

“Menurut data BNPT, ada sekitar 1200 WNI yang saat ini masih terjebak di wilayah konflik, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Sedangkan data dari BIN menyebut separuhnya, jadi sekitar 600an orang. Setelah kami analisa, dari kedua data tersebut yang identik atau match, ada sekitar 400an orang. Di antara mereka masih ada yang merah, kuning dan hijau." *)

Demikian penjelasan seorang Perwira di Detasemen Khusus Densus 88 AT Polri yang enggan disebutkan namanya dalam sebuah obrolan beberapa waktu lalu. Berangkat dari informasi itulah, Ruangobrol berusaha mencari jejak WNI yang masih berada di kamp-kamp di Suriah untuk menggali informasi dan berbagai catatan yang mungkin ingin mereka sampaikan, demi mendapat gambaran keadaan mereka di tanah yang jauh itu. Di bawah ini adalah rangkumannya. 

Tidak Melulu Soal Ideologi

Dalam pusaran konflik yang terjadi di Suriah, peranan ideologi memang sangat besar. Misalnya saja dalam propaganda kelompok ISIS baik yang melalui video, artikel, atau buku, mereka secara lihai menghubungkan tindakan yang mereka lakukan dan mencari pembenaran berdasarkan ajaran  Islam yang, tentu saja, versi mereka.

Bagaimanapun di antara banyak orang yang terprovokasi propaganda ISIS dan berangkat ke Suriah karena ideologi, tidak sedikit yang berangkat bukan karena alasan ideologi. Bahkan mereka sama sekali tidak paham akar masalah yang terjadi di sana. Pesan singkat Ummu Rijal menjadi salah satu yang menggambarkan hal itu.

“Kalau orang-orang yang tinggal di kamp ini (al-Roj), ini sih dari cerita mereka, ya. Memang nggak semuanya hijrah karena paham ISIS itu apa, apalagi punya mimpi pingin ikut perang dan rela mati untuk ISIS. Terutama mereka yang perempuan. Ada (di antara mereka-red) yang hijrah cuma karena nurut sama suami, takut hidup ditinggal sendirian di Indonesia. Ada juga yang memang punya pemikiran tapi nggak sampai paham ideologi ISIS dengan matang. Mereka cuma merasa kasihan dengan kondisi umat Islam di Suriah yang  mereka saksikan melalui media, kemudian terprovokasi media ISIS yang menggambarkan Syam sebagai tanah yang dijanjikan, kawasan yang bakal jadi penentu dunia, bahwa rusaknya masyarakat Syam berarti rusaknya dunia.”

Demikian juga dengan Hafsah, perempuan yang sudah 7 tahun menempati kamp al-Roj ini berkisah,

“Bukan maksud untuk menyalahkan orang lain, ya. Dulu itu memang ada faktor masalah dalam keluarga. Tapi waktu itu juga bisa dibilang saya itu dulu anak muda nakal yang mulai menyadari kesalahan dan ingin melakukan perbaikan diri. Sayangnya, saya salah ketemu guru.”

Lebih lanjut, perempuan yang berangkat ke Suriah pada 2014 silam ini menuturkan,

“Langkah besar yang saya ambil soal hijrah dan jihad pun bisa dibilang keputusan yang gegabah. Saya pergi ke Suriah itu meninggalkan bangku kuliah. Ibaratnya seperti anak yang baru belajar alfabet, terus sotoy pingin baca koran. Sehingga dengan pemikiran dangkal dan over pede, saya memutuskan untuk hijrah sendiri ke Suriah.”

Kondisi kamp yang memprihatinkan dan keinginan untuk pulang

Sumber :https://app.leonardo.ai/ai-generations

“Saya tuh nggak pernah bermimpi untuk tinggal di kamp seperti sekarang. Saya tuh pingin pulang ke Indonesia. Dan seperti orang-orang lain yang kepingin pulang, saya berusaha kabur dari wilayah ISIS dan pergi menuju Turki supaya saya ditangkap dan dideportasi ke Indonesia. Cuma itu harapan saya untuk pulang karena waktu tinggal di wilayah ISIS paspor saya dirampas. Tapi susah sekali untuk mencapai Turki, hingga akhirnya saya tertangkap milisi Kurdi dan dibawa ke kamp ini.”

Ujar Hafsah dalam pesan singkatnya. Hafsah lanjut berkisah tentang kehidupannya di kamp,

“Di sini banyak banget masalah yang terjadi. Kamp yang kumuh, sarana pendidikan anak yang nggak memadai dan para pengajar yang asal datang untuk dapat gaji. Anak-anak tumbuh tapi nggak berkembang. Bahkan kasus pelecehan terhadap anak acap kali terjadi. Ada anak-anak yang diledek sebagai anak pemberontak oleh tentara Kurdi padahal si anak nggak ngerti apa-apa. Ada juga yang dipaksa melepas  pakaian dengan alasan pemeriksaan keamanan, padahal mereka cuma anak-anak kecil.”

Sementara Ummu Rijal juga menambahkan,

“Dulu ada seorang Ibu dan anaknya yang WNI baru saja dipindah dari (kamp) al-Hol. Sepertinya dia baru selesai assessement. Tapi ternyata nggak lama ibunya dibawa entah ke mana meninggalkan anaknya sendirian di sini. Awalnya kami berusaha untuk mengurus anak tersebut tapi itu pun nggak lama karena kemudian anak itu pun dibawa oleh tentara Kurdi entah ke mana. Sampai saat ini kami nggak tahu nasib ibu dan anak itu. Makin lama tinggal di sini, karakter anak juga jadi makin keras. Anak-anak  jadi temperamental dan suka merusak. Mau bilang ibunya nggak bisa mendidik, bagaimana ya, lha wong kebanyakan ibunya juga terganggu mentalnya. Kekhawatiran kami, makin lama di sini malah bikin anak jadi anarki. Kan sama aja dengan melahirkan bibit-bibit baru anak-anak radikal. ”

Saat ditanya apakah mereka berharap bisa kembali ke Indonesia, mereka sepakat menjawab, “Iya.” Hafsah mengatakan,

“Saat saya meninggalkan Indonesia, nggak pernah terlintas dalam pikiran untuk berbuat buruk pada negeri sendiri. Jadi saya berharap banget untuk bisa pulang ke Indonesia.”

Sedangkan menurut Ummu Rijal,

“Kalau saya yakin, banyak orang di Indonesia yang open-minded dan punya empati tinggi. Meskipun masih banyak disinformasi tentang kami di sini, saya yakin itu dan saya juga mohon pemerintah dan masyarakat mau memberikan kesempatan kedua bagi saya,  saya siap untuk dibina lebih lanjut.”

Nasib Hafsah dan Ummu Rijal, dua perempuan asal Jawa Barat, kini sama dengan kebanyakan perempuan dan anak-anak WNI yang tinggal di kamp-kamp di Suriah. Kengerian dan trauma akibat perang sungguh sangat mengoyak mental. Mereka tidak ingin mewariskan kengerian itu kepada anak-anak. Bagaimanapun mereka hanya bisa menunggu kemurahan hati pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk bisa kembali ke negeri tercinta. Kita semua tentu berharap muncul prakarsa pertama-tama dari Pemerintah, untuk memberi kesempatan kedua kepada mereka. Memberi kesempatan  untuk membenahi diri dan kehidupan mereka, menjauhkan mereka dari ekstremisme berbasis kekerasan yang memanfaatkan ajaran agama ataupun isu lainnya.[]

*) Kategori WNI eks ISIS: hijau berarti sudah sepenuhnya melepaskan diri dari ekstremisme, dan seterusnya untuk kuning dan merah bersesuaian dengan kiasan warna-warna lampu lalu lintas.  

Komentar

Tulis Komentar