Faifhfully ASEAN 2022: Belajar Berdamai dengan Masa Lalu dari Film Crossfire

Other

by Amsa Nadzifah

Konflik Ambon yang terjadi pada era 2000-an silam menjadi sebuah potret bahwa ekstremisme tidak berkaitan dengan agama tertentu. Walaupun, konflik kerap terjadi mengatasnamakan agama tertentu sebagai semacam legitimasi untuk melakukan kekerasan. Banyak faktor yang mempengaruhinya; ekonomi, keluarga hingga psikologi individu semuanya bisa mempengaruhi seseorang menjadi radikal.

Hal itu terlihat sesaat setelah menonton film bertajuk Crossfire yang diputar di antara rangkaian kegiatan Faithfully ASEAN, penghujung Desember tahun 2022 lalu di Singapura. Film dan Forum digelar untuk memperkaya acara.

(baca juga: Faithfully ASEAN 2022: Setiap Kepercayaan Berkontribusi pada Kemanusiaan  )

Film Crossfire garapan Noor Huda Ismail itu sendiri berkisah tentang tiga tokoh beragama Kristen. Mereka sebenarnya, salah satu satunya berlatar belakang preman, artinya bukan orang yang datang dari “background religious”. Namun, pada akhirnya mereka berdiri di garis depan ketika konflik Ambon pecah.

Saya sendiri jadi ingat kata almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden ke-4 Republik Indonesia: Tuhan tidak perlu dibela (tulisan Gus Dur dekade 1980-an). Iya, Tuhan yang serba “Maha” tentunya tidak butuh pembelaan dari manusia yang notabene ciptaannya. Sudah barang tentu karena serba “Maha”, maka Tuhan pun tentunya Maha Kuat.

Adanya konflik yang mengatasnamakan agama tertentu itu akhirnya membuat pertanyaan besar muncul di kepala saya: siapa yang sebenarnya mereka bela ketika berada di garis depan konflik horizontal? Ketika terjadi konflik Ambon itu, baik pemeluk Kristen maupun Islam sudah barang tentu sama-sama jadi korban.

Saya juga jadi ingat perjalanan saya ke Ambon pada tahun 2019 silam. Setelah dua dekade berlalu, konflik Ambon masih jadi cerita dari generasi ke generasi.

Saya mendapat kesempatan untuk mendengar bagaimana konflik terjadi. Termasuk di antaranya dari para mantan tentara anak ketika itu. Meski sudah 20 tahun berlalu, bayangan peristiwa itu masih begitu mengerikan.

Di sana, saya berkesempatan mengunjungi beberapa SD dan SMP di Pulau Seram. Perjalanannya ditempuh sekira 2 jam menggunakan angkutan umum dan perahu dari Kota Ambon. Pulau Seram lokasinya di timur laut Ambon.

Di sekolah-sekolah itu, saya bertemu siswa-siswi di sana. Saat konflik terjadi, yakni 1999-2022 mereka belum lahir. Namun, mereka mendapatkan cerita bagaimana keluarga mereka menjadi korban, bagaimana bertahan hidup setelah konflik itu dan akhirnya tidak pernah berinteraksi dengan pemeluk agama lain.

[caption id="attachment_14904" align="alignnone" width="1600"] Kegiatan Film and Forum di sela-sela Faithfully ASEAN 2022.[/caption]

Dampak-dampak seperti itu tak hanya dibiarkan begitu saja di sana. Banyak upaya untuk mendamaikan ingatan masa lalu tentang konflik yang pernah terjadi di antara mereka.

Kegiatan itu di antaranya; membuka perpustakaan bersama, berkegiatan kesenian hingga berkemah termasuk tinggal bersama keluarga dari agama yang berbeda. Mereka beraktivitas bersama tanpa melihat latar belakang ras, suku hingga agama yang dianut. Tujuannya meruntuhkan prasangka.

Aktivitas bersama di sana itu memungkinkan mereka hidup bersama dalam satu atap. Makan dan minum bersama. Ini jadi pengalaman berharga. Perlahan, dari interaksi yang terjadi, maka cerita masa lalu perlahan terkikis, tembok prasangka runtuh perlahan. Bayangan ketakutan digantikan saling bertukar kisah dan cerita sebagai keluarga.

 

 

Komentar

Tulis Komentar