Banyak pihak telah menyadari perlunya langkah-langkah untuk membendung dan mengurangi dampak dari penyebaran ideologi propaganda kelompok ekstremis-teroris di ranah digital (radikalisasi online). Merumuskan langkah-langkah ideal secara teori mungkin mudah. Tapi bagaimana melakukannya adalah bagian tersulitnya.
Untuk dapat melakukannya dengan lebih sistematis dan terarah, pertama-tama yang harus diketahui adalah tantangan yang ada. Merumuskan langkah idealis tanpa mengetahui tantangan hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga karena ketidaktahuan akan apa yang sedang dihadapi.
Kami mencoba merumuskan beberapa tantangan yang kita hadapi dalam mengatasi radikalisasi online di era kecerdasan buatan (AI), yaitu antara lain:
1. Militansi pengikut ISIS
Dalam doktrin ekstrim di kelompok ISIS, keislaman seseorang tidak sempurna bila tidak berbaiat kepada ISIS dan memusuhi apa yang mereka sebut sebagai “musuh-musuh tauhid”. Salah satu alasan utamanya karena ISIS adalah satu-satunya kelompok Islam yang berhasil mendirikan negara yang berdasarkan syariat Islam. Jika tidak mendukung berarti Islam-nya dipertanyakan.
Sedangkan konsekuensi setelah berbaiat kepada ISIS adalah membela ISIS dan memerangi musuh-musuh ISIS. Bagi para pengikut ISIS, menyebarkan ideologi dan propaganda ISIS merupakan pembuktian “iman” yang paling rendah. Sehingga berapa pun situs dan akun pengikut ISIS di-takedown atau diblokir, tak lama kemudian akan muncul lagi akun-akun lain sejenis.
Maka tidak mengherankan bila propaganda pengikut ISIS masih terus ada meskipun tidak ada serangan teror yang terjadi. Bagi mereka, jika tidak bisa eksis dalam bentuk aksi nyata minimal tetap eksis di ranah digital. Dan inilah tantangan terberat yang kita hadapi.
2. Rendahnya daya nalar masyarakat
Masyarakat di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia yang sedang dimabuk berbagai kemudahan di era digital menjadi sasaran empuk berbagai propaganda budaya dan pemikiran, termasuk pemikiran radikal.
Masyarakat Indonesia yang selalu menyukai hal-hal yang baru membuat berbagai pihak melihat peluang bisnis atau peluang pasar yang sangat potensial. Yang perlu dilakukan hanya membombardir mereka dengan visualisasi dan narasi. Lambat laun sebuah budaya baru akan lahir dan pasar baru akan terbentuk.
Kita ambil satu contoh dari fenomena di sekitar kita. Fenomena di luar radikalisme-terorisme.
Masifnya tayangan drama Korea yang sarat muatan propaganda budaya dan pariwisata Korea, termasuk musiknya, makanannya, gaya fashion-nya, sampai pada gaya pacaran yang menurut sebagian besar pengemarnya sangat romantis, telah menampakkan dampak sosial ekonomi yang luar biasa di negeri kita ini.
Lihatlah video Girlband “Black Pink” yang bisa tembus 100 juta views dalam 24 jam saja. Atau lihatlah pertumbuhan jumlah gerai kedai yang menjual makanan Korea dan pertumbuhan pengunjungnya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Atau lihatlah gaya dandanan dan pakaian anak muda kita yang banyak meniru para artis Korea seperti dalam drama favorit mereka.
Mengapa itu bisa terjadi?
Karena di dalam benak mereka K-Pop dengan segala turunannya adalah sangat keren untuk ditiru atau diikuti. Mengapa bisa dianggap keren dan mengapa baru sekarang dianggap keren? Itu karena masifnya visualisasi dan narasi yang bisa dengan mudah mereka akses.
Maka, bayangkan jika seseorang --yang disebabkan algoritma media sosial-- kemudian dibanjiri oleh visualisasi dan narasi dari kelompok ekstrim seperti ISIS, lalu di saat yang sama di dalam dirinya ada keinginan untuk memberontak atas kondisi yang dialaminya, bukankah akan sangat rawan untuk ter-radikalisasi hingga melakukan aksi?
Di sinilah ISIS kemudian mulai memainkan perannya.
Hampir semua pihak mengakui kehebatan propaganda mereka dan kecerdikan mereka memanfaatkan internet dan media sosial dalam menyebarkan propaganda mereka. Propaganda mereka itu dibuat agar mudah diterima oleh orang-orang yang berpikiran sempit.
Bukan hanya mudah diterima oleh orang-orang berfaham radikal, tetapi juga oleh orang-orang awam yang sangat merindukan sebuah potret kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Mereka belajar dari propaganda-propaganda kelompok jihad sebelumnya seperti Al Qaeda dan Taliban.
Kepada orang-orang awam yang merasa ditindas dan hidupnya susah, ISIS menawarkan sebuah potret ‘kenyamanan’ hidup di wilayah yang mereka kontrol dan cara melakukan perlawanan di wilayah yang sedang ditindas.
Di sisi lain mereka menawarkan praktek penegakan syariat Islam kepada para aktivis, terutama yang muda, yang jenuh dengan gerakan kelompoknya yang tak kunjung berhasil.
Hal itu mereka kemas dalam propaganda berisi narasi dan visualisasi yang sangat epik dan mereka sebarkan dengan memanfaatkan kemudahan teknologi informasi. Ditambah dengan para pengikut mereka yang aktif menyebarkan propaganda itu.
Orang-orang awam yang sedang galau menghadapi hidup yang semakin sulit dan semakin rusak serta merasa semua itu diakibatkan berkuasanya orang-orang zhalim di negeri mereka, ditambah lagi mereka tidak tahu cara untuk memperbaiki keadaan itu, akan cenderung lebih mudah terpicu untuk mengikuti propaganda ISIS tersebut.
3. AI dan Media Sosial Adalah Industri yang Profit Oriented
Tak dapat dipungkiri bahwa media sosial dan pengembangan teknologi AI adalah sebuah industri bisnis. Pihak perusahaan tentu menginginkan profit yang sebesar-besarnya dari para pengguna teknologi yang mereka kembangkan. Yang artinya semakin banyak digunakan semakin besar keuntungan yang didapatkan.
Maka, ketika ada pihak yang meminta agar perusahaan teknologi mengubah filter dan algoritma, pertimbangan utamanya adalah: apakah akan mempengaruhi terhadap trafik pengguna teknologi mereka? Atau pertimbangan lainnya adalah biaya yang dibutuhkan untuk melakukan filtering dan mengubah algoritma. Jika pengaruh atau biayanya kecil, mungkin mereka akan dengan mudah melakukannya. Tapi jika pengaruh dan biayanya besar, mereka akan berpikir dua kali sebelum memenuhinya.
4. Kurangnya pengetahuan di pihak regulator (pemerintah)
Perusahaan-perusahaan teknologi pengembang media sosial dan AI itu sebenarnya selalu tunduk pada aturan yang berlaku dalam sebuah negara. Sebelum mengembangkan platform teknologinya, mereka tentu sudah melakukan riset mendalam terkait aturan di negara-negara yang akan menjadi pasar mereka. Dan mereka juga telah memperhitungkan akan kemungkinan penyesuaian dengan peraturan negara setempat di kemudian hari ketika ditemukan hal-hal yang bisa mengganggu keamanan dan ketertiban negara.
Bila demikian, berarti pemerintahan sebuah negara bisa melakukan intervensi terhadap perusahaan-perusahaan teknologi itu. Sehingga akan diperoleh titik temu bentuk praktek di lapangan yang tidak saling merugikan.
Namun persoalannya adalah pemerintah seringkali kurang memahami urgensi pencegahan penyebaran ideologi dan propaganda ekstremisme di ranah digital. Atau mungkin pemerintah sudah paham tapi tidak bisa bertindak tanpa persetujuan pihak legislatif yang kurang paham. Jadi, akan membutuhkan banyak upaya sampai semuanya bersepakat.[]
(Ilustrasi: Leonardo.ai)
Komentar